Air mataku pun jatuh, tubuhku lemas seketika. Puncak sakit hatiku mulai merajalela. Rasanya aku tak sanggup untuk berkata apa-apa saat itu juga.
"Kamu baik-baik saja?" tanya dia yang melihatku dalam linangan air mata.
Aku pun terdiam sejenak. Bibirku tidak dapat terbuka sekalipun sedikit. Rasanya semua begitu berat sekali untuk terucapkan.
"Siapa dia? Kenapa dia sangat kasar kepadamu?" Sebuah pertanyaan itu keluar dari bibir pria di hadapanku. Kedua mataku hanya mampu menatapnya.
Aku hanya diam, bibirku terasa sangat kaku tuk menjawab sebuah kata tanya dari dia. Kini hanya rasa nyeri dan sesak hingga ke uluh hatiku. Semuanya terasa begitu menyakitkan.
"Ra?" Dia mendesakku sekali lagi. Namun aku hanyalah diam saat itu. Sepatah kata pun tak akan pernah bisa aku ucapkan karena hatiku masih terasa begitu perih sekali.
"Dia hanya orang yang nggak penting," jawabku dengan nada muram, sungguh aku enggan membahas tentang dia yang telah membuatku sulit tuk bernapas. Rasanya dadaku sangat sesak sekali. "Bagaimana bisa aku masih terjebak dalam suasana yang begitu menyakitkan untuk kehidupanku saat ini? " Aku menggumam dalam hati kecilku saat itu. Bahkan aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
"Beneran dia nggak penting buat kamu." Dia mengulang pertanyaan yang sama saat itu. Dia berusaha untuk mendesakku.
Aku hanya mengangguk sejenak," Sebenarnya dia itu penyebab luka yang tak pernah bisa sembuh dan terobati," aku pun mengumam dalam hatiku. Tak mungkin aku menceritakan kisah-kisah penuh luka terhadap dia yang masih asing.
"Cerita aja," Dia mulai mendesak mau kembali tapi aku memilih untuk tidak pernah menceritakan kisah aku kepada siapapun itu. Semuanya terlalu rumit bagiku, takkan pernah ada sebuah kisah untuk kembali diceritakan apabila kisah itu penuh dengan ribuan sayatan luka yang begitu sangat perih sekali.
"Kopi!"
"Sorry, Syahid aku ada pelanggan."
"Okay."
Aku hanya mampu terdiam dalam bisulnya suasana. Aku enggan menceritakan semua tentang dia yang terlalu menyakitkan saat itu. Aku mulai menutup beberapa kisah kehidupanku dalam sebuah lembaran buku lama ku.
Karena semuanya terlalu pekat untukku bahkan tidak mampu untuk dikenang begitu saja karena kita itu sudah terlanjur menjadi awan hitam dalam kehidupanku.
Syahid masih menatapku, sedangkan aku hanya mampu berdiri di meja barista sambil membuatkan secangkir kopi americano yang telah pria bertubuh besar dengan memakai setelan jas dan celana kain.
-
Haslan membanting seluruh perabotan apartemennya. Ia tidak terima bila Lara mengabaikannya berulang kali. Ia pun mencengkeram sebotol red wine. Lalu, ia pun meneguknya hingga abis. Setelah itu ia melemparkan ke segala arah dengan frustasi.
"Semua ini karena pernikahan sialan itu!" umpat Haslan dengan nada penuh amarah berapi-api.
Haslan mulai memijat keningnya dengan berdecak frustasi.
"Nggak akan pernah ada yang memiliki kamu, Ra. Selain aku," desah Haslan dengan amarah yang masih dalam titik puncak. Seluruh ruangan bagaikan kapal pecah.
Haslan menyesal telah bertindak bodoh, bahkan masa lalu membuat ia harus kehilangan wanita yang sangat dia cintai. Ia pun meruntuki kebodohan atas dirinya.
"Percuma aku punya segalanya, tapi aku tak memiliki cintamu," hidung Haslan kembang kempis. Matanya menyala-nyala. Hingga ia pun menghantamkan tangannya ke tembok. Ia pun hanya merasakan bodohnya dirinya telah menyia-nyiakan Lara.
