Kaki jenjang itu melangkah dengan kuat dilantai marmer sehingga membuat suara dibawah sepatu high heels miliknya. Perasaan gelisah tertuju pada dimana Javi berada. Ia terbang sesuai jadwal tapi terpaksa dibatalkan karena Javi sudah ada di Indonesia. Beberapa minggu tak ada kabar dan kedatangannya tak ada yang menunggu, bikin kesal setengah mati.
Dress maroon yang dikenakannya menempel ketat bagai kulit kedua. Setiap gesekan memancarkan arogansi sang pemilik yang tak lain nyonya besar kedua. Ia baru ingat seharusnya ia bertemu dengan kelinci putih tapi harus menemui Javi lebih dulu. Bukankah seharusnya Javi bersama kelinci putih, mengapa ada di Indonesia, pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepalanya hingga mau pecah.
Kerutan di wajahnya bertambah dalam saat menginjakkan kaki dirumah miliknya, tak ada satupun pelayan yang mau membuka mulutnya dimana Javi berada. Semua pelayan kompak mengelak dan mengelengkan kepala. Perlahan-lahan ia perhatikan, pelayannya wanita semua dengan penampilan seksi dan dada yang mau tumpah ke jalan. Kepalanya pening seketika. Ia benci penipuan dibelakangnya.
"Jika ada dari kalian yang tidak mengatakan sesungguhnya saat ini juga! jangan harap kalian semua masih bisa berkerja dirumah ini!" bentaknya kasar.
Tangannya membuka kenop pintu, kaget luar biasa saat dilihatnya batang berbiji keluar masuk dengan gagah di tempat yang seharusnya miliknya.
Bum....
Javi loncat seketika mendengar suara pintu dibanting. Wajahnya pucat pasi. Wanita pelayan ikut terkejut hingga berdiri di sampingnya tanpa mengenakan apa-apa.
"Manusia laknat! apa yang kamu lakukan disini, hah! kamu pikir aku tak tahu!" bentaknya kesal. Tas tangan mahal dilemparnya kearah Javi. Perlu 5menit, Javi menyadari apa yang terjadi. Javi melirik ke arah bawahnya yang menggantung (sangat menjijikkan, author skip).
Entah bagaimana nyonya besar kedua teriak kesal bercampur kesakitan ketika Javi membabi buta memukuli dan membuatnya tak berdaya melawan kemarahan Javi. "Kamu perlu dihukum! Aku paling kesal jika di ganggu saat bercinta di puncak!" bentak Javi terus bergerak memukuli. Tangannya menarik nyonya besar kedua ke arah kamar mandi, "Kamu disini dulu, jangan nganggu. Kalau aku mendengar suaramu sedikit saja! kamu mati!" ancamnya melemparkan tubuh nyonya besar kedua di lantai kamar mandi.
Pukulan demi pukulan diterima di sekujur tubuh nyonya besar kedua. Wajahnya bengkak, matanya lebam. Perutnya sakit bahkan bibirnya pecah ditambah bagian bawah mengucur darah segar. Rambut yang tertata rapi sudah tak berwujud lagi. Nyonya besar diam membisu, menangis hanya akan membuatnya bertambah sakit di badan dan juga hatinya.
Ini bukan pertama kali ia diperlakukan seperti ini oleh Javi. Rasa sakit dihatinya kembali terbuka. Nyonya besar kedua terbaring tak berdaya dilantai kamar mandi, tangannya bergetar mengusap air mata yang tak sengaja turun. Ia bergerak untuk duduk bersandar di bathtub. Setelah ditarik Javi ke dalamnya, Ia dikunci dari luar.
Wanita pelayan ditarik lagi untuk melayani Javi. "Ah..." teriak puas saat dipuncak. Javi tak peduli bahkan seakan lupa siapa yang baru saja dipukuli olehnya. Tambang emasnya tergeletak nyaris tak sadarkan diri. Ditepuknya pelan pantat wanita pelayannya. "Keluarlah, aku masih ada urusan dengan jalang di kamar mandi. Siapkan makanan yang enak untuk kami disini" perintahnya. Cepat-cepat wanita pelayan kabur, di kepala bersyukur bisa lepas dari tangan Javi.
Javi menyambar celana panjang dan memakainya. Dituangkan minuman keras di gelas sloki. Wajahnya terasa segar.
klik...
Javi masuk kedalam kamar mandi. Ia tersenyum lebar dan penuh kasih. "Sayang, maafkan aku. Sakit tidak? sebentar" katanya penuh penyesalan. Diangkatnya tubuh nyonya besar kedua dengan kasih sayang. Dibaringkan diatas ranjang, tangannya mengobati dengan peralatan P3K di laci yang baru saja diambilnya. "Kamu tahu aku tak suka diganggu, mengapa kamu melakukan ini? Kita sudah bersama puluhan tahun. Untuk apa cemburu? aku tak pernah cemburu jika kamu berada dalam pelukan tuan besar" ucapnya tenang sambil menatapnya tajam. Nyonya besar kedua diam saja, sesekali merintih kesakitan saat tangan Javi menyenggol bagian yang luka. "Apa kamu cemburu sayang? lagipula aku terlalu lama meninggalkan Indonesia, kamu tahu tak mudah mendapatkan lubang disana" keluhnya.
