Vika tak melepas bocah itu begitu saja. Ia yakin Adel sedang merencanakan sesuatu. Maka dikayuhlah sepedanya menyusul Adel yang terlihat tergesa-gesa.
"Hei, tunggu bocah! Aku kan udah bilang, kalau punya rencana ajakin," teriak Vika. Adel mempercepat laju sepedanya dan tak menghiraukan seruan Vika.
"Bocah nakal. Awas aja kalau jatuh nggak bakal amu tolong," dengkus Vika sambil terus mengikuti.
Tidak lama, terlihat laju sepeda Adel tidak normal. Bocah itu pun terpaksa berhenti.
"Ah, kenapa harus putus rantainya," decak Adel. Vika yang baru sampai cengengesan melihat raut wajah Adel yang masam.
"Makanya, jangan melawan orang dewasa. Dorong aja tuh, sampai depan. Nggak lama juga ada bengkel."
Memang benar, sekitar 200 meter ada bengkel yang bisa membetulkan rantai sepeda. Tapi masalahnya, dompet Adel ketinggalan.
"Mbak, pinjam uang dong. Aku lupa bawa dompet. Perasaan tadi udah ada di tas. Apa jatuh, ya?" Adel meringis.
Vika pun membayarkan biaya bengkel sambil menceramahi bocah itu.
"Ya udah, buat balas budi, Mbak boleh ikut aku. Tapi jangan mengacau," senyum Adel. Vika melengos.
Mereka pun melanjutkan perjalanan, Vika yang memang tidak punya tujuan akhirnya ikut Adel. Sepanjang jalan, tidak ada obrolan. Hingga masuk wilayah Desaa Rejo, Vika buka suara.
"Jangan-jangan, kamu mau ke rumah Sandra," tebak Vika. Adel mengangguk.
Tiba di depan rumah bercat hijau tersebut, Adel celingak-celinguk. Ia mengucap salam dengan keras, walau yakin tidak akan ada yang menjawab melihat kondisi rumah yang sepi dan tak terawat.
Vika memarkirkan sepedanya di halaman rumah tersebut. Ia pun mengitari sisi kanan bangunan, dan memanggil Adel.
"Bocah ... sini, deh."
Adel mendekat. "Kenapa?"
"Ranting pohon kering ini seperti baru terpijak. Kemungkinan belum lama ada yang lewat sini," tunjuk Vika.
"Iya juga. Apa Mbak Sandra?"
Adel mendekati pintu kayu yang tertutup rapat. Ia mencoba mengetuknya.
Hening. Tidak ada sahutan. Vika menggedor lebih keras.
"Coba dorong pintunya, Mbak," usul Adel. Vika melakukannya. Terkunci.
"Nggak bisa. Pasti nggak ada orang. Yuk, pulang aja," ajak Vika. Namun Adel masih penasaran. Ia kembali mengitari rumah tersebut hingga pagar belakang rumah. Ada pintu dari bambu yang membatasi rumah itu dengan area belakang. Adel mendorongnya, ternyata tidak di kunci.
"Mbak Vika ... sini," panggil Adel pelan.
"Eh, bisa di buka? Coba ke sana. Tunggu, kita bawa sepedanya, takut diambil orang."
Mereka pun membawa sepeda masing-masing ke belakang rumah tersebut melalui pintu pagar bambu yang tidak dikunci.
Ternyata halaman belakang rumah itu pun lebih luas. Ada beberapa pohon rambutan dan juga mangga. Tapi kondisinya sama, tak terawat. Daun kering memenuhi tanah.
"Ada pintu lagi," bisik Adel. Entah kenapa ia merasa was-was.
Vika menyandarkan sepeda di bawah pohon mangga, diikuti Adel. Keduanya mendekati pintu kecil berposisi paling belakang dari rumah yang cukup besar itu. Pintu model bukaan dua, atas bawah. Adel mendorong bagian atas, tidak di kunci namun lumayan susah.
Saat terbuka, tercium aroma bangkai yang sangat menyengat. Suasana remang dalam ruangan yang terlihat seperti sumur, membuat mereka mundur.
"Serem, Mbak ...," bisik Adel.
"Sebentar. Itu seperti ada pintu lagi di dalam. Mungkin pintu dapur, karena ini ternyata hanya pintu sumur," tunjuk Vika. Memang benar, setelah ada cahaya masuk, ruangan yang mereka lihat hanya sumur tertutup. Sebenarnya atap dibuat transparan, mungkin agar terang, tapi karena tertutup tumpukan daun kering jadi gelap.
Tangannya mendorong pintu bagian bawah yang ternyata di kunci dari dalam. Setelah berhasil membukanya, ruangan itu jadi makin terlihat jelas.
Bau busuk makin menyengat. Seperti bangkai tikus. Adel menutup hidungnya dengan sapu tangan, sedang Vika sudah menggunakan masker.
"Apa nggak apa-apa? Kalau ada orang gimana?" bisik Adel.
"Gimana, sih! Bukannya rencana kamu mau melakukan ini?" gerutu Vika. Adel tak menjawab.
"Kita buka pintu itu, pelan ...." ucapnya kemudian.
Syukurlah tidak terkunci. Hawa pengap dan gelap membuat nafas sesak. Apalagi aroma bangkai yang makin menusuk hidung.
"Mbak ... apa itu," tunjuk Adel ke sudut ruangan yang sepertinya dapur.
Setumpuk hewan berbulu dengan luka tusukan dan beberapa sudah membusuk. Adel menggenggam lengan Vika erat.
"Ku ... kucing," gumam Vika. Gadis itu mendekat, dengan menahan nafas karena bau yang tidak tertahankan.
"Ada yang masih baru. Lihat darahnya masih segar," tunjuk Vika ke kucing berbulu putih.
"Kasihan ...." Adel menutup hidung lebih erat. Perutnya tiba-tiba mual melihat seekor kucing yang mulai dipenuhi belatung.
Adel mengambil beberapa foto penemuan itu lalu mengajak Vika pulang. Hatinya tidak enak. Ia merasa sedang diawasi.
Untunglah mereka bisa keluar dari rumah itu dengan selamat. Walau di tengah jalan Vika berhenti untuk mengeluarkan isi perut.
"Sial! Apa-apaan tadi. Pembantaian kucing?" kecamnya.
"Adel jadi makin yakin kalau di rumah itu masih ada orang. Tapi siapa?" Adel memberikan minyak angin ke gadis itu. Ia memang selalu sedia apa pun di tas slempangnya.
"Menjijikkan. Psikopat!"
Adel tertegun. Benar juga, ini pasti ulah psikopat. Ia membantai kucing untuk memuaskan hasratnya. Kalau begitu, apa jangan-jangan pelakunya perobek mulut? Kalau benar, apa hubungannya dengan Sandra? Kenapa ia melakukan itu di rumah Sandra?
Mereka melanjutkan perjalanan dengan pikiran masing-masing. Adel merasa boncengan sepedanya memberat. Seperti ada yang ikut di belakangnya.
***