Semua siswa Altha sudah mengisi keramaian sekolah lagi, anak yang pulang ke rumah saat hari minggu kembali ke asrama pada senin pagi.
"Lo kemana sih semalam?" Tanya Zhizi pada aina
"Gue sama Ayi dibawa Rio ke apartement milik kami bertiga"
"Milik bertiga?"
"Iya, tempat untuk nongkrong juga"
Mereka sedang bersiap-siap menuju kelas, asrama selalu dikunci dan diawasi dengan ketat agar tidak ada yang lari ke asrama saat jam pelajaran. Tidak ada yang bisa masuk sampe jam pulang bahkan dengan alasan sakit sekalipun.
Sesampainya dikelas semua siswa heboh dengan topik mading yang sudah ditempelkan pihak sekolah dimading utama sekolah. Bahkan sangking hebohnya jika mendengar atau menguping saja tidak akan dipahami siapapun.
"Ada apasih? " Tanya aina pada Ayi yang sedang duduk diatas meja sambil melipat tangan didada
"Biasa, hal apa lagi sih yang gak bikin heboh kelas"
"Ada apa sih? " Sambut Zhizi yang makin keterangan
"Rombak kelas, penentuan siswa kelas 12 IPA 1 sampai 3. Yang jelas yang pintar akan berada di IPA 1 dan di IPA 3 yang paling??? " Jelas Aina untuk dilanjutkan Zhizi
"Bodoh? "
Aina menganggukkan kepala, berbeda dengan Zhizi yang merasa semakin stress, lumayan sekarang dia berada di IPA 2, bisa gawat kalau dia masuk kelas IPA 3.
"Kenapa rasanya berat banget sih" Batinnya
Dengan tatapan datar Zhizi pergi menuju bangkunya yang ikut dikerumuni para siswa lain. Untuk sampai kemejanya dia menyelip dan mendorong semua orang yang menghalangi jalannya. Beberapa siswa yang terhempas ke samping menatap tajam pada Zhizi.
"Woi bisa santai gak sih"
Entah siapapun yang protes itu Zhizi tetap datar dan tiba di mejanya.
"Geser"
Kini dia sedang menyuruh seorang perempuan minggat dari atas mejanya.
"Gue numpang duduk di meja lo doang, kursi lo gak gue jajah"
"Geser" Ucap Zhizi datar
"Belagu baget sih lo! Dasar cewek kampung! "
Lawan bicaranya kali ini memang salah satu anggota cabe sekolah yang memiliki mulut kasar.
"G E S E R" Eja Zhizi
Perempuan itu menghebus poninya dengan kesal kemudian pergi dari sana. Zhizi baru sadar dikelasnya ada siswa seperti itu. Selang beberapa lama semua siswa ikut bubar dan guru pun mulai masuk. Zhizi berusaha memahami pelajaran Fisika yang diajarkan oleh seorang guru laki-laki. Setidaknya yang bisa Zhizi lakukan untuk kesejahteraan hidup nya hanyalah membangunkan nilai sekolahnya.
Sesi pertanyaan pun tiba dan semua siswa tunjuk tangan dengan berbagai macam pertanyaan random. Inilah sekolah tingkat satu di kota ini yang siswanya selalu aktif bertanya bahkan sangking banyak nya pertanyaan, tak semua dijawab oleh sang guru karena waktu yang singkat.
Seketika terlintas pertanyaan diluar pelajaran yang ingin Zhizi tanyakan, apalagi guru fisika ini juga wakil kepsek 2. Refleks dan tanpa berfikir panjang Zhizi mengangkat tangannya.
Bapak Eri sadar kalau Zhizi belum pernah mengangkat tangan jadi ia langsung tertarik menunjuk perempuan itu untuk dipersilahkan bertanya
"Apa saya boleh bertanya hal diluar materi pak?"
"Hmm, selama itu berguna buat kita semua"
"Saya rasa ini berguna pak"
"Oke tanyakan saja"
"Kenapa kami dibeda bedakan pak? Kenapa siswa Altha High School di seleksi kemudian dibagi berdasarkan tingkat nilai mereka. Yang nilai rapor nya tinggi dikelas IPA 1 dan paling rendah di IPA 3, bukannya itu gak adil"
"Gak adil? Baiklah mungkin semua siswa sekolah kita banyak yang menanyakan hal ini tapi tidak pernah bertanya langsung pada guru atau pihak sekolah. Dan akhirnya salah satu siswa baru menyadari perbedaan dan keistimewaan sekolah kita ini" terang pak Eri
Semua siswa mendengarkan secara antusias karena didalam lubuk hati setiap siswa mereka menyimpan pertanyaan yang sama. Pak Eri pun melanjutkan kalimatnya
"Pembagian ini dibuat untuk membuat siswa semakin semangat belajar karena bersaing harus masuk ke tingkat kelas yang lebih tinggi. Kemudian para siswa yang memiliki potensi yang sama akan semakin bersaing lagi mendapatkan peringkat satu. Misalnya begini, jika salah satu siswa juara pertama dikelas IPA 3 sebelum adanya pembagian kelas berdasarkan tingkat nilai, saat para juara disatukan ia bisa menjadi juara 10. Otomatis mereka para juara akan semakin bersaing"
"Tapi pak, menurut saya itu justru membuat beberapa siswa down dan berkecil hati karena berada dikelas yang lebih bawah"
"Itulah yang pada akhirnya membuat mereka termotivasi menjadi lebih baik dalam belajar"
Semua siswa menunggu respon Zhizi lagi, padahal mulut mereka sendiri juga gatal dengan jawaban Masing-masing.
