Alex dan Fiona masih mengawasi Lara. Mereka berdua berencana untuk membunuh Lara dalam waktu dekat ini.
"Kalian harus awasi perempuan itu karena jangan sampai perempuan itu lolos dari jangkauan kali ya!" Alex menginginkan seluruh harta warisan keluarga dari Lara jatuh ke tangan dia dan istrinya. Dia tidak akan pernah menyerah untuk sebuah kejahatan yang telah dia lakukan selama ini.
"Kita harus segera menyiapkan Lara karena jika tidak maka seluruh harta dari keluarganya akan jatuh ke tangannya. Aku tidak menginginkan semua itu terjadi karena akan membuat usaha kita yang bertahun-tahun ini akan menjadi gagal," kata Fiona menatap wajah suaminya.
"Kita harus segera menyingkirkan perempuan itu karena jika tidak maka Hilton group akan mendapatkan posisi yang cukup berbahaya. Aku tidak ingin juga usaha kita sia-sia," kata Alex yang penuh Ambisi untuk mendapatkan seluruh harta milik keluarga Lara. Dia tahu nilai saham dari Hilton group cukup terbilang tinggi sehingga dia menginginkan seluruh aset dari Hilton group akan menjadi miliknya. "Itu hanyalah milik kita berdua karena Lara tidak berhak untuk mendapatkan itu."
Alex dan Fiona mendapatkan kabar jika Lara bekerja di sebuah kedai kopi daerah Semarang. Mereka akan melakukan segala cara untuk bisa melenyapkan Lara.
Alex dan Lara kembali untuk meminta sopir menjalankan mobilnya. Mereka juga sudah mengirimkan seseorang untuk mengawasi gerak-gerik dari Lara.
"Jalan, Pak!" perintah Alex kepada sopirnya.
Mobil sedan berwarna hitam itu terus melaju menyapu jalanan kota Semarang. Di dalamnya ada Alex dan Fiona yang sedang berbincang untuk merencanakan sesuatu yang jahat.
" Kita harus melakukan rencana itu dengan cara yang rapi, karena aku tidak ingin jika ada sebuah jejak didalamnya," kata Fiona menatap wajah suaminya. "Kita tidak boleh sampai ketahuan siapapun kalau kitalah pelakunya." Imbuhnya
*
Lara merasa cukup lelah sekali dengan apa yang terjadi dalam kehidupannya selama ini. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi karena dia tidak bisa berbuat apa-apa tentang perasaannya. "Apakah mungkin aku tidak bisa melupakan dia yang selama ini selalu mengendap dalam isi hatiku?" Dia mulai menggumam dalam hati kecilnya seakan dia masih mencintai Haslan yang pernah mencampakannya.
Lara berusaha untuk mengontrol perasaannya karena dia tidak ingin terjatuh kembali kedalam lubang yang sama. Dia memilih untuk berdiam dalam disuruhnya suasana karena dia tidak ingin kembali ke dalam masa lalu yang begitu menyakitkan.
"Bagiku cinta memang merupakan bagian dari sebuah luka yang tertunda namun aku tidak ingin luka itu menjadi menganga begitu parah. " Lara mulai menggumam dalam hati kecilnya. Dia tidak ingin luka itu terlalu dalam. "Bagaimanapun juga, Aku harus bisa melupakan luka itu karena aku tidak ingin terjerumus begitu dalam tentang perasaan yang tidak seharusnya aku pertahankan dalam hati ini. Semua terlalu menyakitkan untukku," dia berusaha untuk menahan tetesan air matanya agar tidak jatuh dengan cara mendoakan sedikit kepalanya ke atas. Dia tidak ingin terjebak dalam sebuah jurang nostalgia tentang perasaan cinta yang berujung dalam sebuah luka yang membara.
Minggu ini Lara akan mengambil cuti liburannya. Dia akan pergi bersama kedua temannya untuk menghilangkan penat di kepalanya. Dia sudah merasa lelah dengan beberapa kehidupan yang telah dialami selama ini. Kesempatan untuk liburan adalah hal yang paling menyenangkan dalam kehidupannya.
