Setelah berpisah dengan sang sopir dan mengucapkan terima kasih sambil berpesan agar hati-hati di jalan, kami berempat segera mengenakan helm dan gloves, bersiap gowes turun ke arah Taman Safari sebagai check point pertama.
"Makasih banyak Mas, hati-hati di jalan," ujar Sepupuku sambil melambai ke arah sopir.
"Standby ya ntar gw telpon," ujarku mengingatkannya untuk menjemput kami bila nanti dibutuhkan.
"Kreetak ... kretikkk ... rerrtttt," terdengar suara rantai dan perpindahan gigi sepeda kami mencari rasio paling ideal. Tapi ...
Ouw ... kok bolak-balik ketemu jalan yang sama di sekitar rumah pekerja perkebunan. Aneh!
Jalan berbatu yang licin tertutup lapisan lumut cukup merepotkan juga.
Tidak satu pun dari kami yang menguasai jalur sepeda menuju Taman Safari, karena kami memang belum pernah sama sekali bersepeda di kawasan Puncak.
Aku yang kebetulan berjanji membawa potongan peta dari majalah Cycling yang baru terbit beberapa edisi saat itu, betul-betul lupa ... jangan-jangan tertinggal dalam tas pakaian di Sentul.
"Ah ... siapa yang mau pusing urusan jalan, mental sedang tinggi ... yang penting lanjut gowes aja ... toh banyak 'GPS warung' di sepanjang jalan," begitu pikir kami.
Bersepeda memang menyenangkan dan bisa bikin irasional ...!!!
Coba pikir aja, ngapain juga bolos kerja hari Kamis ... kan tinggal tunggu satu dua hari udah ketemu Sabtu ....!
Beberapa cluster vila mewah dan menengah kami lewati ... wah kok gak beda dengan bersepeda di kompleks pemukiman.
"Yaaaa ini mah sama aja gowes di komples gw," ujar Sepupuku.
Ada rasa kecewa karena gak berhasil menemukan track bersepeda di Puncak yang katanya sangat menantang menyusuri hutan skunder.
'GPS Warung' bolak balik justru mengarahkan kami ke Jalan Raya Puncak ... ada apa ... pikir kami saat itu.
"Sabar ... sabar," ujar Kakak Sepupuku.
"Kan kita baru pertama kali ke mari," tambahnya lagi.
Akhirnya persis di suatu pertigaan kecil, yang ke arah kirinya menuju Taman Safari, dan ke kanannya menuju Jalan Raya Puncak, kami terpaksa berhenti di sebuah bangunan semi permanen bekas bengkel kendaraan bermotor.
Rantai sepeda Adik mengalami gangguan teknis, sehingga tidak bisa pindah ke gear yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Setelah diperiksa, ternyata ada salah satu pin mata rantai yang patah.
"Rante lu putus tuh ... makanya jangan beli barang second!" candaku ke Adik.
"Frame gw doang yang second, lainnya barang bekas," balasnya spontan.
Dodol ...!!!
Empat sekawan gak kehabisan akal, walaupun gak bawa potongan rantai serep. Dua mata rantai terpaksa dikorbankan, yang punya sepeda hayu aja ... dan gak ikut kerja!
"Dasar pemalas ... manja!" Diam-diam kami bertiga menggerutu dalam hati ...!
Adikku memang rada ebleng, ada gangguan di jalan ya tinggal telpon sopir atau panggil taksi ...!
"Dasar pria sederhana miskin petualangan ...!" Aku masih lanjut mengutuk.
Beres urusan teknis, kami pun melanjutkan perjalanan ke arah Jalan Raya Puncak. Berbaur dengan kendaraan umum, motor, dan mobil pribadi.
"Hati-hati aspalnya licin basah," ujar Sepupuku.
Tapi gak ada yang peduli!
Kami turun menyusuri Jalan Raya Puncak, secepat angin. Udara sejuk menerpa muka.
Sekitar 50 meter setelah jalan yang terpisah dua ruas, dua arah, tiba-tiba ada yang punya ide gila.
"Wooooiiiii stop dulu cuiiii!" ujar Kakak Iparku setengah berteriak.
Ternyata Kakak Iparku memutuskan untuk membeli beberapa buah tangan buat istrinya. Hahaha ... rupanya dia ingin membuktikan bahwa dia pernah bersepeda di Puncak.
"Gak pakek nitip ya ... bawa sendiri aja," ujarku sambil tertawa lepas.
Pria yang butuh pengakuan!