Di pintu keluar tol Cibubur Adik terbangun. Rupanya dia sempat tertidur karena kelelahan hari ini. Jalan tol yang monoton memang memancing rasa kantuk luar biasa.
Kami turunkan sepeda Adik di pelataran parkir rumahnya. Setelah itu kami segera bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing.
Ketika mobil mulai bergerak, tiba-tiba Adik coba menghentikan kami. Dia ketuk perlahan kaca samping depan.
"Gimana rasanya teh manis di kedai terakhir tadi?" Adik bertanya kepadaku dan Kakak Ipar yang duduk di kursi kiri.
"Kenapa?" tanya kami serentak.
"Coba kalian ingat-ingat lagi. Memangnya kita sempat memesan teh manis di kedai tadi?" ujar Adik coba memastikan apakah ingatan kami masih bekerja dengan baik.
"Siapa di antara kita semua yang sempat berbicara dengan pemilik kedai tadi?" tanyanya lagi.
"Gak ada, kan?" Adik coba menyakinkan.
"Pemilik kedai itu tak pernah menagih bayaran atau menyebut jumlah tagihannya, kan?" tanyanya lagi.
"Mengapa dia tahu apa yang kita inginkan sebelum kita menyampaikan pesanan?" ujar Adik kembali bertanya.
"Mengapa kita tahu jumlah yang harus dibayar?" cecar Adik tak memberi kesempatan kepada kami untuk menjawab pertanyaan sebelumnya.
"Kalian pasti hanya mengingat warna merah bajunya, kan?" ujar Adik seakan memberi petunjuk.
"Detik ini ... ya detik ini, coba kalian ingat-ingat lagi bagaimana rupa pemilik kedai tadi?" Adik mengganti pertanyaan lain.
"Jika kalian bisa mengingat sedikit saja paras wajahnya berarti dia manusia biasa," jelas Adik.
"Jika tidak?" tanya Kakak Iparku.
"Berarti mereka masih satu keluarga," jawab Adik sambil meninggalkan kami masuk ke rumah.
Anjrit ...! Sampai kapan teror ini akan berakhir...?!