"Bagaimana, Apakah kamu sudah memikirkan untuk mengambil cuti minggu ini agar bisa berlibur bersama dengan kita berdua? " Mita menatap wajah Lara yang seakan berharap agar perempuan itu ikut bersamanya." Kalau kamu sudah mengambil cuti mu maka baru bisa aku mau mesan kan dirimu tiket untuk pergi berlibur ke Bali. "
"Udahlah! Sebaiknya kamu segera untuk meminta cuti kepada bosmu karena mumpung kita berdua ada di sini. " Erlan terlihat sangat antusias sekali untuk berlibur ke Bali karena dia sendiri merasa lelah dalam kehidupannya. Dia tidak ingin kehidupannya terbakar dengan sebuah rasa sakit dalam kisah cintanya yang selalu berakhir dalam sebuah luka yang menganga.
Lara hanya mampu tersenyum menatap tingkah laku dari Erlan. Dia tahu sebenarnya Erlan juga membutuhkan liburan. Ia pernah cerita kalau kisah cintanya bersama dengan kekasihnya sudah kandas sejak beberapa hari yang lalu.
"Aku sudah mengajukan cuti minggu depan. Kalau cuti ku sudah disetujui maka aku akan kabari kalian berdua segera. "Kata Lara menatap wajah dari kedua sahabatnya itu. " Tenang saja pasti kita akan berangkat ke Bali bersama-sama. Kita akan menghabiskan banyak waktu untuk sekedar menghilangkan penat di kepala maupun batin yang mulai tersiksa. "
"Ini semua pasti ada hubungannya dengan Haslan?" selidik Mita dengan memincingkan kedua matanya. Sedangkan Lara hanya diam tak bersuara. "Bener-bener tuh cowok! Udah nikah masih saja kegatelan! Emang dia itu biang pekara!" imbuhnya dengan hati dongkol sekali. Ia merasa ingin tendang bebas cowok yang sudah nyakitin sahabatnya bertahun-tahun.
"Mit, sabar napa! Kalau kamu lagi marah-marah, muka kamu kelihatan ada kerutan!" kekeh Erlan.
"Erlan, nggak usah mulai! Pengen aku tabok?!" Mita mengangkat tangan kanannya ke Erlan dengan emosi memuncak.
"Biasa aja, Mit. Nggak usah sewot!" balas Erlan.
"Ya abis kamu nyebelin amat jadi cowok!" cicit Mita.
"Udah kalian jangan ributlah, lihat banyak orang lihat kita," bisik Lara.
Mereka bertiga sedang ada di sebuah foodcourt mall. Terlihat banyak sepasang mata yang melihat mereka. Apalagi ke Mita.
"Mita, kamu itu seorang model, tapi sikap preman kamu masih saja ada," desis Erlan.
"Bodoh amat!" Balas Mita dengan tersungutkan.
"Minum dulu, Mit. Biar dingin," Lara mengulurkan segelas cincau dengan santan dan gula merah. Lalu, Mita meminumnya dengan satu napas hingga habis tak tersisa.
"Haus?" tanya Erlan.
"Ya," balas Mita dengan nada begitu ketuk sekali. Ia merasa kesal dengan Erlan yang begitu menyebalkan menurutnya.
"Emang kamu abis ketemu sama Haslan?" Erlan mulai memicingkan kedua matanya ke arah Lara.
"Iya, aku habis ketemu cowok brengsek itu!" geram Mita. "Masa dia minta aku bantuin dia buat balikan sama Lara, sumpah bener-bener ini cowok nggak ada otaknya!" dengus kesal Mita dengan amarah meledak-ledak. Hingga ia mengambil jatah minum Erlan yang masih tinggal setengah.
"Mit, jatah minumku kok kamu sikat juga?!" Protes Erlan yang menatap Mita sedang mengambil minuman miliknya yang ada di meja. Ia merasa jika Mita yang mulai kesetanan mendengar sosok Haslan yang kembali datang dalam kehidupan Lara.
