Lena mendesah malas ketika merasakan kejenuhan melanda dirinya, sedikit lebay mengingat semuanya terjamin sudah disediakan entah oleh siapa.
Kepala pelayan melihatnya dengan tatapan mata intens. Takut, jika Lena membutuhkan sesuatu dan ia tidak keburu memberikan.
"Kapan aku bisa keluar dari sini?" tanya Lena menatapnya dari tempat ia duduk sementara kepala pelayan sekitar 5 kaki jaraknya dari dirinya. "Maaf nyonya besar kedua, itu tidak diperbolehkan untuk pulang" jawabnya santun. Alis Lena menyatu bingung. "Apa maksudmu, aku tidak bisa pulang dari sini?"tanya Lena memicu pertengkaran, beberapa hari sudah berada dirumah ini dan entah dimana. Awalnya tak keberatan tapi lama-lama Lena merasakan kejanggalan disana sini. Kepala pelayan melihatnya dengan pandangan hormat. "Tuan besar meminta Nyonya besar kedua untuk menikmati fasilitas dan liburan ini sebagai hadiah kompensasi karena tidak dapat menemani untuk sementara waktu"jawab kepala pelayan. Kening Lena mengerut tidak mengerti sama sekali, mengapa di panggil dengan nyonya besar kedua. Bukankah itu panggilan untuk ibunya.
Lena bergerak menghampiri kepala pelayan. Melihat hal itu, kepala pelayan waspada. Tidak ada yang lebih menakutkan melihat wanita yang marah daripada tuan besar mengamuk karena ke-dua nya tak ada yang memberikan jalan keluar.
"Mengapa kamu memanggil aku dengan sebutan nyonya besar kedua? siapa tuan mu?" tanya Lena begitu di depannya. "Tuan besar yang meminta semua orang di mansion ini menyebutkan demikian. Mengenai nama tuan besar. Nyonya besar kedua bisa menanyakan langsung kepadanya" jawab kepala pelayan lega mengetahui tuan besar bersender santai di kusen pintu menghadap mereka berdua. Tentunya Lena tak mengetahui itu.
Tuan besar memberikan isyarat kepada kepala pelayan untuk segera meninggalkan mereka. Kepala pelayan membungkuk sebentar lalu pergi. Lena kaget melihatnya mendadak pergi. "Hei mau kemana!" teriaknya kencang tak terima.
Sebuah tangan tiba-tiba melingkar di pinggang Lena, terkejut. "Siapa!" teriak kesal sekaligus merinding karena hembusan di lehernya. "Mengapa kamu berteriak seperti ini?" tanyanya lembut mengecup leher Lena. Tak ingin terbawa suasana Lena menyodok perut orang dibelakangnya tapi bukannya mengenai malah Lena berbalik menghadapnya dan bibir orang tersebut menciumnya cepat.
"Um..." desah spontan Lena saat lidah tuan besar menyapu langit-langit mulutnya. Ia tak pernah tahu jika bagian mulutnya sensitif. Tuan besar melepaskan begitu Lena kesulitan bernafas.
Nafas Lena tersengal-senggal menghirup udara sebanyak-banyaknya. Tuan besar menyengir melihatnya tapi tak melepaskan dekapannya, terasa sempurna dan pas. "Apa...yang kamu lakukan! ka--mu." Lena tak jadi meneruskan ketika wajah tuan besar mendekat. "Berteriak sekali berarti cium sekali. Mengomel sekali berarti French kiss. Mengumpat berarti kamu menginginkan aku berada di dalam tubuhmu" katanya sensual dan sukses menyebabkan Lena terdiam tak mengatakan apa-apa.
"Dengarkan aku, Lena. Maafkan aku terpaksa membawamu kemari karena ibumu sepertinya tak menyadari kalau kamu tak ad di Paris atau dimanapun kecuali ayahmu yang kelimpungan mencari mu" Tuan besar pelan menarik Lena masuk lebih dalam pelukannya dan berjalan mengarah ke sofa terdekat.
"Aku berharap ibumu mau berpisah denganku baik-baik. Jika tidak, jangan salahkan aku bertindak jauh diluar nalar pikiran kecilmu." Tuan besar mengancam tidak hanya dengan ucapan tapi gestur tubuhnya yang menggoda Lena.
"Kamu! Bagaimana bisa?" tanya Lena tak mengerti. Tuan besar mengerutkan keningnya melihat wajah bingung Lena. "Dengarkan perkataan aku baik-baik sekali lagi Lena. Aku dan ibumu tak pernah menikah. Jadi, kami tak mempunyai hak satu sama lain. Jika, kamu mau bertanya tentang mengapa ayahmu tidak menikahi ibumu, sebaiknya kamu tanya sendiri" jawab tuan besar mengecup pelipis Lena. Terlalu syok hingga tak sadar, Lena duduk di pangkuan tuan besar dan menyandarkan kepala di dadanya. "Ada banyak hal yang tidak kamu ketahui. Lebih baik untuk sementara waktu, kamu tinggal disini." bisiknya pelan, tuan besar mengeluh dalam hati ketika tanpa sengaja Lena bergeser menyebabkan gesekan yang membuat junior kecilnya menggeliat.
