Chereads / KUNTILANAK MERAH / Chapter 7 - Petualangan Sesungguhnya

Chapter 7 - Petualangan Sesungguhnya

Sebagian kendaraan sudah menyalakan lampu kecil ketika kami bergiliran menyeberangi Jalan Raya Puncak ke arah kanan.

Permukaan aspal terasa bergelombang ketika kami menyeberangi jalan raya itu.

Tiba di seberang, 'GPS warung' membenarkan bahwa Jalan Puncak Cipayung tersebut bisa tembus sampai ke Sentul.

"Mungkin ini petualangan sesungguhnya!" kami semua berharap.

Dengan semangat semua bersiap melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama setelah itu kami tiba di sebuah pertigaan, ke kiri atau lurus ...?

"Lanjut ke kiri," teriak Sepupuku.

"Lanjjuuutttt ...!" balas Kakak Iparku.

Tapi lima menit kemudian, dia sendiri yang minta berhenti dan kembali bertanya ke 'GPS warung'.

"Eh ... stop ... stop ... gw pastiin dulu deh," ujar Sepupuku.

Ternyata kami salah jalan!

Saat itu kami sudah berada di ruas Jalan pasir Angin 3, dan terpaksa berbalik arah melanjutkan perjalanan pulang ke Sentul.

"Yaudah puter balik ... puter balik," ujarku memberi komando ke rombongan.

Melewati pertigaan tadi, kami berbelok ke kiri menelusuri Jalan Puncak Cipayung yang mulai berkelok dan menanjak.

Birama nafas perut dan paru bergantian semakin kerap terdengar dan meninggi setiap kali melewati tanjakan tajam.

"Huh ... hehhhh ... hahhhh ... wuhhhh," suara nafas terdengar bersahutan.

Adik tertinggal cukup jauh di belakang, fisiknya memang paling lemah di antara kami berempat. Karena jarang tidur, insomnia berat!

Beberapa saat kemudian aku sengaja berhenti untuk menunggunya di titik tertinggi sebuah tanjakan.

Hitam aspal jalanan semakin sulit kelam, ketika kulihat dia mulai turun dan menuntun sepeda ke arahku.

Keluhannya panjang lebar silih berganti dengan nafas terbatas ... Senin ... Kamis ... Senin lagi.

"Berhenti dulu ya ... gilaaaa ... engap parah nih gw," ujarnya berkejaran dengan tarikan nafas secepat not 1/32.

Dia minta berhenti ... menyerah total ... tapi berhasil kubujuk untuk melanjutkan perjalanan.

"Ayo lanjut ... abis ini turunan kok ... bonus nih bonus," ujarku coba menyakinkannya.

Permintaannya untuk berhenti sebetulnya sangat logis karena dia myopia, minus 3.5 ... dan ... tidak satu pun dari kami berempat yang membawa lampu sepeda ...!

Visibilitas dan nafas yang terbatas pasti membuatnya tak nyaman.