Sore itu, saat Diandra dan Adel minum es dawet di pinggir jalan, ada pesan masuk dari nomor tak dikenal.
[Maaf, saya melihat postingan Anda di medsos bahwa telah menemukan sebuah kunci rumah. Sepertinya itu punya saya yang terjatuh saat perjalanan pulang kerja naik motor]
Diandra menunjukkan pesan itu ke Adel. Bocah itu mengangguk dengan wajah serius. Ia pun segera mengajak Diandra pulang.
Tiba di rumah, Adel mengambil kunci yang di maksud. Ia menyuruh orang tersebut datang sekarang juga.
"Del ... tapi ...."
"Coba kasih tahu Bang Hendi untuk mengawasi orang yang menuju rumah kita. Takutnya ia sambil membawa niat jahat," komando Adel. Diandra terkejut, namun mengikuti juga perintah bocah SD tersebut.
Satu jam kemudian, sebuah motor berhenti di depan pagar. Diandra menyuruh Adel di dalam saja, namun mana mau anak itu menurut.
"Mbak ... saya Bima. Bisa lihat kuncinya sebentar?" pinta pemuda berjaket levis dan memakai helm full face itu tanpa basa basi.
Adel menyerahkan kunci berbungkus plastik itu sambil mengamati mata pemuda itu yang nampak canggung.
"Baiklah, sepertinya ini memang punya saya. Boleh saya bawa?" ujarnya kemudian.
"Silakan ...," sahut Diandra dan Adel berbarengan.
Pemuda itu pun pergi setelah mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Diandra melirik Adel yang terlihat mencatat sesuatu.
"Apa itu?"
"Nomor plat motor tadi. Barangkali penting," jawab Adel enteng. Diandra menggeleng melihat tingkah keponakannya tersebut.
"Del ... kamu yakin memberikan kunci itu ke orang tersebut? Bagaimana kalau itu bisa jadi petunjuk?"
"Tenang saja. Itu bukan yang asli," tawanya. Ia menunjukkan kunci yang asli dalam kantong. "Lagi pula, Adel yakin kunci itu sangat penting. Kalau tidak, mana mungkin ada orang yang tertarik dengan postingan tersebut dan menghubungi Tante."
Diandra pun berpikiran hal yang sama. Kalau itu kunci rumah biasa, tidak mungkin orang mau mengambilnya.
"Adel yakin, nanti akan ada yang datang lagi mengakui kunci tersebut," gumamnya.
"Eh? Kenapa?"
"Karena orang tadi bukan pemilik aslinya. Dia hanya suruhan."
Diandra melongo. Dari mana anak itu mendapatkan analisa demikian?
Trriiinnggg.
Sebuah pesan masuk, dari nomor baru lagi.
[Halo. Saya kehilangan kunci dua hari yang lalu di perempatan, seperti yang Anda sebutkan di postingan itu. Bisa saya lihat kuncinya? Soalnya itu kunci kamar kos dan saya tidak punya cadangannya, sementara pemilik kos sedang pergi ke luar kota]
Diandra menatap Adel yang tersenyum bangga.
"Bagaimana dengan yang ini?" tunjuk Diandra ke pesan tersebut.
"Sama. Adel yakin, dia pun orang suruhan. Jadi kemungkinan ada dua atau lebih orang yang menginginkan kunci tersebut. Kalau benar milik si perobek mulut, berarti ia memiliki 'musuh' yang tahu soal kunci tersebut. Tapi masalahnya, ini kunci ruangan atau sekedar rumah?" tanya Adel pada dirinya sendiri.
Diandra membalas pesan tersebut dan memberikan alamat rumah mereka. Tak lupa menghubungi Hendi untuk berjaga-jaga.
Sedang Adel mencari salah satu kunci lagi yang mirip, entah dari mana bocah itu memiliki banyak sekali anak kunci dengan berbagai jenis dan ukuran.
Cukup lama menunggu orang kedua tersebut, hingga malam sekitar jam setengah 9, baru datang. Seperti yang pertama, pemuda itu tanpa basa-basi langsung mengakui. Adel dengan senang hati memberikan, sambil pandangannya mengawasi mata orang tersebut.
"Sekarang, apa yang akan kita lakukan?" Diandra merebahkan diri di sofa.
"Entahlah. Kita lihat saja," sahut Adel melenggang ke kamar.
**
Setelah dua orang yang 'mengakui' kunci itu miliknya, tidak ada lagi yang datang. Diandra merasa lega, namun ia tetap waspada. Kunci itu bukan kunci biasa. Pasti ada apa-apanya.
Untunglah luka Vika tidak terlalu serius, gadis itu pun tidak mengalami trauma seperti korban lain. Mungkin karena sifat bengalnya yang sering berantem, hal seperti itu tidak membuatnya kapok.
