Adel segera mengunci pagar rumah. Vika sudah lebih dulu duduk di lantai teras. Entah kenapa gadis itu malah mengikuti Adel sampai rumah.
"Aman, kan?" Vika mengerling. Keringat membanjiri wajah dan badannya.
"Semoga," sahut Adel.
Mereka minum es sirup di teras. Vika mengamati hasil foto yang Adel ambil tadi di rumah Sandra.
"Sebenarnya aku masih penasaran dengan ruangan lain. Kamar misalnya. Tapi bau bangkai ini benar-benar bikin pusing," tukas Vika. Adel setuju. Ia yang awalnya paling semangat menyelidiki rumah Sandra tersebut, justru merasa gentar melihat puluhan kucing tak bersalah dibantai sedemikian rupa.
"Adel yakin, Mbak Sandra masih ada disekitar sini. Tapi kenapa ia sembunyi? Nomor telepon yang ia berikan juga nggak aktif."
"Ada fotonya nggak? Siapa tau aku pernah lihat dia." Vika menuang es sirup untuk yang kesekian kalinya.
"Sebentar, aku cari dulu di medsosnya."
Adel mencari nama akun Sandra. Langsung ketemu karena ia pernah mengirimkan permintaan pertemanan. Tidak banyak foto di sana, tapi ada satu foto gadis pemurung itu yang sepertinya sudah lama dan terlihat buram.
"Ini ... tapi nggak jelas," tunjuk Adel. Vika meminta Adel mengirimkan foto tersebut.
"Aku mau pulang, kamu nggak apa-apa di rumah sendirian?" Vika berdiri dan mengusap perutnya yang kekenyangan oleh air sirup.
"Nggak apa-apa. Tante Dian pulang jam 4 kok. Aku mau tidur," sahut Adel.
Setelah memastikan pintu pagar ia kunci, bocah itu masuk kamar. Merebahkan diri dan hanya dalam beberapa menit sudah terlelap.
Adel terbangun saat mendengar pintu depan seperti dilempar sesuatu. Terdengar sampai lima kali, hingga akhirnya ia bangkit dan keluar untuk memeriksa.
Ia terpaku, melihat teras penuh dengan kerikil. Di dekat kakinya ada satu batu cukup besar, terbungkus plastik hitam dan terikat benang. Diambilnya bungkusan batu tersebut, ada sesuatu di dalamnya. Tidak hanya batu, namun teraba seperti kertas juga.
Sebuah pesan ancaman. Adel bisa menduganya melihat cara penyampaiannya yang keterlaluan.
[Jangan ikut campur urusan orang lain
Bocah nakal]
Adel membersihkan teras dari kerikil-kerikil tersebut, ia khawatir Diandra mengetahui aksi nekatnya hari ini dan berujung pertengkaran yang membuat dirinya tidak boleh mengusut kasus sampai tuntas.
Kertas itu ia simpan dalam lipatan sampul belakang, buku catatannya. Jam masih menunjukkan angka 2. Masih ada 2 jam sampai Diandra pulang kerja.
Adel berniat merebahkan diri lagi, tapi rasa kantuknya mendadak hilang. Ia pun bangkit dan mengamati tulisan bertinta biru tersebut. Goresannya terlihat terburu-buru, mengakibatkan tinta yang belum mengering mencoret di beberapa sisi tulisan.
"Karakter huruf 'a' dalam tulisan ini mirip dengan yang ada di buku diary kecil waktu itu," gumam Adel. Ia pun membuka galeri foto, mencari gambar hasil jepretannya pada beberapa halaman buku yang tak sengaja terbawa Diandra.
"Benar sekali. Meski yang lain tidak begitu mirip, tapi karakter huruf 'a' ini sama. Dari segi kemiringan, ukuran, dan tekanan sama."
Adel menyimpulkan. Sandra memang berada di rumah itu dan mengetahui kalau Adel sudah menyusup ke sana. Tapi, apa yang ia sembunyikan? Kenapa ia berbohong akan pindah ke Jakarta dan sampai keluar sekolah?
**
Di tempat lain, Vika yang bersepeda pulang dari rumah Adel mampir ke tukang bakso pinggir jalan. Ia merasa sangat lapar setelah seharian berkeliling mengikuti bocah SD menyusup ke rumah orang.