-
Di rumah kediaman keluarga Haslan terlihat suram. Bahkan, kedua orang tuanya saling cek-cok. Apalagi adanya skandal ibunya dengan seorang pilot.
"Dasar wanita biadab! Udah dikasih hidup enak malah tidak tahu diri! "
Wijaya mengetahui bahwa istrinya sedang berselingkuh dengan lelaki lain yang merupakan seorang pilot dari maskapai internasional. Dia merasakan sebuah api penghianatan yang dilakukan oleh istrinya sekarang ini.
Lyra hanya mampu diam saja mendengarkan ucapan dari Wijaya. Kasus skandalnya dengan seorang pilot itu mulai terbuka hingga ke masyarakat. Nama dari Wijaya pun mulai tercoreng karena ulah darinya.
"Ingat, kamu itu udah mau punya cucu, tapi kelakuanmu seperti jalang!" Wijaya mulai menegaskan setiap ucapannya. Bahkan dia tidak ingin sama sekali Kalau namanya kotor karena masalah sepele.
"Apa? Kamu bilang aku jalang?" ulang Lira dengan menunjukkan jari ke Wijaya yang sudah memiliki uban di kepalanya.
Wijaya mulai mengangkat tangannya lalu menampakkan wajah Lyra hingga tersungkur di sebuah lantai ruang tamu."Aku tidak sudi untuk menjalani pernikahan bersama dengan kamu lagi! Sebaiknya kita tunggu di pengadilan saja!"
"Kamu itu memang kucing jalanan, aku menyesal telah menikahimu!" teriak Wijaya dengan lantang. Ia merasakan kalau wanita yang menjadi ibu untuk anak-anaknya tidak lebih dari seorang jalang yang rela menjajahkan tubuhnya untuk pria lain.
Ujung bibir Lira mulai berdarah. Ia berusaha bangkit, lalu ia meludahi Wijaya.
"Apa bedanya aku dengan kamu, Mas? Kamu pun juga meniduri banyak wanita! Berapa wanita yang telah kau sebar benihmu? Kau juga menjijikan! Sudah tua tidak tahu diri!" Balas Lira dengan meninggikan nada suaranya. "Jijik aku!" Bentaknya.
"Broto seret wanita ini ke dalam gudang, kalau perlu dia buang ke jalanan!" Wijaya memerintahkan ke pengawalnya untuk membawa pergi wanita itu dari hadapannya tanpa sepeser uang pun.
"Lihat saja kamu tua bangkah, kau akan membayar semua perilakumu ini!" teriak Lira dengan nada lantang. Ia mulai merasa murka melihat suaminya yang bersikap sok berkuasa.
Wijaya melempar Lira ke jalanan, namun dia sepertinya sudah kebal dengan perilaku kasar. Dia mulai tertawa, meskipun ia harus mendapatkan perilaku keji.
"Lihat aja, aku bisa tanpamu bandot tua! Kau akan menyesal bila melawanku!" geramnya sambil berjalan.
-
Kara sedang duduk menatap ranjang kosongnya, ia merasakan cinta takkan pernah ada dalam hubungannya. Ia merasa kalau harta dan kekuasaannya tak mampu meluluhkan hati suaminya.
Sudah hampir seminggu. Haslan belum juga datang. Ia masih setia menunggu, bahkan ia sudah mencoba menelpon ponsel suaminya.
"Kau di mana? Apa kamu setega itu?" batin Kara menatap bingkai foto pernikahannya. Bahkan, tidak ada senyuman di wajah Haslan. Terlihat dalam ekspresi sangat datar.
"Apa lebihnya Lara dibanding aku? Kenapa kau lebih memilih wanita dari rakyat jelatah?" pikir Kara menatap kembali wajah suaminya dalam bingkai foto di atas meja.
Air mata Kara kali ini menetes, ia merasa hanya istri di atas kertas. Ia mulai mencengkeram dadanya yang sesak. Ia bahkan tidak mampu merasakan bagaimana indahnya dalam kehidupan rumah tangga. Semua hanya hambar tanpa ada gula dan garam.
"Apa aku harus membunuhnya, agar kau tidak pernah memikirkannya?"
Kara mulai merasakan frustasi. Ia bahkan berpikir tuk menghabisi Lara, agar perhatian suaminya tidak tertuju terhadap wanita itu.
-