"Halah nggak usah pelit napa? Kamu bisa beli lagi!" Mita mulai memutar bola matanya menatap wajah Erlan. "Udahlah kamu beli lagi aja kenapa kok repot sekali?!"
"Iya, baiklah. Apa sih yang enggak buat kamu, Mit?" canda Erlan.
"Nggak usah mulai Erlan! Apa kamu mau aku tabok?!" ujar Mita.
"Astaga! Jangan galak gitu, Mit. Aku kan cuman bercanda dan nggak ada maksud apapun," Erlan hanya mampu mengelus dadanya.
"Udalah ributnya, emang kamu nggak malu dilihatin banyak orang? Lagian kamu itu model papan atas, Mit," kata Lara.
"Abis dia yang mulai, Lara. Tahu gitu aku nggak bakalan datang ke Semarang."
"Jangan gitu, Mita. Kalau nggak ada kamu pasti sepi," ujarku.
"Ra, kamu kenapa?" tanya Mita.
"Aku?" Lara menunjukkan dirinya sendiri.
Mita mengangguk jelas," Iya, Ra. Kamu mimisan?"
"Hah?" Lara pun bengong. Lalu, Erlan segera memberikan tissue.
"Ra, buruan hapus tuh," ujar Erlan dan Mita dengan panik.
"Astaga, ini cuman mimisan aja. Tenang aja aku baik-baik saja."
"Kamu yakin?" Mita mulai bertanya kembali, ia takut kalau sahabatnya kenapa-napa.
"Iya, aku yakin. Ini efek kecapean aja, Mit."
"Apa kamu nggak mau periksa ke dokter?" tanya Mita menatap cemas ke Lara.
"Nggak usah, Mit," kilah Lara. "Lagian cuman mimisan aja."
Mita masih saja cemas melihat Lara yang mimisan," Ra, Yakin?"
"Iya, yakin aku. Udah aku gak apa-apa. Tenang aja. Woles," ujar Lara.
Kedua mata Mita celingukan.
"Kamu kenapa, Mit?"
"Mana si Erlan? Kok ngilang nggak jelas?" tanya Mita.
Lara menaikan bahunya sekali. "Aku nggak tahu, Mit."
"Ra, itu apaan? Kok rame banget?" cetus Mita melihat beberapa orang berkerumun di sana.
"Mana aku tahu, Mita."
"Kok aku penasaran ya?" Mita pun terlihat ingin melihat dibalik kerumunan itu.
"Paling nggak penting, Mita. Udah di sini aja, Mita.
"Enggak, Lara. Firasatku nggak enak."
"Mita?"
Mita mulai menarik Lara untuk ikut melihat, meskipun Lara terlalu malas untuk menyaksikannya. Ia hanya ingin menikmati hari liburnya yang setelah sekian lama melelahkan.
Kedua mata mereka terbelalak melihat dua cowok saling beradu otot.
"ERLAN!"
Erlan sedang berantem dengan seorang cowok hingga babak belur. Lebam-lebam terlihat jelas di wajahnya.
"Cukup Erlan!" teriak Mita.
Erlan masih saja menghajar cowok itu. Ia seperti memiliki dendam kesumat. Satpam mall akhirnya datang, lalu memisahkan mereka dan segera membawa ke pos keamanan.
"Lan, kamu kenapa sampai nonjokin dia?" tanya Mita.
"Dia pantas buat dapatkan semua itu! Dia itu bajingan selamanya yang ngerusak hubunganku dengan kekasihku! Gara-gara dia aku gagal melamarnya!" jawab Erlan dengan tersungut emosi.
"Sabar, Lan."
"Mana bisa aku sabar."
"Tapi, ini adalah..." mendadak kepala Lara sangat pusing hingga ia jatuh pingsan. Ia pun segera digendong oleh Erlan. Ia meminta satpam segera menghubungi ambulan.
