Diandra terbangun mendengar panggilan telepon dari ponselnya. Setelah mengantar sekolah Adel, ia berniat tidur lagi sebentar sebelum berangkat kerja jam satu. Ia membuka mata dengan kesal, badannya terasa sakit, seperti akan masuk angin.
"Halo ...."
"Diandra, kamu berangkat sekarang ya. Sekar tiba-tiba izin pulang kampung, orang tuanya sakit. Nanti biar dihitung lembur," sahut suara penuh wibawa dari seberang. Supervisornya.
"Ah, Sekar lagi," ketus Diandra lirih. Seingatnya, gadis itu sering izin mendadak akhir-akhir ini. Kalau bukan karena karyawan tetap, entahlah mungkin nasib karirnya tidak lama lagi.
"Halo, Diandra? Kamu dengar, kan?"
Diandra pun bergegas mandi. Walau badannya mulai demam, ia terpaksa berangkat kerja. Sambil berkemas, ia memikirkan lagi jumlah tabungannya. Masih kurang jika untuk memulai usaha dagang seperti mendiang orang tuanya.
Saat hendak keluar dan melewati kamar Adel dengan pintu setengah terbuka, ia seperti melihat seseorang duduk di ranjang. Darahnya berdesir, tengkuk merinding. Buru-buru ia menyambar sepatu dan memakainya di teras.
Tiba di toko, pengunjung sudah mulai ramai. Diandra bergegas ke ruang istirahat di lantai 3, mengganti baju dengan seragam kerja.
Loker Sekar terlihat setengah terbuka. Diandra berniat menutup agar lebih rapi, namun perhatiannya tertumbuk pada selembar foto yang tertempel di sisi dalam pintu.
Foto keluarga. Tahun yang tertera, menunjukkan 5 tahun yang lalu, tepatnya tahun 2005. Sekar saat acara kelulusan SMA bersama kedua orang tuanya dan seorang anak perempuan dengan senyum aneh mengembang.
Namun dalam foto itu, gadis kecil yang usianya sekitar 9 atau 10 tahun tersebut dilingkari. Diandra mengernyit, mencoba mengelupas perekat foto tersebut dan membaliknya. Seperti yang ia duga, ada tulisan tangan yang mulai buram.
[2005. Seminggu setelah kelulusanku, kau meninggalkan kami untuk selamanya. Tapi aku akan terus membuatmu bahagia, adikku Sella. Dengan caraku.]
Diandra mengembalikan foto itu dengan hati-hati. Ia tak menyangka, Sekar ternyata pernah memiliki adik. Kenapa ia tidak pernah cerita, ya?
Ponselnya berdering. Supervisor sepertinya sudah menunggu. Tanpa mengangkat panggilan tersebut, Diandra bergegas mengenakan sepatu dan keluar ruang ganti sekaligus loker tersebut.
**
Zahra mengajak Adel minum es dawet sepulang sekolah. Sejak tadi, bocah berkacamata itu terlihat memikirkan sesuatu. Bahkan sempat mendapat teguran guru karena tidak menghiraukan panggilan absensi.
"Mau pakai tape ketan nggak?" tawar Zahra. Adel menggeleng. Ia tidak suka tape, selain rasanya asam dan terlalu manis, perutnya jadi panas dan diare.
"Makasih, Ra." Adel langsung menyendoki es beraroma nangka tersebut.
"Iya. Kamu kenapa? Apa ada kejadian aneh lagi?" selidik Zahra.
"Nggak ada. Hanya saja aku penasaran dengan kunci yang ditemukan Mbak Vika," tukas Adel dengan dahi mengkerut.
"Kunci? Kunci apa?"
"Kunci pintu biasa. Hanya saja, setelah aku posting di medsos, ada dua orang yang mencari kunci tersebut. Sepertinya orang suruhan."
Zahra memainkan es batu di mangkuk es dawetnya. Sejak mengenal Adel, ia yang membenci pekerjaan ayahnya, perlahan mulai menyukai dan timbul perasaan kagum.
Ya, dulu ia sangat tidak suka jika ayahnya mulai menangani kasus-kasus berat. Bahkan pernah berkelahi dengan perampok, yang menyebabkan tangannya luka parah dan dirawat di rumah sakit. Lalu yang paling Zahra tidak suka, kamar kerjanya penuh foto-foto mengerikan. Ia heran, kenapa polisi suka mengambil foto jenazah, lokasi kecelakaan yang penuh darah, dan hal mengerikan lainnya.
Namun, di kelas dua, kedatangan Adel--murid pindahan dari Jakarta, merubah segalanya. Gayanya yang terkesan cuek, memakai kacamata, dan selalu membawa buku kecil ke mana-mana membuatnya kagum.
