Dengan kedua tangan yang penuh lima modul tebal, dan langkah yang terhuyung karenanya. Lulla beberapa kali hampir jatuh kalau saja ia hilang kesadaran diri. Kulitnya yang pucat jadi makin pucat gara-gara semalaman tidak bisa tidur. Ia kepikiran sesuatu. Tahun ajaran akademik baru saja berganti, yang mana artinya sudah satu tahun sejak perkenalan singkatnya dengan Oktano. Tapi status mereka tidak kemana-mana, alias masih di tempat yang sama meski intensitas pertemuan mereka makin sering.
Telepon? Chat?
Tidak, mereka tidak sering berkomunikasi digital. Memang pada dasarnya setiap hari sudah bertemu, dan kadang satu kelas juga. Tapi agaknya, baik Lulla maupun Oktano terlalu menikmati kedekatan mereka sebagai teman biasa hingga lupa bahwa waktu berjalan sangat cepat. Kadang Lulla merasa seperti perasaan ini hanya miliknya saja, tapi kadang ia juga sedikit yakin bahwa Oktano juga menyukainya.
Dan semua hal, termasuk makan di kantin, kerja tugas, pergi saat malam minggu, dan menjajali tempat makan baru, yang mereka lakukan bersama selama ini tidak akan berbuah apa-apa kalau Lulla tidak segera bertindak. Oleh karena itu, meski harus dilanda pusing hari ini, ia sudah membuat rencana lain yang akan membuat hidupnya sedikit lebih berwarna.
'Bruk'
"Hati-hati," Ujar si tiang listrik yang baru saja Lulla tabrak tanpa sengaja.
"Maaf." Lulla kembali menunduk.
"Kau pucat sekali, sini aku saja yang bawa bukunya." Oktano tersenyum sekilas dan menarik seluruh buku dalam dekapan si perempuan yag sudah jadi teman baiknya ini.
Lulla sih oke-oke saja selama itu meringankan bebannya.
"Lulla, kenapa kau pucat sekali? Belum makan? Atau kau sakit?"
Lulla diam saja, hanya sibuk memandangi langkah kakinya sendiri.
"Kenapa memaksakan berangkat? Lebih baik istirahat saja di rumah."
Mendengarnya, Lulla makin mengeratkan cengkeraman tangan di ujung kemejanya. Perkataan Oktano jelas berefek besar pada dirinya, terbukti dari debar jantung yang tak mau berhenti sejak tadi. Lulla ingin melakukan sesuatu, makanya ia rela berangkat hari ini. Tapi hal ini tidak mungkin ia katakan dengan gamblang di depan orang yang ia sukai.
"Atau kau ingin melihatku ya? Hehe." Oktano terkekeh, bermaksud mencairkan hening yang terlalu kentara.
Tapi sialnya, Lulla tidak menolak perkataan itu. Baiklah harga diri, jangan menampakkan diri dulu hari ini.
"Kau benar, aku memang benci meski hanya satu hari saja tidak melihatmu."
Oktano hanya meresponnya dengan tawa.
---
Sebuah kotak kado tiba-tiba saja ada di depan Oktano yang sedang menikmati makan siangnya di kantin. Kaget, ia menoleh ke samping kiri hanya untuk mendapati Lulla dengan senyuman malu-malunya.
"Ini apa?"
"Hadiah. Ku dengar dari temanku kau ulang tahun."
"Wah, siapa temanmu sampai mengenalku sebaik itu?"
Lulla menggaruk tengkuk. "Yah, ada lah, teman satu jurusan kita."
Bohong.
Lulla bahkan harus begadang semalaman demi memantau semua akun sosial media Oktano, mencari tanggal ulang tahun pemuda itu.
"Tapi terima kasih hadiahnya, boleh ku buka?"
"JANGAN!" Lulla menyeru, yang mana membuat Oktano langsung terlonjak, hampir tersedak.
"Kenapa?"
"Nanti saja kau buka saat sedang sendiri, pokoknya jangan buka di depanku."
Oktano lagi-lagi hanya bisa tertawa lebar. "Kenapa sih? Seperti mau menyatakan perasaan saja kau ini."
Senyuman tipis di wajah Lulla luntur.
Iya memang. Benar, hadiah yang ia berikan mengandung surat cinta di dalamnya. Di atas bintang-bintang kecil itu, ada satu bintang yang paling besar yang mana di dalamnya ada pernyataan cinta Lulla. Ia sudah memikirkannya semalam, ia pikir akan lebih baik kalau sebuah kalimat sederhana namun menampung seluruh perasaannya itu punya tempat sendiri. Karena itulah Lulla menyisakan sedikit tempat kosong untuk menaruh si bintang paling besar diantara bintang-bintang yang lain.
Sayangnya, Lulla sendiri lupa memberitahu Oktano soal bintang yang paling besar itu, bahkan ketika hari sudah berganti.
---
Lulla berdebar, ia tidak bisa tidur lagi tadi malam. Meski harapannya kecil Oktano akan membaca surat dibalik bintang yang paling besar, tapi Lulla tidak putus asa. Ia yakin si tinggi itu pasti akan menyempatkan waktu untuk menelisik isi toples itu lebih dalam. Malam ini juga sama saja, ia masih belum bisa tidur. Ponsel juga ia taruh di samping ranjang, karena siapa tahu Oktano akan segera menghubunginya dan bicara empat mata esok hari.
Sesuai dugaan, ponselnya benar-benar berdering singkat. Sebuah notifikasi pesan masuk.
Tapi Lulla mengerutkan dahi. Itu bukan Oktano.
"Vincentius? Siapa ini?"
Vincentius : Salam kenal kak Lulla. Aku fans beratmu sejak masuk kuliah. :)
Lulla Adel : Siapa ini?
Vincentius : Vincent, arsi semester 1.
Lulla Adel : Darimana dapat id lineku?
Vincentius : Kak Oktano.
Vincentius : Kak, mau makan denganku tidak?
Read
Vincentius : Atau nonton film?
Read
Vincentius : Aku ingin bisa akrab denganmu.
Read
Vincentius : Kalau mau, jawab ya. Aku tunggu.
Read
Sialan kau Arvan Oktano.