"Maaf, Pak. Tapi, saya harus bawa teman saya segera ke rumah sakit."
"Kamu jangan alasan anak muda! Apa ini akting?"
"Bapak jangan sembarangan! Teman saya ini memang pingsan!" bentak Mita. "Bapak mau tanggung jawab kalau teman saya kenapa-kenapa?"
Satpam itu hanya diam saja. Apalagi kedua mata Mita melotot.
"Baik, maafkan saya, nona," satpam itu pun membiarkan mereka pergi, kecuali cowok yang dihajar habis-habisan oleh Erlan. Ia tetap ditahan dan dimintai keterangan.
*
Lara segera dibawa ke rumah sakit dengan mobil Mita. Kondisi Lara masih pingsan.
"Mit, bangun!"
Erlan masih sibuk untuk mengemudi.
"Lan, buruan kalau nyetir!"
"Sabar, Mit."
Sepuluh menit kemudian, mereka sampai di ruang UGD rumah sakit. Segera dokter mengambil tindakan.
Keduanya sedang menunggu di ruang tunggu UGD. Lalu, dokter pun keluar.
"Keluarga nona Lara Sarasvati!"
"Sa-ya."
"Kamu bukannya Mita?"
"Kamu Anya?"
"Astaga," Anya tidak menyangka bisa bertemu sahabatnya.
"Gila, kamu jadi dokter sekarang. Padahal dulu..."
"Oh, iya. Apa dia sahabat kamu?"
"Iya."
"Dia hanya kelelahan saja. Kamu nggak usah khawatir, Mit. Oh, iya aku harus balik dulu nangani pasien," ujar Anya.
"Iya," balas Mita.
"Temen kamu?" tanya Erlan.
"Iya. Kenapa?" tanya balik Mita.
"Nggak apa-apa."
*
Suara kumandang ayat-ayat suci yang dibacakan Syahid begitu merdu dan sejuk sekali. Ia merasakan kegalauan tingkat tinggi. Ia hanya melampiaskan semuanya dalam surah Ar-Rahman.
"Astaga, suara mas Syahid sangat merdu sekali," ujar Anya mendengarkan di balik kamarnya. Suara Syahid mengema hingga ke hatinya. "Aku merasa tenang bila mendengar suara mas Syahid seperti ini. Aku jadi rindu dengan papa, mama dan adik yang ada di Jogja. Bagaimana kabar mereka ya?" lirih Anya.
Suara ketukan pintu membuat Anya tersentak dalam menikmati tiap ayat-ayat yang terbaca dari mulut Syahid. "Astaga, siapa sih kok ngeganggu amat!"
Anya mulai turun dari ranjang kamarnya, lalu ia melangkahkan kedua kakinya ke depan pintu kamarnya. Masih subuh.
CKLEK.
"Dimas?"
Dimas terlihat tertawa meringis.
"Kamu kesambet?" tanya Anya.
"Enggak, Anya. Iseng aja!"
"Sialan kamu! Bikin kaget aja. Masih subuh udah ketuk-ketuk pintu orang."
Dimas hanya nyengir saja.
"Cepetan, kamu sebenarnya mau apa?!" sentak Anya.
"Aku mau pinjem mobil kamu, Anya."
"Emang mau dibuat ke mana?"
"Buat ke kolam pemancingan sama Syahid."
"Aku ikut! Kalau aku nggak boleh ikut. Aku nggak bakalan minjemin mobil," ancam Anya.
"Iya, kamu boleh ikut. Asal kamu duduk di sampingku."
"Ngarep banget kamu!"
Dimas hanya tertawa meledek.
BRAK!
Anya kesal menutup pintu kamar dengan keras. "Sialan, masa aku harus duduk di samping Dimas yang nggak banget!"
"Anya! Gimana?"
"Cari mobil lain aja kamu! Mobilnya mau ku pakai ke rumah teman!"
"Dasar pelit!" umpat Dimas, lalu pergi.
*