Vika membuka buntalan tersebut. Sebuah batu dan segulung kertas kecil. Rupanya batu itu hanya digunakan sebagai pemberat.
Ia segera mengambil foto tulisan tersebut dan mengirimkannya ke Adel.
[Sama. Aku juga dapat] balas Adel sambil mengirimkan tulisan yang hampir sama.
[Satu lagi, Bocah. Tadi aku makan bakso dekat alun-alun, dan ada orang yang kemungkinan Sandra. Kata penjual bakso, ia langganan hampir setiap hari]
Vika menulis dengan penuh semangat, sampai tidak mendengar panggilan ibunya.
"Vika ... bantuin angkat jemuran. Udah sore!"
"Vika ...!"
Gadis itu beranjak, setelah menyimpan kertas berisi ancaman tersebut. Ia bergegas melaksanakan perintah ibunya, sebelum omelan makin panjang.
Walau hanya anak seorang petani, Vika yang hanya anak tunggal, hidup berkecukupan. Ia selalu memiliki uang saku lebih, bahkan kadang tiap libur ia membantu saudaranya di bengkel. Uang yang didapat digunakan untuk bersenang-senang.
Vika kembali dan melihat ada lima panggilan tak terjawab dari Adel, juga satu pesan.
[Besok sepulang sekolah, kita bertemu di alun-alun, ya. Kita tunggu Mbak Sandra dan menangkapnya]
Vika tertawa geli. Ia tidak menyangka, akan terlibat sebuah pengintaian bersama seorang bocah SD. Namun ia akui, bocah itu memiliki jiwa detektif dan cukup pemberani, meski terkadang sifat kanak-kanaknya masih ada.
"Besok kamu sudah masuk sekolah, kan?" tanya ibu Vika sambil menenteng handuk, hendak mandi.
"Nggak tau. Masih malas," sahut Vika.
"Vika, ibu rasa lukamu sudah sembuh. Tinggal bekasnya sedikit, kamu nggak khawatir tertinggal pelajaran?"
Vika merebahkan diri. Ia sudah terlanjur senang bisa bebas tanpa memikirkan tugas sekolah. Lagi pula, tidak ada yang ia rindukan di sekolah tersebut. Teman-teman hanyalah formalitas bersosialisasi agar tidak dikucilkan.
Ia pun teringat dengan Nur. Gadis itu sampai pindah sekolah karena ulahnya. Ada rasa bersalah menyusup dada. Ia baru sadar kalau tingkahnya sudah kelewatan. Itu pun karena pertemanannya yang tidak 'sehat'. Setiap hari ia bergaul dengan anak-anak nakal yang hobi merundung anak yang lemah.
Vika menghela nafas berat. Jarinya mencari nomor Nur di daftar kontak. Untunglah masih ada. Dengan canggung, ia menghubungi gadis pendiam itu.
Nur memaafkan Vika. Rasa lega membuat matanya berkaca-kaca. Tapi ia tidak menceritakan tentang dirinya yang sudah lebih dari seminggu tidak masuk sekolah, akibat diserang perobek mulut.
Selesai menelepon Nur, Vika teringat kejadian setelah ia membuat gadis itu menangis di sekolah, saat jam olahraga. Malamnya, ia sempat dikejar sosok itu, namun berhasil lolos. Dan mungkin, sejak saat itu gerak-geriknya tengah dipantau. Terbukti setelah video dirinya mempermalukan Dina, ia diserang.
Meski malas, Vika mengemasi buku-bukunya. Ia akan sekolah besok, mencoba mengubah sikapnya selama ini yang urakan. Dan sepulang sekolah, ia akan menemui bocah SD itu untuk melanjutkan rencana pengintaian terhadap Sandra.
**
Hari ini Zahra tidak masuk sekolah. Adel sudah tahu kalau anak itu masih menginap di tempat saudaranya. Karena ada sepeda Zahra, hari ini Adel tidak diantar Diandra.
"Kamu yakin, mau bawa sepeda aja?" Diandra menutup kotak bekal Adel dan memasukkannya ke dalam tas.
"Iya. Makanya beliin Adel sepeda, dong. Biar nggak pinjam-pinjam lagi sama Zahra," tukas bocah itu memajukan bibir.
Diandra bukan tidak punya uang, tapi ia masih khawatir jika Adel berangkat dan pulang sekolah sendiri. Mereka baru 2 tahun di kota ini, belum semua tempat dan orang-orang mereka kenal. Ia berencana membelikan sepeda lipat di ulang tahun kesepuluh Adel.
"Ya sudah, buruan berangkat. Hati-hati kalau menyebrang, cari teman atau minta bantuan. Tante kemungkinan lembur lagi hari ini, soalnya Sekar belum masuk," ujar Diandra.
