Hadiah itu memang bukan Lulla sendiri yang membuatnya, tidak juga ia beli dari toko pernak-pernik. Dulu saat masih jadi anak baru di sekolah menengah atas, ada satu siswa laki-laki yang memberikan hadiah itu padanya. Namanya Brian. Dia menyatakan perasaannya saat itu juga. Tentu saja sebagai perempuan yang baik, Lulla menerima tawaran Brian untuk pacaran, meski hubungan mereka tidak bisa bertahan lama. Lulla bahkan meminta ijin untuk menyimpan hadiah itu karena menurutnya menawan sekali.
Tidak hanya hadiahnya saja, baginya Brian juga menawan. Sayang mereka sudah tidak pernah bertemu lagi setelah hari kelulusan. Kini, ketika mendapatkan balasan yang tak terduga dari seorang teman sialan bernama Oktano, Lulla merasa mungkin inilah akibatnya kalau bermain-main dengan barang pemberian orang lain.
Ketika memberikannya ke Oktano, ia tidak berpikir macam-macam. Lagipula orang yang ia sukai sudah berganti, jadi ia pikir sudah saatnya menyingkirkan benda pemberian mantan. Apakah Brian bisa memaafkannya jika ia tahu hal ini?
Tapi daripada pusing merenung seorang diri, Lulla punya ide yang lebih bagus hari ini. Ia mendatangi Oktano yang sedang sibuk di pojok koridor dengan buku sketsanya.
"Oh, hai Lulla. Sudah selesai kelas?"
Tangan Lulla terkepal di balik punggung.
"Siapa orang itu?"
"Hmm?" Oktano menutup buku sketsanya, fokusnya beralih pada perempuan di hadapannya.
"Ku tanya siapa yang kau beri nomorku! Aku tidak mengenalnya, kenapa aku harus meladeninya?!"
Beruntung koridor sepi, dan posisi mereka tidak dekat dengan ruang kelas, tapi kantin dan taman belakang kampus.
"Ah, Vincent sudah menghubungimu?"
Lulla diam saja.
"Dia bilang sudah naksir denganmu sejak ospek."
"Kenapa kau memberikan nomorku padanya? Apa hakmu?"
Oktano berjingkat mendapati kalimat Lulla yang tidak biasa ia dengar. "Memangnya kenapa? Itu kan hanya nomor telepon."
"Apa menurutmu aku bersedia berkirim pesan dengan siapa saja?"
"Maaf?"
"Aku tidak merima pesan dari orang asing."
Oktano menggaruk kepalanya, bingung. "Memangnya kau sealergi itu dengan orang baru yang ingin masuk ke hidupmu?"
"Aku tidak bilang begitu."
"Tapi kelihatannya seperti itu." Lirih Oktano yang masih mampu didengar si perempuan.
"Apa kau ingin aku dekat dengan Vincent?" Sekali lagi Lulla bertanya, hanya untuk sekedar memastikan bahwa perasaannya bukanlah halusinasi semata.
"Kalau itu tidak mengganggumu, kenapa tidak? Dia tampan kok, banyak yang suka juga."
"Oh, itu yang kau mau?"
Lagi-lagi Oktano menarik senyum canggung saat sedang bingung.
"Kau ingin aku dekat dengan Vincent?" Perempuan itu lagi-lagi bertanya.
"Beri aku alasan kenapa aku harus dekat dengannya?"
"Errr, karena dia sering memikirkanmu mungkin?"
Kilat kemarahan di mata Lulla mereda, digantikan oleh sorot putus asa.
Ternyata benar, perasaannya dan keinginannya agar Oktano punya perasaan yang sama hanya halusinasi saja.
"Kau sendiri..." Lulla mengikis air matanya dengan tangan.
Hening menyelimuti mereka.
"Apa kau sendiri pernah memikirkan.... aku?"