Lira hanya bisa terbaring di atas ranjang Icu dengan kondisinya yang masih belum stabil bahkan dokter mengabarkan kalau dia mengalami koma. Ketika itu haslan merasa sangat bersalah sekali. Dia meruntuki kebodohannya pada dirinya sendiri saat itu. Dia tidak menyangka kalau ibunya mengalami kondisi yang semakin memburuk.
"Apa yang kau lakukan dengan ibumu?!" Sebuah hantaman melesat ke wajahnya tanpa perlawanan sama sekali. Ia tidak menyangka kalau semua ini terjadi.
"Kamu mau ibumu mati melihat dirimu!" Suara ayahnya begitu menggelegar hingga tubuh dari Haslan tersungkur ke lantai ruang tunggu ICU.
"Ayah, aku..."
"Halah! Demi wanita gembel itu, kamu membuat dua wanita dalam keluargamu terbaring di rumah sakit?!"
"Ayah, aku nggak..."
"Apa kamu juga ingin membuat ayahmu ini mati?!"
"Enggak ayah, aku memang putramu yang sangat bodoh sekali," ucapan penyesalan Haslan menghadapi kondisi saat ini.
"Kamu itu seharusnya merasa beruntung memiliki Kara, Nak."
"Tapi, aku nggak pernah cinta dengan Kara, Ayah. Aku hanya mencintai Lara."
"Bulshit! Ayah, nggak pernah dan nggak akan merestui kamu dengan wanita gembel itu! Apa kata korelasi ayah, jika kau melakukan skandal dengan wanita yang jelas-jelas gembel?!"
"Tapi, aku mencintainya."
"Cinta saja nggak akan pernah cukup. Keluarga Wijaya nggak akan sudi menerima calon menantu dari kalangan rendahan," kata pria itu dengan menatap tajam Haslan, putranya. "Apa kau ingin ayah melenyapkan wanita itu, jika kau tetap nekat bersamanya?"
"Jangan melakukan semua itu, Yah. Jika, ayah melakukan semua itu, maka ayah akan melihat jenazahku saat itu juga."
"Kamu benar-benar gila, Nak."
"Cinta memang akan membuatku gila ayah, karena hanya dia yang ku cintai, bukan wanita yang ku nikahi sekarang!"
"TUTUP MULUT KAMU ANAK BODOH! Kamu ingin membuat ayahmu mati? Hah?"
Haslan hanya mampu terdiam, karena keluarga Kara sangatlah memiliki kekuasaan di atas keluarganya. Ia menikahi Kara hanya, karena sebuah kekuasan. Hanya itu saja, jika tidak semuanya akan lenyap.
"Kamu itu adalah putra dari seorang keturunan Wijaya, bagaimana bisa kau jatuh cinta dengan wanita gembel itu?!"
Haslan terdiam, ia merasa seperti boneka dalam keluarganya.
"Tuan Haslan, nyonya Kara sudah sadar," ucap seorang perawat yang menghampiri mereka sedang berdebat.
"Baiklah, aku akan ke sana," balas Haslan.
Pria itu pun mencekal tangan Haslan, "Ingat, jangan pernah kau buat Kara kecewa."
Haslan pun hanya mengangguk, karena ia enggan untuk berdebat.
*
Kara terbangun, ia mengerjap-kerjapkan kedua matanya. Ia menatap seisi ruangan putih dengan aroma khas obat-obatan begitu menyengat sekali.
"Aku ada di mana? Apa aku masih hidup?" gumam Kara menatap seisi ruangan, ia merasakan tangan kanannya sangat kaku. Ia merasakan tenggorokkannya sangat kering sekali.
"Haslan," ucap Kara terbantah-bantah, ketika melihat Haslan yang berjalan masuk ke dalam pintu ruang rawatnya, meskipun pandangannya sedikit kabur.
Haslan pun berjalan menghampiri Kara yang sedang terbaring lemah, setelah aksinya percobaan untuk bunuh diri.
"Kenapa kamu masih peduli sama aku?" tanya Kara tertatih-tatih dalam setiap katanya.
"Karena kamu istriku, dan kamu masih tanggung jawabku."
"Istri?" ulang Kara. "Istri hanya di atas kertas, bukan istri dalam ranjang?"
"Kamu masih belum sembuh total, sebaiknya kamu isthirahat saja."
"Kenapa kamu nggak membiarkanku mati saja?!"
"Seharusnya aku melakukannya, karena aku melakukan atas dasar kemanusiaan saja," ujar Haslan dengan santai.
"Seharusnya kau biarkan aku mati saja, karena aku nggak pernah pantas ada di kehidupanmu. Bagimu, aku hanya kekasih bayangan."