"Uang sakunya tambahin, dong." Adel nyengir. Diandra mengambil dompet dan mengulurkan selembar uang biru.
"Nih, buat tiga hari. Jangan jajan sembarangan."
Bocah itu pun mengayuh sepeda dengan santai. Semalam ia telah sepakat, bertemu Vika jam 2 siang di gazebo nomor 5. Semoga rencananya berjalan lancar.
Sementara itu, Diandra membereskan rumah sebelum berangkat kerja. Saat menyapu, ia menemukan beberapa kerikil di sudut teras, dekat pot bunga gelombang cinta.
"Kerikil dari mana ini?" gumamnya. Di pungutnya satu, terlihat kering dan berdebu. Seperti kerikil jalanan, karena di dalam halaman mereka tidak ada yang seperti itu.
Ia bermaksud menanyakan ke Adel, jangan-jangan ada orang iseng lagi. Disimpannya beberapa dalam plastik, lalu ia melanjutkan mengepel.
Vika keluar halaman sekolah itu dengan lega. Hampir 7 jam dalam gedung itu, dikelilingi pandangan heran dan pertanyaan yang sama dari mereka. Tentang 'pertemuan' tidak mengenakkan dengan perobek mulut.
"Vik, nongkrong, yuk!" ajak gadis berambut cepak merangkul pundaknya.
"Kamu nggak lihat, aku habis gimana? Males, ah," ketus Vika mempercepat langkah menuju parkiran sepeda.
"Huhh! Katanya nggak takut, nggak trauma, cuma diajak nongkrong aja ngelak," cibir gadis itu memperhatikan Vika yang membuka kunci sepedanya.
Vika memilih diam. Ia mengganti masker dengan kain segitiga warna hitam. Dikayuhnya sepeda, meninggalkan gadis yang menatapnya dengan pandangan tak suka.
Di gazebo yang telah mereka janjikan, Vika menunggu bocah itu sambil makan cilok saus kacang. Hawa panas di lapangan berumput keemasan terbawa angin, menerbangkan butiran debu yang sesekali masuk ke mata.
"Sudah lama?" Adel menyandarkan sepedanya dan menghampiri Vika.
"Belum. Nih ciloknya belum habis. Mau?" Vika mengulurkan cilok berbalut saus kemerahan yang membuat Adel bergidik.
"Nggak. Hmm ... penjual bakso yang dimaksud, itu?" tunjuk Adel ke seberang jalan utara. Di sana, sebelah kiri Kantor Pos memang ada pedagang bakso mangkal yang buka dari siang sampai jam 9 malam.
Vika mengangguk. Ia menyesap es teh manis yang berembun hingga habis.
"Berarti yang Adel lihat malam itu juga Mbak Sandra. Waktu itu, kami sedang membeli serabi. Di penjual bakso itu, Adel lihat Mbak Sandra. Tapi pas dipanggil malah kabur."
"Jadi, kita mau mengamati dari mana?"
Adel berfikir sejenak, melihat sekitar dan menentukan posisi.
"Itu ... di sisi kanan pohon beringin ada kursi beton. Kita duduk di situ aja. Dari penjual bakso nggak kelihatan mencolok," ajaknya.
Mereka pun menaiki sepeda melewati tengah alun-alun yang terpanggang matahari. Lurus beberapa ratus meter dan sampai.
"Tunggu sebentar...." Vika menyebrang jalan, mendekati penjual bakso yang sedang duduk menunggu pelanggan.
"Maaf, Pak. Apa pelanggan Bapak, gadis yang pakai jaket hitam kemarin sudah ke mari?" tanya Vika terus terang.
Si Bapak yang masih paham dengan Vika menggeleng. "Belum, Mbak. Hari ini sepi, baru beberapa pelanggan yang datang. Mbak mau beli?"
Vika salah tingkah. Ia menggeleng dan buru-buru pamitan.
"Dia belum datang. Masih ada kesempatan," ucap Vika kepada Adel yang menyandarkan punggung ke sandaran kursi.
"Baguslah. Terus selama menunggu, kita ngapain?" tanya Adel.
"Ya ... ngapain. Habisnya aneh kalau aku ngajak mainan anak SD. Nggak seru."
Adel mendelik. Ia pun mengeluarkan komik dari tas dan memunggungi Vika. Gadis itu pun nampak cuek, memainkan ponsel sambil makan permen.
Hampir satu jam mereka menunggu. Beberapa menit sekali pandangan mereka tertuju ke seberang jalan. Namun yang mereka tunggu tidak juga menampakkan batang hidungnya. Atau jangan-jangan ia tahu kalau sedang diintai?
***