"Mau coba tanya ayahku? Biar aku bantu," usul Zahra. Adel menggeleng.
"Nggak apa-apa. Aku pengen tau dulu, seberapa banyak orang yang menginginkan kunci itu."
Zahra terdiam. Ia tidak bisa memaksa Adel jika memang itu keinginannya. Tapi ia khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan sahabatnya tersebut.
"Hai, bocah!" seru sebuah suara dari arah belakang. Adel menoleh, ia kenal suara itu.
"Mbak Vika? Ngapain di sini?"
Vika melangkahi bangku panjang tempat kedua bocah SD tersebut minum es.
"Traktir, dong. Haus nih," ujar Vika menggosok tenggorokannya.
"Adel nggak ada uang," sahut Adel ketus. Vika pun melirik Zahra.
"Iya ... iya. Mau berapa?" Zahra yang paham siapa gadis berambut pirang itu pun memanggil bapak penjual yang sedang mengelap mangkuk.
"Satu aja. Makasih, ya," cengir Vika dibalik masker hitamnya.
"Belum masuk sekolah?" tanya Adel melihat jaket jins yang dikenakan Vika.
"Belum. Mau hilangin bekas luka ini dulu," jawab Vika santai.
"Tapi, bukannya butuh waktu lama?"
"Ya, biarin. Oh ya, aku baru aja naruh kunci yang kamu kasih kemarin di perempatan tempat sosok itu menyerangku," ucap Vika sambil menyendok es batu ke mulutnya.
"Terus?"
"Ya nggak ada apa-apa. Mana mungkin ia muncul begitu aja. Eh tapi, kamu nggak apa-apa pegang kunci itu? Kalau dia sadar yang kukasih bukan kunci aslinya gimana?"
Adel meringis sambil membenarkan kacamatanya. "Itu kunci aslinya, kok."
"Hahh? Katanya kamu mau menyelidiki?" sungut Vika.
"Pakai ini, dong." Adel menunjuk kepalanya. "Udah kuduplikat. Jadi, kalau ada apa-apa aku masih punya kunci duplikatnya."
Vika melongo. Ia terlalu meremehkan bocah 9 tahun tersebut.
"Hebat juga kamu. Eh, kalau punya rencana keren bilang aku, ya. Aku jadi penasaran, siapa sosok itu sebenarnya. Gara-gara dia, aku harus pakai masker ini ke mana-mana," dengkus Vika. Adel terkekeh. Membayangkan berkolaborasi dengan gadis urakan itu, rasanya sangat lucu. Apalagi jika digabung dengan Diandra. Udah seperti tiga bersaudara pencari harta karun.
"Del, ajakin aku juga, dong. Eh tapi, jangan ke rumah berhantu itu. Serem," gidik Zahra.
"Rumah hantu?" Vika mengangkat alisnya.
"Rumah Mbak Sandra maksudnya. Adiknya bernama Sandria, meninggal bunuh diri, terus kata orang-orang jadi hantu," jelas Adel.
"Sandra ...? Maksud kamu siswi SMA 6?" tanya Vika heran.
"Iya. Kenal?"
"Nggak. Cuma waktu itu liat di medsos dia bertengkar dengan ketua geng di kelasnya."
"Apa karena itu, Mbak Vika jadi ikut-ikutan mem-viral-kan teman Mbak yang di-bully?" cibir Adel. Vika mendelik.
"Bukan. Tapi gadis munafik itu memang pantas diperlakukan begitu. Dia seperti ular dalam selimut. Tak terlihat namun berbahaya. Lagaknya aja pendiam, tapi diamnya itu menghanyutkan," geram Vika.
"Memangnya dia berbuat apa? Cuma menggoda pacar Mbak, kan?"
"Hahh. Aku nggak punya pacar, kali. Dia menggoda suami kakakku. Kakak sepupu, tepatnya tapi sudah kuanggap kakak kandung. Makanya aku emosi. Udahlah, anak kecil nggak perlu tau urusan percintaan," ketus Vika.
Adel mendecak kesal. Ia menghabiskan es dawetnya dan berniat segera pulang.
"Eh, tunggu! Tadi kamu bilang, 'kalau ada apa-apa' itu maksudnya gimana? Kayak tau aja bakal terjadi sesuatu. Jangan bikin merinding, dong," gerutu Vika. Adel menggedikkan bahu. Ia pun tidak yakin posisinya sedang aman dan baik-baik saja. Karena tadi malam ada pesan masuk dari nomor tak dikenal di ponsel Diandra, yang sengaja ia buka lalu langsung hapus. Isinya berupa ancaman.
***