"Pak, bakso satu pakai mi kuning. Minumnya nggak usah," pesan Vika sambil duduk di kursi panjang yang menghadap sebuah meja bertaplak plastik.
Sambil menunggu pesanan, ia pun bermain ponsel. Tukang bakso itu terdengar bercakap dengan seseorang, namun tak terdengar suara lawan bicaranya.
Vika mendongak. Ada seorang gadis memakai jaket hitam ber-hoodie. Ia memesan bakso juga, namun tak terdengar suaranya. Hanya dengan mengacungkan jari, dan si penjual bakso seolah mengerti apa yang ia inginkan.
"Silakan baksonya, Mbak."
Vika mengangguk. Tangannya mulai menuangkan sambal, saus, kecap dan sedikit cuka. Sesekali matanya melirik ke gadis aneh tersebut.
Gadis itu berdiri tidak tenang. Sesekali melihat ke arah lain dan membetulkan hoodie-nya yang melorot. Atau masker hitamnya ia tarik-tarik. Setelah pesanannya selesai, ia bergegas pergi menggunakan sepeda butut yang terparkir tak jauh dari gerobak bakso.
"Langganan, Pak?" Vika bertanya sambil meniup-niup kuah bakso pada sendok.
"Iya, Mbak. Hampir tiap hari dia beli bakso saya. Dulu sering sama adiknya, berboncengan sepeda. Tapi, entahlah sekarang ia sering sendirian. Adiknya tidak pernah diajak. Tiap saya tanya tak pernah dijawab. Kadang malah menatap saya dengan pandangan aneh."
Vika menyantap bakso sambil memikirkan gadis tadi. Usianya mungkin sepantaran dirinya. Tapi dari sorot matanya, sepertinya ia gadis pendiam.
"Apa Bapak tau nama pelanggan tadi?" cetus Vika iseng. Si Bapak penjual bakso berpikir sejenak.
"Nggak tau, Mbak. Tapi kalau adiknya, dulu saya pernah tanya. Soalnya lucu dan periang. Namanya Sandria kalau nggak salah."
Vika tersedak. Kuah bakso pedas yang ia sesap masuk hidung. Terasa panas dan membuatnya batuk-batuk.
Setelah minum segelas air putih, ia mulai bisa mengendalikan batuknya. Walau di hidung masih terasa pedas dan panas.
"Makasih, Pak. Maaf, saya kaget soalnya. Nama Sandria itu mirip dengan anak kecil yang katanya waktu itu meninggal bunuh diri," ujar Vika.
"Loh, apa yang dulu ramai digosipkan orang-orang ya? Hampir 2 tahun yang lalu, di Desa Rejo?" Penjual bakso itu terkejut.
Vika mengangguk. Ia pun baru tahu kabarnya setelah bertemu Adel kemarin. Tapi ia yakin, kalau yang penjual bakso bilang itu benar, berarti gadis tadi adalah Sandra!
"Berapa, Pak?" Vika mengeluarkan dompet.
"Dua belas ribu saja."
Vika meninggalkan tempat itu dengan memikirkan informasi penting yang akan ia sampaikan ke Adel, setelah pulang ke rumah.
Saat tiba di halaman, gadis itu melihat ibunya melempar sesuatu ke bawah pohon pisang yang merupakan lubang pembuangan sampah.
"Apa itu, Bu?"
"Duh, kamu keluyuran ke mana aja? Baru juga sembuh, nggak takut diserang orang itu lagi?" seru ibunya sambil memasukkan padi yang baru di jemur ke dalam karung.
"Ibu, aku kan tadi tanya. Apa yang di lempar ke tempat sampah?" Vika memarkirkan sepedanya dan menghampiri wanita paruh baya tersebut.
"Nggak tau. Lihat aja sendiri. Tadi ada anak naik sepeda, lemparin ibu pakai buntalan itu. Huhh! Anak sekarang memang nggak ada sopan santunnya, ya."
Vika kaget. Ia pun menghampiri tempat sampah dan memeriksa benda yang baru saja di buang ibunya.
"Ini, Bu?"
"Iya. Buruan bantuin ibu angkat padi. Atau jemuran, tuh. Anak gadis kok mainnya keluar terus." Sang ibu masih mengomel.
Vika tidak peduli, ia malah masuk rumah sambil membawa benda berat terbungkus plastik hitam yang mencurigakan.
***