Chereads / CATATAN KELAM / Chapter 13 - Part 13. Rencana Adel

Chapter 13 - Part 13. Rencana Adel

Diandra izin ke toilet. Kakinya benar-benar pegal. Masih ada 2 jam lagi sebelum waktunya pulang.

Setelah mengosongkan kandung kemihnya, ia ke ruang istirahat untuk meluruskan kaki. Suasana sepi, hanya ada ia sendiri di sana. Shift siang memang dibatasi hanya lima orang.

Diandra teringat foto yang ia temukan di loker Sekar siang tadi. Mencoba menerka-nerka penyebab kematian adiknya. Mungkinkah sakit? Tapi apa maksud dari kalimat terakhirnya? 'Tetap membuatmu bahagia, dengan caraku.'

Ia berdiri, mendekati loker Sekar yang berada di seberang loker miliknya. Diamati foto tersebut, ada yang janggal. Wajah sosok ayah tergores hingga hilang sebagian gambarnya. Tadi siang Diandra hanya fokus ke foto anak kecil yang dilingkari.

Tiba-tiba, suara kipas angin di langit-langit berubah berderit. Mirip rintihan kesakitan. Diandra mendongak, kipas itu masih menyala dengan lancar.

Bulu kuduknya meremang. Ia pun bergegas keluar dan menuruni tangga dengan berlari. Di pintu, hampir saja bertabrakan dengan Rio.

"Eh, Di ... kenapa?" sapa Rio yang melihat wajah Diandra memucat.

"Ng ... nggak apa-apa. Cuma suara kipas tadi bikin seram. Haha. Aku lebay banget ternyata," tawa Diandra. Rio menatapnya serius.

"Tapi, Di ... memang suka seram sih, di ruang istirahat sendirian. Kalau mau istirahat ajakin teman aja. Soalnya aku pernah ...."

"Kenapa?" potong Diandra curiga.

"Nggak. Cuma loker Sekar pernah kebuka sendiri tiba-tiba. Bikin kaget," senyum Rio.

Ruang istirahat memang hanya satu, namun karena karyawan lebih banyak wanita, jadilah digunakan untuk istirahat wanita saja. Sedang laki-laki hanya menitipkan tasnya di loker.

Diandra bergidik. Ia pun segera kembali bekerja.

"Lama banget, Di. Aku kebelet, nih," keluh Nadin, teman kasir sebelah.

"Eh, iya maaf. Aku pegel banget, makanya meluruskan kaki sebentar. Habisnya dua shift ...."

"Oh iya. Kamu kan, gantiin Sekar. Ya udah, habis aku ke toilet kamu istirahat lagi aja," ujar Nadin sambil menutup kasir. Diandra mengangguk, walau ia tidak mau kembali ke ruang istirahat sendirian lagi.

Setelah Nadin kembali, Diandra mengajaknya ngobrol tentang Sekar. Kebetulan toko sudah mulai sepi.

"Din, kamu tau tentang keluarga Sekar nggak? Yang sakit siapa?"

Nadin mengingat-ingat. Ia memang cukup dekat dengan Sekar, karena sering pulang bareng.

"Setau aku, tinggal ibunya aja. Ayahnya hilang saat melaut, sampai sekarang belum ditemukan. Itu aja sih, yang aku tau."

"Hilang? Kalau adiknya gimana? Apa kamu tau?" tanya Diandra terkejut.

"Eh ... aku malah nggak tau kalau dia punya adik." Nadin mengangkat bahu. "Dia nggak banyak cerita soal keluarganya. Yang aku tau, kampungnya di pesisir pantai daerah Gunungkidul."

Diandra terdiam. Bahkan Nadin pun tidak tahu soal adik Sekar. Bagaimana ia bisa tahu penyebab kematiannya?

"Ah, ayo beres-beres dulu biar nanti bisa pulang cepat," ajak Diandra kemudian. Nadin mengangguk. Mereka pun sibuk dengan komputer masing-masing.

**

Malam itu, Adel tidak bisa tidur. Ia teringat pesan ancaman kemarin malam yang ia sembunyikan dari Diandra.

[Jangan gegabah, mencari tahu tentang saya. Atau kalian tidak akan berumur lama]

Adel yakin itu pesan dari perobek mulut. Ia pasti sudah mencari tahu akun medsos milik Diandra.

"Belum tidur?" Diandra membalik badan dengan mata setengah terbuka.

"Hmm ...."

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Belum ngantuk aja," sahut Adel merapatkan selimut.