Beberapa hari setelah Diandra dan Adel menjenguk, gadis itu menelepon Diandra dan bilang ada hal penting yang ingin ia bicarakan.
"Hal penting?" tanya Diandra.
"Ya. Bisa beri alamat rumah kalian? Aku ke situ sekarang."
Tiga puluh menit kemudian, gadis itu sudah muncul mengendarai sepeda. Wajahnya tertutup masker, karena luka akibat serangan perobek mulut masih membekas.
"Ayo, masuk," ajak Diandra.
Vika mengekor di belakang, setelah sebelumnya melihat-lihat sekeliling. Ia memastikan tidak ada yang mengikutinya sampai sini.
"Kemarin malam, aku menemukan ini di bawah jendela kamarku," ucapnya mengulurkan sesuatu.
"Apa ini?" Diandra meraihnya. Bersama Adel, mereka membaca pesan dalam secarik kertas tersebut.
[Kembalikan kunci yang kau temukan malam itu, dan kau akan aman]
Di bawah kalimat tersebut tertulis aksara jawa yang mirip dengan pesan yang di peroleh Sandra. Adel mengingatnya sejenak.
"Titi wanci. Benar ini artinya titi wanci, kan?" tanya Adel ke Vika.
Gadis itu angkat bahu. "Entahlah. Nilaiku selalu jelek dalam mata pelajaran bahasa jawa."
Adel mencebik. Vika memang terlihat siswi yang malas belajar.
"Terus, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Diandra setelah mengambil minuman untuk tamunya.
"Ya mengembalikan kunci itu. Aneh banget kan, kalau aku diserang lagi hanya gara-gara tidak memberikan anak kunci miliknya yang bagiku sendiri nggak berguna."
"Tapi ... kemarin sudah ada dua orang yang datang untuk mengambil kunci itu," tukas Adel. Vika terkejut.
"Apa? Kok bisa?"
"Adel sengaja memposting penemuan kunci itu di medsos. Ia memancing agar perobek mulut itu muncul untuk mengambilnya__kalau memang benar itu punya dia. Ternyata memang benar, ya," jelas Diandra.
"Kalau itu kunci rumah biasa, harusnya dia punya kunci cadangan, dong. Berarti kunci itu memang tidak boleh jatuh ke tangan orang lain," decak Vika. Adel mengacungkan jempol. Ternyata Vika tak seburuk yang ia pikirkan.
"Sekarang, kamu harus hati-hati. Mungkin perobek mulut sedang mengincarmu, bukan untuk melukai, namun mengambil kunci itu," pesan Diandra. Vika mengangguk.
"Jadi ... kunci itu sekarang ada di mana?"
Adel menepuk kantong celananya. Setelah yakin kunci itu berharga, ia pun menyimpannya di dalam kantong celana berlapis tiga.
Vika menepuk dahi. Ia benar-benar tidak habis pikir, bertemu anak SD yang 'aneh' seperti Adel.
"Kalau gitu, untuk jaga-jaga beri aku kunci yang mirip seperti itu juga," pinta Vika. Adel mengangguk. Ia pun masuk kamar dan keluar membawa barang yang mirip.
"Aku pulang dulu," pamit gadis itu. Diandra dan Adel mengantar sampai teras. Sepeda Vika diletakkan dekat pohon bonsai, di sebelah kiri ruang tamu.
"Sialan!" umpat gadis itu yang membuat Diandra terkejut dan berlari menghampiri.
"Ada apa?"
Vika menunjuk ban sepedanya yang bocor dua-duanya. Ia yakin ada yang iseng.
"Eh, apa itu?" tunjuk Adel. Sebuah kertas terselip di antara ban luar dan pelek.
[Jangan main-main. Cepat tinggalkan kunci itu di tempat kau menemukannya]
Vika membaca pesan itu dengan kesal. Ia menatap Adel dan Diandra bergantian.
"Gawat. Berarti dia tadi sudah masuk ke sini dan mengikutimu. Kenapa tidak kelihatan, ya?" Diandra terlihat panik.
"Kita asik mengobrol, pintu pagar tidak di tutup, dan sepeda ini terhalang pohon bonsai jika di lihat dari ruang tamu. Kondisi yang pas banget, kan, buat melakukan aksi mengempeskan ban sepeda Mbak Vika," ujar Adel. Vika melihat pintu pagar itu. Ia mengangguk setuju.
"Kita harus mulai hati-hati. Sosok itu selain mengincar pelaku perundungan, sekarang juga mengincar kita." Diandra menatap sekeliling dengan waspada.
"Ya. Dan Adel yakin, ada rahasia yang ia sembunyikan melalui kunci tersebut."
***