Aku mulai termenung atas sebuah kisahku yang masih belum usai. Ku rasa begitu, tapi aku nggak bisa diam dalam sebuah perasaan yang nggak seharusnya. Astaga, aku memang masih belum bisa move on dari dia.
Menatap langit yang di hiasi senja. Perlahan-lahan aku menghembuskan napasku dengan memejamkan kedua mataku. Ya, aku harap bisa melupakan dia.
Aku merasa seseorang menepuk bahu kananku, lalu aku menoleh.
"Udahlah, lupain cowok modelan dia, Ra. Percuma kamu bertahan. Lagi dia terlihat bahagia dengan keluarga barunya," suara itu keluar dari mulut Mita sahabatku. "Ingat, kamu udah janji buat lupain cowok itu, mana sudi aku melihat sahabat terbaikku harus bersama cowok sebrengsek dia! Aku nggak rela, Ra. Kalau kamu balikan sama dia. Untuk apa?! Dia aja pernah selingkuhin kamu berulang kali!"
Aku hanya terdiam dalam sunyi, lalu aku mengingat Haslan bercumbu mesra dengan wanita lain. Hancur seketika hatiku kala itu.
"Kamu tega!" ucapku penuh tekan di malam yang suram itu.
"Aku ngelakuin semua itu, karena kamu nggak bisa di ajak seneng-seneng kayak dia!"
Kedua tanganku mengepal. Ingin rasanya aku menonjok dia dengan kepalan tanganku. Sungguh, dia benar-benar pria brengsek. Kenapa aku harus jatuh cinta terhadap dia. Nggak seharusnya aku percaya dengan semua mulut manisnya.
Tiap kalimat dalam katanya menyakitkan, bahkan aku berlari pun dia tidak mengejarku sama sekali. Dia benar-benar membuat kecewa dalam level tinggi. Air mataku terjatuh begitu saja, lalu hujan pun datang membuatku air mataku tersembunyikan.
Aku berlari sekuat tenaga, ketika aku sampai rumah seluruh barang-barangku di buang oleh om dan tanteku. Lengkap sudah penderitaanku dalam level tinggi. Napas terengah-engah.
Tangisku banjir seketika, sungguh malam itu penuh kepiluan dalam hatiku. Nggak seharusnya aku percaya. Namun, sayangnya aku masih mencintai dia.
"Hei!"
Aku pun tersentak seketika, karena aku hanyut dalam sebuah lamunan tentang dia. Sungguh, cintanya bagaikan bisa ular yang mematikanku perlahan-lahan.
Ku tarik napasku perlahan-lahan, ku pejamkan kedua mataku hingga ku berharap bisa amnesia melupakan semua tentang dia.
"Satu cup hot cappucino latte," pinta seorang pelanggan kedai kopi. Aku pun duduk terdiam menatap pria yang tak asing di hadapanku. Dia adalah Syahid pria yang sudah menjadi pelanggan kedai kopi selama dua bulan ini.
"Astaga, kamu melamun?"
Aku pun hanya nyengir saja sambil mengambil biji kopi untuk aku masukan ke dalam alat pengilingan.
"Muka kamu kok kelihatannya muram gitu?" tanya dia sekali lagi menatapku begitu tegas dengan kedua matanya seperti elang. "Apa kamu ada masalah?"
Aku pun hanya mengelengkan kepalaku sejenak.
"Yakin?"
Satu cup cappucino latte sudah siap, lalu aku sodorkan ke Syahid. Pria tampan dengan gaya rambut sedikit gondrong dan memakai kaca mata berlensa bening.
"Iya, aku baik-baik saja," ucapku dengan nada muram, karena sebenarnya aku tidak baik-baik saja. Semua ini, karna kisahku dengan dia belum sepenuhnya punah.
Kala itu dia hadir membawakan sejuta cinta yang mampu membangkitkan duniaku. Lalu, aku percayakan hatiku untuk dia, meskipun aku harus terluka bersamanya.
Setelah, aku putus dengan dia. Sebuah kabar pernikahannya menyebar hingga ke penjuru kota. Sebuah janji berujung kepiluan dalam hati. Sungguh, semua itu membuat hatiku sebagian remuk.
Melupakannya hingga aku memutuskan pergi meninggalkan semuanya. Tapi, percuma aku berlari. Dia pun datang kembali tanpa permisi. Kadang aku bertanya, kenapa harus ada pertemuan antara aku dengan dia, bila sebagian besar yang ku dapatkan goresan luka?