Wanita pelayan yang tadi digagahi Javi datang membawa troli makanan ke hadapan mereka berdua. Javi menarik wanita itu duduk di pangkuannya. "Cemburu sayang? katakan kamu keberatan aku melakukan ini?" tanya Javi sambil mencium kasar wanita pelayan tersebut.
"Tidak aku tidak cemburu. Aku hanya kaget, itu saja. Lakukan saja, aku tak masalah" jawab nyonya besar kedua. Javi melepaskan ciumannya dan mendorong wanita pelayan itu kesamping. "Keluarlah! jangan ada yang menganggu kami!" perintahnya kesal. Javi merasa kesal mendengar jawaban nyonya besar kedua, bagaimana bisa ia mengatakan tak cemburu, bukankah harusnya ia marah dan cemburu, tidak....tidak....tambang emasnya tak boleh lepas dari tangannya sampai kapanpun. Wanita pelayan secepatnya keluar, ia tak mau menjadi sasaran Javi.
"Dimana kelinci putih?" tanyanya pelan, bibirnya perih. Tangan Javi meraih mangkuk berisi sup panas. "Makan. Kita bicarakan tentang kelinci putih setelah kamu sehat" jawab Javi dengan sikap menantang kepada nyonya besar kedua untuk membantah.
Mengetahui hal itu, nyonya besar kedua membuka mulutnya untuk sendok yang dipegang Javi, suapan pertama diberikan hati-hati. Nyonya besar kedua tak mau berkata apapun daripada mati konyol dengan luka terbakar dari sup panas.
Javi sering memainkan drama kemarahan manipulatif di hadapan nyonya besar kedua untuk membuatnya merasa bersalah dan tidak berdaya tanpanya.
"Kamu tahu umurmu tak lagi muda. Siapa yang mau denganmu. Ingatlah kita mempunyai kelinci putih, tak mungkin kamu mau di hakimi kelinci putih. Lihat baik-baik, keuangan kita nyaris habis jika tak melakukan apapun dengan tuan besar, mau kemana kita setelah ini. Jangan bermimpi banyak-banyak" ucapnya lembut sambil meletakkan mangkuk kosong di atas troli makanan.
Tangan Javi mengelus pelan rambut nyonya besar kedua yang berantakan dan kaku. "Beristirahatlah. Kamu harus sehat nanti malam, kita sudah lama tak melakukannya." katanya bangkit berdiri lalu berjalan keluar dari kamarnya. Javi tersenyum sinis begitu pintu di tutup. Tangannya terkepal. Ia merasakan perubahan dalam diri nyonya besar kedua ketika memukulinya. Siapa yang berani membuatnya berani melawannya. Tambang emasnya berniat macam-macam. Kakinya melangkah ke ruang tamu, diraihnya ponsel untuk menelpon ayahnya di puncak. Berulangkali menelpon tapi tak ada sautan, ia tak suka ini. Ada yang tak beres. Cepat-cepat ia keluar menuju garasi, ia segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah ayahnya.
Mendengar suara mobil menjauh dari rumah, nyonya besar kedua bergerak ke kamar mandi dengan susah payah, ia ingin membersihkan diri sebelum Javi pulang. Ia harus cepat. Rasa sakit diabaikan. Selama mandi ditahannya air mata jika tak ingin bertambah bengkak.
Keluar kamar mandi, suara ponsel berdering. Matanya meneliti dimana tasnya. Ditelusuri kamar tapi tak dilihatnya sama sekali. Panik, ia tak mau menjadi korban pemukulan berikutnya oleh Javi jika tak ditemukan. Ketika akhirnya menemukan, ponsel tersebut diam membisu. Tangannya gemetaran membuka layar ponsel, matanya membaca sederet nama yang menelponnya dan notifikasi yang masuk.
Syok. Matanya nanar membaca nama ayah Javi menelponnya. Cepat-cepat ia menelpon balik. Tak ada sautan dan itu berarti Javi sedang kesana. Iapun mondar-mandir di atas karpet, seharusnya ia tak membuat keputusan mengeluarkan ayah Javi dari rumahnya. Javi akan marah membabi buta padanya dan ia akan disalahkan lebih lagi. Apa yang harus ia lakukan. Haruskah ia merayunya dengan segala macam cara. Rasa bersalah mulai datang silih berganti mengingat ayah Javi sudah tua dan dirinya yang jadi penopang financial mereka. Nyonya besar kedua duduk di pinggir ranjang menunggu Javi, dalam hati.
Selintas rencana dan nyonya besar kedua tertawa terbahak-bahak. Ia bukan tak tahu drama manipulatif yang dimainkan Javi tapi ia memang sengaja memicunya untuk menyingkirkan Javi ke puncak. Sempurna dengan kesibukan Javi di puncak, ia dapat bebas melakukan apapun disini.