"Itu ekspetasi dari sekolah kan pak? Pasti beberapa ataupun semua siswa tidak setuju dan malah merasa down dengan sistem ini. Lagi pula saya rasa ini justru tidak adil jika kelas dibagi berdasarkan nilai rapor ataupun ujian yang sebentar lagi kita adakan, kecerdasan tidak selamanya diukur dengan nilai eksak atau nilai rapor aja kan pak? Buktinya Seniman Indonesia yang sukses tidak pintar matematika, matematika dasar sudah cukup untuk hidupnya. Yang pintar matatika tidak tahu sastra. Oh iya kenapa kita tidak punya jurusan IPS pak. Bukannya itu lebih tidak adil? "
Semua siswa cengo melihat Zhizi yang seolah mendebat seorang pak Eri yang terkenal sangat kritis dan tegas pada siswanya.
"Maaf Pak saya lancang banyak bertanya" cicit Zhizi yang sadar akan kelancangannya
"Tidak apa-apa, bapak akan menjelaskan lagi. sekolah ini dibuat untuk para calon pemimpin bangsa, para politikus, pengusaha dan orang besar lainnya. Bukan seorang sastrawan, atau pekerjaan yang tak membutuhkan kempuan kecerdasan intelektual itu. Itu sebabnya tidak ada jurusan IPS. Dan mengenai pembagian kelas itu justru untuk membagi keadilan pada murid pintar, lagipula kelas yang lebih rendah akan mendapat lawan lebih mudah juga kan?"
Para murid hanya saling tatap menatap, beberapa hanya menunggu respon Zhizi yang memulai debat ini.
"Baiklah kita lanjutkan saja pelajarna hari ini"
Pak Eri melanjutkan pelajaran mereka seperti biasa seolah tidak ada percakapan dan perdebatan yang menyinggung sekolah tadi. Zhizi juga sudah kembali mendengarkan sembari mencatat hal penting sebagai catatannya. Meski kepalanya masih bergejolak ingin berdebat habis-habisan dengan guru fisikanya itu.
"Zhi, ayo ikut kumpul dibelakang kelas kosong" ucap Aina saat membereskan mejanya, jam istirahat sudah berbunyi jadi mereka akan keluar seperti biasanya
"Ngapain?"
"Gue ada urusan, tepatnya urusan kita. Dah lah yuk"
Aina menarik zhizi dan segera menuju belakang kelas kosong yang berada disampingnya gudang sekolah. Tempat tersudut sekolah dan tersepi. Favorit para siswa brandal.
Sesampainya di sana sudah ada Roy dan Ayi yang duduk berhadapan di kursi dengan meja beton beratap dan bertiang pohon jati.
"Lama banget sih Lo pada" Omel Ayi
Mereka semua sudah duduk bersama dengan Zhizi yang tidak tahu menahu dengan apa yang hendak mereka lakukan.
"Oke siapa sekarang?" Tanya Aina
"Ivan, dia mau satu KTP" ucap Ayi
"Eh kalo Lucas tahu gimana?"
"Itu yang gue takutin. Sehancur apapun Lucas dia gak mau temannya masuk ke dunianya" sambung Roy
"Eh lagi bahas apa sih sebenarnya?" Protes Zhizi
"Si Ivan minta KTP dari kita. You know lah untuk apa kalo seumuran kita" jelas Ayi
"Maksud Lo dia mau masuk club?"
"No, club ada kemungkinan jumpa sama Lucas jadi dia gak bakalan lakuin itu, dia butuh untuk beli Wiski, kalo beli Wiski ditempat resmi atau mall harus pake KTP. Dia gak tahu jual gelapnya dimana" sambung Roy
"Kenapa dia takut kalo ada Lucas? Mereka temanan kan? Lagian Lucas juga main disana"
"Lo kan kenal sama semua anak Volli kemaren. Asal Lo tahu aja mereka semua anak baik, Lucas doang yang masuk dunia gelap kayak kita. Dan dia gak mau temannya ngikutin dia. Lucas juga gak minum alkohol, balapan doang" terang Aina yang memang duduk disampingnya.
Mereka kembali membahas hal-hal berbau bisnis mereka itu. Zhizi hanya mendengarkan seolah menjadi pengamat yang setia. Dari yang Zhizi dengar ia menyimpulkan Ivan si laki-laki periang itu ternyata suka minum alkohol.
"Wah, apa ini namanya pergaulan bebas? Salah pergaulan?" Batin Zhizi
"Tidak buruk. Lagian aku sudah terlanjur basah, kenapa tidak mandi sekalian" lanjutnya.
.
.
.
.
.
.
.
-Jangan lupa mengundi dan beri komentar yah-