Drrtt drrttt
Denting di sertai getar ponselnya menarik perhatian Jingga yang sedang merebahkan tubuh di atas kasur sambil mengetik tugas di laptopnya.
Sejenak dia terlihat berpikir mendapati nomer asing yang mengirim pesan ke aplikasi watsapp nya.
+6289532****** "Jingga?"
Jingga mengerutkan keningnya. Terdiam sebentar untuk memutuskan membalas atau tidak. Lalu sedetik kemudian jarinya bergerak untuk membalas pesan itu.
JinggaLasvenna "Iya? Siapa ya?"
Tringgg triingg triiingg
Handphone di tangan Jingga mengedipkan lampu kecil yang ada di atasnya, menunjukan kalau ada panggilan masuk. Nomor yang sama dengan yang tadi mengirimi nya pesan. Hampir saja Jingga melempar ponsel nya tadi karena terkejut, tidak menyangka si pemilik nomer langsung menelponnya seperti itu.
Jingga menekan bulatan hijau dan langsung terhubung dengan orang di seberang sana.
"Assalamualaikum.. Hallo " Ucap Jingga mengawali percakapan.
"Waalaikumsalam Jingga, ini gue Senja. Inget kan? Yang tadi siang ngobrol sama lo."
Hah??
Seperkian detik Jingga tidak dapat membuka mulutnya. Terlalu kaget mengetahui siapa yang menelponnya saat ini. Senja? Darimana pria itu mendapatkan nomor ponselnya?
"Hallo Jingga? Lo masih disana? "
Jingga kembali ke alam sadarnya, mengerjap dan berdehem pelan.
"i-iya kak.. Maaf tadi habis matiin laptop dulu." Alibinya. Toh orang di seberang sana tidak akan tau, pikirnya.
"Ada apa ya kak? Dan tau nomer aku darimana?" Tanya Jingga langsung.
Dia merasa kalau mereka tidak seakrab itu untuk saling melemparkan basa basi.
"Oh engga apa-apa sih tadi cuma mau mastiin aja ini bener nomer lo. Tadi siang gue dapet nomer lo dari pacarnya Fajar, katanya dia temen sekelas lo. Gue ganggu kah?"
'Hmm.. Dafi ngasih nomer gue ke orang tanpa ijin dulu." Gerutu Jingga dalam hati
"Engga ganggu kok kak, tadi lagi bikin presentasi aja, tapi masih buat Senin depan kok." Jawab Jingga sesopan mungkin. Bagaimana pun pria yang sedang bicara lewat telepon dengannya ini adalah Kakak kelasnya.
"Syukurlah kalau gitu, sory gue nelpon soalnya engga biasa kalau chat. Oiya, tadi siang kan gue engga jadi nebus salah gue karena harus ke ruang osis, jadi kalau lo bisa besok mau engga ke kedai ice cream yang deket sekolah itu bareng gue?"
Jingga tampak berpikir sejenak, apa benar cowok yang sedang menelpon nya ini benar-benar hanya ingin menebus rasa bersalah seperti katanya tadi atau..
"Jingga? Lo keberatan ya? Kalau lo engga bisa engga apa-apa kok. Gue jadi ngerasa engga enak udah muncul terus seharian ini" kata Senja lalu terdengar tawanya setelah itu.
"Eh engga apa-apa kok, aku bisa. Besok sepulang sekolah ya." Putus Jingga akhirnya.
"Oke nanti kita ketemu di parkiran aja ya. Thanks Jingga. Kalau gitu gue tutup ya telponnya. Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam kak"
Tut tut tut
Sambungan terputus.
Jingga menghempaskan badannya ke kasur. Sebenarnya ini pertama kalinya dia akan berjalan berdua bersama lawan jenisnya, agak gugup untuk sekedar memikirkannya. Tapi tidak apa-apa kan? Dia sudah cukup dewasa untuk dekat dengan lawan jenis. Dekat? Ah Jingga terlalu percaya diri. Jelas-jelas Senja bilang hanya sebagai permintaan maaf.
******
Bel pulang sekolah terdengar nyaring membuat siswa siswi berhamburan keluar kelas.
Jingga membereskan beberapa buku yang berantakan di mejanya.
"Jingga.. Lo masih marah ya karena gue ngasih nomer lo ke kak Senja?" Tanya Dafi merasa bersalah.
Ya, sejak tadi pagi setelah Jingga datang dan mengintrogasinya, Jingga tidak mau lagi berbicara pada sahabatnya itu hingga saat ini. Alasan sepele, dia tidak suka Dafira memberikan hal yang menurutnya privasi kepada orang lain tanpa seijinnya lebih dulu.
Jingga menghela nafas dan kemudian menatap ke arah sahabatnya itu.
"Gue bukan marah karena itu, Daf. tapi karena ucapan lo ke kak Senja yang nyodorin gue buat kenalan sama dia. Kesannya gue ini engga laku sampe harus di kenalin ke cowok secara mendadak begitu." Jingga mengucapkan alasan lain selain soal nomornya.
"Iya gue tau cara gue salah, Ngga. Tapi niat gue baik kok, gue cuma mau lo bisa sedikit ngebuka diri lo buat orang yang ada di sekitar lo. Lagian gue tau kok kak Senja itu orangnya baik." Dafira mencoba meyakinkan.
Lagi, Jingga menghela nafas kasar lalu menyandarkan tubuh di kursi.
"Gue sendiri belum bisa nyimpulin dia baik atau engga, Daf. Gue satu sekolah sama dia, tapi baru kemaren gue tau dia siapa. Dan lo tau kan, namanya dia itu 'sedikit' bikin gue engga nyaman." Ucap Jingga sedikit menunduk memasukan buku nya ke dalam tas.