Lena tenggadah menatap wajah tuan besar. "Apa yang aku dapatkan disini? aku seharusnya tidak disini, bukan? aku harusnya melanjutkan sekolah" ucapnya penuh perasaan yang terombang-ambing antara syok, bahagia atau takut. Perasaan Lena berantakan sejak mendengar perkataan tuan besar kepadanya. Otaknya tak dapat mencerna satupun yang mungkin ia sadari dari instingnya untuk kabur sesegera mungkin dari tuan besar.
Tonjolan milik tuan besar menyentuh sisi luar yang dibatasi kain rok dipakai Lena. Tuan besar menarik nafasnya dalam-dalam, tak mungkin ia melakukan kecerobohan sepihak. Ia menginginkan Lena seutuhnya tanpa ada yang merasa dirugikan atau dimanfaatkan.
"Lena. Jangan melihat seperti itu. Aku tak bisa menahan lebih lama" ucapnya dengan suara serak. Wajah Lena berubah merah seperti tomat matang. Cepat-cepat Lena loncat berdiri. Berpura-pura tak tahu apa yang dilihatnya karena jujur saja tonjolan tersebut mengundang minat Lena yang tak pernah mengenal apa itu.
Tuan besar tersenyum saja. Biar bagaimanapun, ada perasaan bangga juga jika mendapatkan seorang perawan yang bisa menghangatkan ranjangnya yang dingin selama ini.
"Aku ingin keluar" kata Lena berusaha mengalihkan apa yang muncul di kepala dengan sesuatu yang diinginkannya. Tuan besar bangkit dari duduknya, ia menegakkan badannya sehingga terlihat mengintimidasi Lena.
"Bukankah tadi aku sudah katakan berulang ulang untuk mendengarkan perkataan ku?" tegasnya lalu melangkah meninggalkan Lena begitu saja.
Lena melongo melihat tuan besar seenaknya pergi dari hadapannya. Buru-buru ia mengejarnya tetapi bingung ketika kehilangan dirinya di persimpangan jalan koridor mansion. Diam-diam ia mengutuk pembuat mansion ini yang sengaja membuatnya kesusahan mencari jalan keluar ataupun ke tempat yang ia mau tanpa bantuan kepala pelayan.
Tiba-tiba. "Nyonya besar kedua, saya antar anda ke kamar utama. Saya nyakin nyonya besar kedua lelah setelah berlarian mengejar tuan" ucapnya dengan tangan menunjuk arah dimana kamar utama berada. Wajah Lena berubah kesal. Ia merasa di penjara. Kakinya melangkah mengikuti kepala pelayan yang berjalan mendahului dirinya.
Dalam hati, ia berjanji akan menghafal semua ruangan di mansion ini. Lena tak pernah tahu kalau mansion ini dibangun bagaikan labirin. Ada dua orang yang mengetahui pasti bagaimana mansion ini dibangun. Tuan besar sendiri tak terlalu tahu pasti, apa saja yang ada di mansion ini.
Tuan besar menarik cerutunya ketika Exsclamente menelponnya dan memberikan kabar mengenai putranya Morgan. Sumpah serapahnya keluar seperti air keran yang tak pernah mati. Kekesalan bertambah ketika tahu Shizuru hamil dan Morgan belum bisa meresmikan apapun hubungan mereka berdua.
Tidak ayah maupun anak tetaplah sama selera dan tujuan. Tuan besar memijit kepalanya lalu menyalakan cerutunya. Otaknya berfikir keras tentang Shizuru. Dari laporan yang ia terima maka tak ayal Shizuru dalam waktu dekat akan mengunjungi dirinya, itu berarti ia harus memindahkan Lena ke tempat lain.
Mansion Zai. Dibangun oleh mendiang istrinya dan ibu Shizuru. Tuan besar nyakin Shizuru tahu cetak biru dimana letak penghubung mansion dan dunia luar. Ia ingat perkataan mendiang istrinya atau tepatnya nyonya besar pertama.
"Hidup terlalu singkat untuk dibuat serius. Bersenang-senang sedikit tak membuatmu mati cepat" Tuan besar menyeringai sambil menghembuskan asap rokok ke udara. Tak ada yang dapat menghentikan Shizuru kecuali Morgan Zai dan ia harus memperingatkan anaknya untuk berhenti bermain-main.
Lena berjalan mondar-mandir di karpet kamarnya. Ia berusaha mengingat semua perkataan demi perkataan tuan besar yang rasanya ada yang salah disini. Ia harus keluar tapi bagaimana? ia tak begitu tahu tentang tempat ini. Beberapa hari tak membuatnya memahami letak semua jalan atau ruangan.
Keningnya seperti ada yang memukul ketika menoleh, ia terkejut melihat wanita cantik dengan rambut panjang berbaring di ranjangnya. Diusapnya pelan keningnya yang terasa nyeri seperti dilempar sesuatu. Dicarinya barang yang menimpuk keningnya tapi tak ada.
"Butuh bantuan?" tanyanya santai sambil melihat langit-langit. Lena mendekati wanita itu dan duduk di sofa kecil dekat ranjang. "Siapa kamu?" tanyanya kesal. Namun, wanita itu menempelkan jarinya ke bibirnya sebagai isyarat Lena tidak mengatakan keras-keras.
"Diam. Dinding bisa bicara" ucapnya mengedipkan mata lalu kembali berbaring menatap langit kamar.