Chereads / KUNTILANAK MERAH / Chapter 11 - Kuntilanak Merah

Chapter 11 - Kuntilanak Merah

Agak jauh di kanan depan dari tempat mereka berhenti terlihat sebuah bangunan besar berlantai banyak dalam kondisi terhenti proses pembangunannya. Proyek mangkrak nampaknya!

Aku segera mendekati mereka. Dari raut muka Sepupu dan Kakak Iparku, nampaknya mereka sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi pada Adik. Karena mereka memang berniat balapan sejak awal.

Perlahan aku dekati Adik, dan menanyakan apa sebetulnya yang dilihat tadi sampe bikin dia ngebut segila itu.

"Ssst ... liat apaan sih tadi ampe ngibrit celeng gitu?" tanyaku.

Nafasnya masih tersengal, dia hanya memberi tanda gelengan bahwa dia belum bisa menjawab pertanyaanku barusan.

Well, aku paham dia pasti lelah luar biasa. Namun tiba-tiba seluruh bulu kudukku berdiri ... tapi tak aku acuhkan.

Ah ... peduli setan ...!

"Sebentar lagi kami akan tiba di Sentul, lagi pula sudah ada lampu merkuri di beberapa titik jalan pemukiman ini," ujar bathinku menenangkan ruang sadarku.

Sebelum aku sempat melepaskan pertanyaan yang sama ke Adik, tiba-tiba air mukanya berubah. Suaranya sedikit bergetar mengajak kami semua untuk segera melanjutkan perjalanan.

"Eh ... sebaiknya jalan sekarrraangg ajahhh," ujar Adikku memberi komando untuk segera bergerak.

Aneh ...! Aku tahu persis, dia pasti belum kuat untuk melanjutkan perjalanan. Tapi ...

Benar saja ...! Ketika semua bersiap untuk berangkat, tiba-tiba dia minta untuk ditarik dengan mobil sambil berpegang ke pilar B.

"Numpang ya gw pegangan di pintu kanan," ujar Adik minta ijin ke pemilik mobil.

Dia berada di sebelah kanan kendaraan, mobil berjalan perlahan menariknya ke arah sebuah tanjakan tajam. Beberapa kali pegangannya terlepas. Sedangkan kami masih mencoba gowes, berhenti, tuntun sepeda, gowes lagi, begitu bolak balik mencoba sekuatnya.

Lelah luar biasa ...!

Semua otot motorik dan persendian semakin gak sinkron.

Kira-kira 20 meteran lagi mendekati puncak tanjakan, dimana terletak taman bundar yang menyatukan Jalan Pelangi Raya, Jalan Pelangi Golf, dan Jalan Pelangi Boulevard, tiba-tiba aku melihat sekelebat cahaya merah mendahului kami ke arah bundaran tadi!

"srrrrrrrrrssshshhhhhh," desis suara angin seakan mengiringi kelebat cahaya itu.

Aku berusaha membuang pandangan ke tempat lain, tapi seperti terhipnotis, aku pun dibuat terpaku melihat tepat ke arah cahaya merah tersebut.

Bagai proses metamorfosis ... perlahan cahaya merah tadi berubah ... mewujud jadi sesosok wanita berpakaian panjang berwarna merah.

Pakaiannya berkelebat diterpa angin. Melayang panjang berirama gerak perlahan.

Aku berada di belakang mahluk wanita itu. Rambut hitamnya kadang terkembang melambai ke segala arah.

Baru kali ini aku bisa melihat dengan jelas sesuatu yang gaib di luar mimpi ...!

Nafasku tersengal melawan pukulan kuat adrenalin yang mengalir liar.

Akhirnya aku kembali bisa mengendalikan diri, dan segera berbalik ke arah Adik yang masih ditarik dengan mobil beberapa meter di belakangku. Ketika kami berdekatan dia langsung balik bertanya.

"Liat apa barusan, cantik tapi serem banget ya ...?" tanya Adikku.

Nah lho ... dasar indigo!