"Udah dong, Ngga. Lupain masa lalu lo. Lagipula apa hubungan nya nama dia sama masa lalu lo. Yang ngasih nama dia kan orang tuanya bukan mau dia sendiri. Lo engga bisa ngejudge dia cuma karena nama nya ngingetin lo sama situasi yang nyakitin lo di masa lalu."
Jingga tidak menjawab. Dia pikir apa yang di katakan Dafira itu benar.
"Yaudah gue lagian engga marah kok sama lo, tapi lain kali jangan begitu ya ke orang. kalau gitu gue keluar duluan ya, udah terlanjur janji sama Kak senja."
"Sip.. Semoga menyenangkan ya Jinggaaaa."
Dafi melambaikan tangannya ke arah Jingga. Dan jingga mulai berjalan keluar kelas menuju parkiran.
Tidak sulit menemukan orang yang di carinya, karena dia sudah ada disana sambil melambaikan tangan ke arah Jingga.
Jingga tersenyum dan berjalan lebih cepat.
"Udah lama kak?"
"Engga kok baru juga 5 windu"
Jingga tertawa kecil mendengarnya sedangkan Senja hanya tersenyum.
"Yuk jalan!"
Senja memberikan satu helm untuk Jingga dan mempersilahkan Jingga naik ke atas motor Ninja hitamnya.
Tidak lama kemudian Senja langsung menjalankan motornya keluar dari gerbang sekolah.
Tidak banyak yang terjadi selama di perjalanan, karena masing-masing dari mereka sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri. Suasana canggung tidak dapat dihindari karena bagaimanapun mereka sebelumnya tidak saling tahu.
Jingga turun dari motor itu perlahan saat kedua nya sudah sampai di sebuah kedai bertuliskan "Elsa's Room".
Aneh memang. Karena pada dasarnya orang yang memiliki usaha akan menggunakan kata kafe atau kedai tapi ini justru room yang seakan menyatakan sesuatu yang lebih pribadi. Lebih untuk diri sendiri.
Jingga mengekori Senja yang masuk lebih dulu dan duduk di meja dekat jendela.
"Mau ice cream apa Jingga?" Tanya Senja kemudian.
"choco green tea aja kak."
Jingga tau bahwa menu itu yang jadi andalan di kedai ini. Dia pernah dua kali kesoni bersama Dafira dan teman-temannya yang lain.
Senja menghampiri meja kasir dan menyebutkan pesanannya, sesaat kemudian dia kembali duduk berhadapan dengan Jingga.
"Maaf ya Jingga kalau lo engga nyaman jalan sama gue, gue agak kaku soalnya." Ujar Senja mencairkan suasana yang sejak tadi terasa canggung.
"Eh engga kok kak, ya maklum lah kalau kita saling canggung. Walaupun kita satu sekolah tapi kita baru saling kenal sekarang dan langsung jalan keluar bareng." Jingga menyahuti sesantai mungkin.
Senja tersenyum mendapati jawaban seperti itu dari Jingga.
"Btw bisa engga kalau lo panggil gue Senja aja engga usah pake kak. Soalnya malah makin kerasa canggungnya kalau lo panggil gue pake kak gitu."
"Emang boleh begitu? Aku kan junior kak Senja."
"Ya engga apa-apa lah, bahkan kalau lo belibet pake kata 'aku' juga lo boleh make gue-elo."
"Eh engga boleh kalau itu mah, engga sopan nama nya kalau pake gue-elo sama senior." Ucap Jingga.
Senja hanya tertawa kecil.
Ternyata gadis di hadapannya ini tidak kalah 'kaku' darinya.
Beberapa menit kemudian hening, sampai akhirnya pesanan mereka datang.
"Loh pesanan kamu juga sama, Nja?" Tanya Jingga menuruti permintaan Senja yang minta di panggil dengan nama. Walaupun lidahnya agak canggung dan aneh saat bicara seperti itu.
Senja mengangguk sambil tersenyum.
"Banyak yang bilang green tea bisa nenangin pikiran karena rasanya yang lembut dan 'simple', pertama kali gue coba minum green tea yang bentuk cair waktu Fajar ngajak gue makan di resto fast food. Dan pas minum itu entah kenapa perasaan gue jadi mendadak mellow hahha."Senja tertawa.
"Rasa yang gue dapet bener-bener lembut dan engga enek, dan ice cream ini engga beda jauh walaupun di campur dengan coklat." Senja menceritakan sedikit kisahnya. Tidak ada yang meminta padahal, hanya inisiatifnya saja agar keadaan bisa santai.
"Sejak saat itu gue jadi suka green tea dan mesan itu terus setiap gue makan di luar bareng Bunda atau saat bareng temen-temen gue. Dan anehnya gue engga pernah bosen. " Lanjutnya sambil menatap lembut gadis di depannya yang tengah tersenyum menanggapi ucapannya.
"Aku sebenarnya engga terlalu merhatiin tentang rasa green tea kaya kamu ngedeskripsiinnya, cuma yang kamu bilang emang bener. Kalau ada rasa lembut di dalam green tea itu yang ngebuat orang yang ngerasainnya jadi tenang. Aku suka green tea, tapi engga semaniak kamu." Ucap Jingga sambil tertawa.
Mereka tertawa bersama dan kemudian larut dengan rasa Green tea dan coklat yang mereka santap.
Diluar hari sudah semakin sore. Langit membentangkan warna Jingga dengan indahnya, mengantar matahari perlahan kembali ke peraduan.. Menjadi saksi awal kedekatan dua anak manusia yang nama nya memiliki keterkaitan arti.
*****