Ku menghela napas perlahan-lahan. Tanpa ku sadari seseorang berdiri di hadapanku.
"Mau apa lagi kamu ke sini? Apa kamu belum puas merusak sebagian hidupku?"
"Ra, dengerin aku..."
"Untuk apa aku dengerin kamu?! Apa kamu mau bikin remuk kembali sebagian hatiku yang utuh?!"
Dia menarik lenganku, lalu kami saling menatap. Tanganku mulai mendorongnya menjauh dariku.
"Lepaskan dia!" suara berat yang tidak asing bagiku. Siapa lagi kalau bukan mas Syahid. Dia kebetulan sedang ada di sini.
"Kamu siapa? Kamu nggak punya urusan," Haslan pun menatap sengit Syahid.
"Urusan? Aku berhak ikut campur, karena kau menyakiti dia! Apa kamu nggak berpikir, kalau tindakanmu malah buat dia kesakitan?!"
"Bukan urusan kamu," Haslan pun menarik paksa aku, namun Syahid berusaha menolongku hingga terjadi aksi baku hantam.
"STOP!" teriakku berulang kali, tapi tidak didengar sama sekali hingga Haslan tersungkur di lantai.
"TOLONG!"
"TOLONG!"
"TOLONG!"
Seorang pemuda datang, ia pun melerai pertikaian di antara mereka. Sedangkan, aku pun hanya bisa menatap Haslan dengan amarah.
"NGGAK SEHARUSNYA KAMU BUAT KERUSUHAN HASLAN! MULAI DETIK INI KAMU JANGAN PERNAH DATANG KEMBALI DALAM HIDUPKU!"
"Ra, tapi aku cinta sama kamu!"
"Cinta? Kamu bilang cinta? Tapi, cintamu itu palsu!" balasku.
Aku pun berusaha menolong Syahid, sungguh aku merasa tidak enak dengannya. Lagi-lagi dia menjadi sayang pelindungku.
"Ra, aku cinta kamu!"
Aku pun tidak peduli dengan ucapan Haslan. Pria yang mampu mematikan duniaku. Sungguh, aku membenci dia.
Syahid pun aku bopong, lalu aku pun membawanya ke mejanya.
Tanpa babibu, lalu aku pun berjalan membawakan kotak P3K di loker. Lalu, aku mengobati Syahid. Sedangkan, Haslan pun menatap penuh amarah yang membara.
Ku tarik napasku.
"Pergi kamu, Haslan! Aku nggak sudi melihatmu!" usirku dengan nada tinggi.
---
"Sialan! Kenapa aku sampai terpancing emosi?!" geram Haslan sambil berdecak kesal.
Haslan pun berjalan menuju mobil sedannya, ia pun berjanji akan membuat Lara kembali bersamanya, setelah sidang perceraiannya dengan Kara.
"Dia hanya milikku!" Haslan menandai, kalau Lara hanyalah wanitanya. Ia pun bersumpah serapah akan menikahi perempuan itu.
Haslan pun masuk ke dalam mobil sedan hitamnya, lalu ia pun duduk di depan kursi kemudi. Ia pun memukul setir mobilnya sambil meneriaki bahwa dirinya sangat bodoh.
Mesin mobil mulai Haslan nyalakan. Lalu, dia menyetir dengan ugal-ugalan. Ia tidak peduli dengan apapun, karena isi otaknya hanyalah Lara dan Lara.
"Lara, kamu hanya milikku! Siapapun yang mendekatimu, maka akan ku hancurkan hidupnya," ucap Haslan sedikit mendesis.
Mobil melaju semakin kencang hingga menghantam pembatas jalan. Hampir saja mobil terjun bebas ke jurang. Haslan merasakan hatinya sangat kacau balau.
Haslan pun menarik napas, ia pun selamat dari maut. Ia pun sudah keluar dari mobil. Hingga mobil terjun bebas di bawah jalan tol.
Kedua kaki Haslan terasa sangat lemas, ia merasa hampir saja mati. Ia pun mulai berpikir akan membuat rencana yang bisa membuat Lara jatuh kembali kepelukannya. Ia pun tersenyum licik.
"Sampai kapanpun hanya akulah pemilik kunci hatimu, Ra! Hanya aku yang pantas menjadi suamimu!" seru Haslan dalam batinnya.