"Sudahlah, aku tak ingin berdebat. Kamu masih belum sembuh total."
Kara mendadak mencopot semua alat bantu rumah sakit, ia merasa tidak ingin hidup bila harus berada dalam cinta yang tidak pernah terjadi.
"Kara, kamu itu jangan bertingkah bodoh!" bentak Haslan.
"Bodoh? Kamu bilang aku bodoh?"
"Iya, kamu bodoh sekali! Apa kamu nggak mikirin keluargamu?"
"Tidak ada gunanya aku hidup, karena kamu nggak pernah peduli denganku!"
"Kamu ngomong apa sich?!"
"Cepat atau lambat kau akan menceraikanku, Kan?!"
"Nggak ada yang akan bercerai di keluarga Wijaya!" seru seorang pria paruh baya, dia adalah ayahnya Haslan.
"Ayah?" ujar Kara.
"Iya, kamu akan tetap menjadi menantu di keluarga Wijaya. Dan, keluarga Wijaya hanya ingin cucu dari rahim seorang wanita terpandang, bukan wanita rendahan!"
Haslan hanya terdiam, ia tidak bisa membantah atau pun berkilah, karena ayahnya yang memegang ahli semuanya.
"Haslan, sekali kamu bikin air mata Kara menetes. Kamu akan ku hapus dari ahli waris Wijaya! Dan, ingat wanita yang kau cintai akan ku buat menderita."
"Ayah, jangan pernah menyentuh Lara. Aku berjanji nggak akan pernah menceraikan Kara," sumpah itu keluar dari mulut Haslan, meskipun dengan kondisi sebelah hati. Ia tidak ingin melihat Lara menderita, karena dia.
"Ingat putraku, kalau aku ayahmu tidak akan pernah bermain-main dengan ucapan."
"Akhirnya, aku mempunyai kartu as untuk membuat suamiku tetap dalam gengamanku," pikir Kara di atas ranjang, ia merasa kalau Haslan akan berada dalam kendalinya. Ia merasa tidak perlu cemas dengan perceraian. Ia akan melakukan segala cara untuk mempertahankan apa yang dia miliki. "Nggak ada hal yang nggak pernah bisa aku dapatkan, meskipun dengan cara kotor sekalipun."
"Ayah, akan memintamu segera memberikan keturunan untuk keluarga Wijaya. Jika, tidak maka seluruhnya akan jatuh ke yayasan."
Haslan sebenarnya tidak ingin memiliki anak-anak yang keluar dari rahim Kara, karena sedikit pun perasaan cinta itu tidak akan pernah ada, meskipun satu biji mentimun.
"Lihat saja, aku akan membuatmu melupakan wanita gembel itu!" sumpah serapah dalam hati Kara, ia merasa harus menyingkirkan Lara, agar tidak menjadi duri dalam daging rumah tangganya bersama dengan Haslan.
"Aku nggak akan membiarkan kalian menyakiti Lara, meskipun aku yang akan menderita," kata Haslan dalam hatinya sambil mengepalkan kedua tangannya.
"Ayah, pergi dulu. Karena, ayah harus mengurus perusahaan."
Haslan pun teringat akan meetingnya bersama seorang model papan atas, ia hampir saja melupakan untuk ambassador produknya.
"Astaga, aku melupakan semuanya, karena masalah ini," gumam Haslan, lalu memutar arah langkahnya untuk keluar dari ruang rawat inap Kara.
"Kau mau ke mana Haslan?" seringai Kara menghentikan langkah Haslan.
"Aku mau keluar menelpon Sinta sekertarisku."
"Jangan gila! Kau pasti bohong! Kau menelpon wanita simpananmu!"
Kedua tangan Haslan mengepal, ia merasa kalau kecurigaan Kara berlebihan. Padahal ia sama sekali tidak memiliki nomer ponsel Lara. Ia hanya tahu alamat kontrakan Lara.
"Jika, kamu nekat aku akan..."
"Kamu akan melaporkan ke ayahku?" potong Haslan. "Kamu itu wanita tukang ngadu! Dan, sikapmu terlalu kekanak-kanakan."
"Karena, kau tidak pernah mendengarku, kecuali apa kata ayahmu!" sungut Kara dengan nada meninggi.
"Kau bisa cek semua panggilan dan pesanku, bahkan kau bisa melakukan pelacakan semuanya! Percuma saja kita bertahan tanpa rasa percaya, dan aku muak dengan semua caramu!"
"Berhenti!"
Haslan pun keluar, ia tidak peduli dengan ocehan Kara. Ia merasa kedua telinganya panas atas tuduhan-tuduhan tanpa bukti.
*