Gak lama ... dia memintaku untuk melihat ke depan lagi ... ke arah bundaran.

"Cepat liat tuh ke depan!" ujar Adik memintaku fokus ke sesuatu di depan.

"Wuihhh ... look man ... no wires ...!!!" aku berdesis terpana.

"Tapi jangan liat bagian mukanya!" ujar Adik mengingatkan.

Gila sosok hantu wanita itu masih ada ... melayang ... berputar sekitar tiga kali di bundaran itu. Setiap kali ujung pakaiannya berkelebat ... selalu menyisakan lidah-lidah cahaya kemerahan!

Proporsi pakaiannya yang begitu panjang membuatku bergidik, merah tanpa motif, layaknya berlembar-lembar kain yang saling menapis tanpa jahitan.

"Bangsat ... Bangsat ... Bangsat!" aku mengutuk dalam hati.

Visualisasi setan ini pasti mustahil dapat kuhapus dari ingatan. Aku tak akan merelakan satu kilobit pun memori otakku terisi informasi sampah menakutkan seperti ini.

Tapi air muka Adikku malah mulai terlihat tenang. Dia lepaskan pegangannya ke mobil dan minta mobil menyusul Sepupu dan Kakak Ipar yang sudah lebih dulu tiba di bundaran.

"Makasiihhhhhh ... saya numpang sampe sini aja, lanjut ke depan ya," ujar Adikku.

Setelah mobil itu berjalan, tempat kami berdiri jadi gelap. Sial suasananya bikin aku ketakutan lagi.

Adik kemudian berbisik, melarangku agar jangan sampai menoleh atau melihat ke arah kiri jalan ... bulu kuduk semakin meremang ...!

"Jangan liat ke kiri, pandangan fokus ke depan aja," ujarnya lagi-lagi mengingatkan.

Wanita merah yang terbang di bundaran perlahan menghilang ke arah Jalan Pelangi Golf.

"Mungkinkah ia berbalik dan muncul tiba-tiba di belakang kami...?" benakku berujar ketakutan.

Suasana makin mencekat ... kerongkongan terasa kering ... minuman tertinggal di mobil ...!

Adikku terlihat berjalan lebih santai, dengan tenang dia bilang ...

"Wanita merah tadi bukan mahluk karbon seperti kita," jelasnya.

Bodo amat ... resek bener nih anak!

"Energinya sangat besar," tambahnya.

Ssinar photon kalee ... neg juga lama-lama kayak para-psikolog kelakuannya!

"Tapi dia muncul untuk tujuan baik, mengingatkan kita agar segera meninggalkan lokasi tersebut," ujar Adik berupaya menyampaikan informasi tak berdimensi yang ia terima.

"Jika kita masih berada di sini saat hujan deras yang akan turun beberapa waktu lagi ... semua hal bisa terjadi!" Adik menyampaikan peringatan dari kuntilanak merah, atau apapun nama mahluk berwarna merah tadi.

"Ini dia nih yang gw gak demen ... kalo baik kok ujungnya ada intimidasi!" aku ngedumel dalam hati. Dasar setan PKI!!!

Tiba-tiba ... glleeggggggaaaarrrrrr ...!!!

Cahaya kilat benderang di kiri langit! Adikku berteriak kencang ...

"Jangan liat ke kiri ...!!!" pekik Adikku.

Sial ... hampir saja ...!

Nafasku sempat tertahan sejenak. Lalu karena merasa gak suka di bawah kendali rasa takut, aku bilang gini ke Adikku ...

"Loe ceritain aja deh apa yang ada di sebelah kiri!" ujarku setengah berteriak. Bodo amat!

"Okey!" balasnya sesingkat itu.

Hihhh ... Nyesel juga jadinya!

"Tapi gengsi dong, kan gw duluan yang kenal planet bumi, gw duluan yang tau bima sakti, dan gw juga yang duluan bisa naek sepeda! Tapi dia duluan sih yang tau anti-gravitasi!" Aku sempat menggerutu rumit dalam hati.