Diandra pun kembali memunggungi Adel setelah berpesan untuk segera tidur. Adel memilih bangkit, menyalakan lampu belajar lalu membuka buku catatan hitamnya.

Ia membuka lipatan kertas yang kemarin terselip di ban sepeda Vika. Mengamati tulisan itu, dan mulai menganalisis.

"Model tulisannya cenderung miring ke kanan, tekanan kuat, dan bentuk huruf yang panjang. Hampir mirip dengan menulis akasara jawa yang cenderung miring ke kanan dan memanjang. Itu artinya ... ia masih orang yang sama dengan 'Titi Wanci' di pesan misterius yang ditemukan Mbak Sandra," gumamnya seorang diri.

Tiba-tiba Adel teringat buku catatan milik Sandra yang sempat mereka baca isinya. Model tulisannya nyaris sama, walau karakter hurufnya berbeda. Seperti ada emosi lain yang tergores dalam tiap hurufnya.

Satu orang lagi yang ia curigai. Sekar. Tapi ia sendiri belum ada bukti, bahkan mengenalnya dan bertatap muka pun belum pernah. Hanya mendengar cerita dari Diandra dan sempat melihat sosoknya sekilas saat di rumah Sandra.

"Apa aku harus mencari tau soal Mbak Sekar juga?"

Adel berpaling ke ponsel Diandra. Ia meraihnya, beruntung Diandra tidak pernah memberi password untuk membuka kunci.

Adel mencari foto Sekar di galeri Diandra. Tapi ia kecewa, karena hanya ada satu foto itu pun seluruh karyawan toko dan tidak begitu jelas.

Putus asa, bocah itu memilih tidur. Ia mempunyai rencana lain. Mendatangi rumah Sandra sendiran, dan menyelidikinya.

**

Minggu pagi.

Diandra masuk shift pagi. Ia berangkat saat Adel masih bergelung dengan selimut.

"Del ... jangan lupa sarapan. Hari ini mau ke mana?"

"Hegghh ... paling sepedaan sama Zahra," sahut Adel tanpa membuka mata.

"Ya sudah, jangan main jauh-jauh. Tante berangkat dulu."

Sepeninggal Diandra, Adel buru-buru bangun lalu mandi. Di meja sudah tersedia roti tawar isi. Ia segera membuat susu dan menyantap roti tersebut.

Setelah mengemasi beberapa peralatan, ia menghubungi Zahra.

"Halo, Ra. Jadi nggak?"

"Duhh ... maaf, Del. Kami sekeluarga mau ke tempat saudara, ada yang nikahan. Atau kamu mau ikut aja? Pasti ibu sama ayah boleh, kok."

"Eh, nggak usah. Aku pinjam sepedamu aja. Belum berangkat, kan?"

"Belum. Ya udah ke sini aja."

Adel segera mengunci pintu dan pagar. Ia berlari ke rumah Zahra yang terbilang cukup dekat. Hanya beda komplek. Tiba di sana, mobil keluarga itu sudah menyala. Zahra menunggu Adel di teras.

"Pakai aja, Del. Nanti bawa pulang ke rumahmu. Soalnya kami akan menginap, besok aku izin nggak masuk sekolah," sambut Zahra. Adel mengangguk.

Setelah menerima sepeda berkeranjang itu, Adel berpamitan. Ini diluar rencananya, namun cukup bagus. Awalnya, ia akan berboncengan sepeda dengan Zahra ke taman bunga dan bersantai di sana. Lalu setelah pulang, ia akan meminjam sepeda Zahra untuk pergi ke rumah Sandra.

Untunglah Zahra pergi dengan keluarganya. Jadi, ia bisa melakukan rencana itu lebih awal.

Di persimpangan komplek, ia nyaris bertabrakan dengan sepeda lain. Namun karena kaget, ia oleng dan menabrak pohon di sisi kiri jalan.

"Aduh ...." Adel mengusap lututnya yang tergores pinggiran jalan.

"Eh, bocah. Kamu nggak apa-apa?"

"Mbak Vika?"

"Perasaan di mana-mana ada kamu, deh. Mau ke mana?" Gadis bertopi itu mengulurkan tangan. Meski menggunakan masker, Adel sudah hafal suara itu.

"Bukan urusan Mbak. Dah ... aku jalan dulu," seru Adel menaiki sepedanya.

Vika mendecak kesal melihat bocah itu melenggang tanpa menghiraukannya. Ia pun segera meraih sepeda miliknya dan melajukan roda dua tersebut di jalan yang mulai terik.

***