Gladys mulai sadar dari pengaruh obat bius. "Uh..." ucapnya tapi tak ada yang merespon. Terlintas perlakuan Jordan kepadanya. Terasa sakit sekali. Rasa sakit dihatinya lebih terasa dibandingkan sakit di bagian vital miliknya. Wajahnya berubah muram. Disampingnya ada ibu yang menangis dan ayahnya berdiri menatap sesuatu diluar jendela kamar rumah sakit, entah apa itu.
"Kamu baik-baik saja Gladys dengan ini? Kamu terlalu ceroboh!". Suaranya terdengar marah tapi tertahan, ia ingat saat ini berada dimana.
Gladys mengeryitkan keningnya, ayahnya tak menolehkan kepalanya bahkan lebih tertarik melihat ke luar jendela daripada melihatnya. Ada batu besar menghantam hatinya dengan kuat, sulit untuknya bernafas. Kondisinya sudah seperti ini dan ayahnya masih menuntut. Diliriknya sekali lagi kearah ibunya, tak ada pergerakan membuatnya tenang tapi benarkah itu air mata asli ataukah buaya. Ibunya tak pernah menangisi dirinya kecuali kabar kebangkrutan perusahaan milik ayahnya beberapa tahun lalu.
Ayah Gladys tak terima tapi tanpa kekuatan finansial dari keluarga Jordan dipastikan perusahaan milik mereka di Indonesia, collapse. Tak perlu memberitahu apa yang terjadi dengan kondisi Gladys, ayahnya sudah mengkonfrontasi dengan fakta kebangkrutan perusahaan. Kepalanya pusing memikirkan jalan keluar dari masalahnya, itu berarti ia tak dapat lagi bersenang-senang diluar sana.
"Kamu harus tahu Gladys, laki-laki diluar sana senang bermain tapi ia akan kembali pada wanitanya. Bodoh! Seharusnya kamu bermain cantik jika ingin bermain dengan orang lain" sungut ayahnya marah sambil mengebrak kaca. Untungnya tak pecah.
Gladys diam di atas ranjang rumah sakit berusaha menahan sakit. Air matanya berlinang membasahi semua permukaan yang dilewati. Dadanya bertambah sesak. Ibunya mengambil tangan Gladys lalu menepuk tangannya lembut. Enggan menoleh tetapi terpaksa dilakukan kearahnya. "Maafkan kami ya, nak. Kami pikir kamu akan bahagia dengannya tapi kami tak menduga, dia akan melakukan ini padamu. Itu rusak parah. Jadi, kamu harus lebih berhati-hati, kamu tak ingin bertambah parah jika mengunakannya tidak hati-hati." ucap ibunya hati-hati, takut menyinggung perasaan Gladys. Ia sendiri bagaimana bisa Gladys tidak bisa menjaga dirinya sendiri sehingga mengalami nasib jelek.
Wajah Gladys memucat mendengarnya, ia pikir rasa sakit yang ia rasakan dibalik perban hanyalah operasi biasa. "Apa maksud ibu?" tanyanya pelan. Ada rasa khawatir di suaranya. "Tidak ada. Nanti dokter datang untuk memeriksa dan memberitahu. Ibu juga tidak begitu mengerti" elaknya sebelum Gladys bertanya lebih jauh. Ibunya bangkit mengambil makanan di meja dorong pasien. "Makanlah dulu. Tidak usah pikirkan hal lainnya." katanya meletakkan makanan diatas lemari kecil dekat ranjang rumah sakit.
"Kamu tidak ingin membalas perlakuan Jordan, Gladys?" tanya ayahnya berbalik. Anak satu-satunya, kebanggaan miliknya harus dipaksa melayani hal yang tak masuk akal hingga masuk rumah sakit. "Nanti saja dibicarakan, sekarang biarkan Gladys makan dulu" ujar ibunya tak membiarkan Gladys menjawab dengan menyodorkan makanan kearahnya. Mau tak mau Gladys membuka mulutnya. Ia berusaha menggeser badannya pelan dibantu ibunya. "Apa yang kamu tahu, hah! Kamu hanya tahu bagaimana caranya menghamburkan uang saja. Dasar wanita tak berguna!" teriaknya marah. Pintu kamar inap dibanting keras membuat Gladys dan ibunya terlonjak kaget.
Decak marah dan gerutu ayahnya pergi dari kamar inap Gladys masih terdengar, kebetulan suasana lorong kamar sepi. Terlalu sakit melihat kondisi perusahaan yang dirintisnya bertahun-tahun harus hancur karena kebodohan Gladys. Seharusnya Gladys lebih berhati-hati jika begini, bagaimana masa depannya di hari tua. Suara notifikasi bermunculan dari beberapa pemegang saham yang mempertanyakan mengapa dana yang diberikan keluarga Jordan ditarik besar-besaran.
Ayah Gladys tak terima, buru-buru ia mengambil mobilnya di parkiran rumah sakit menuju kantor Jordan tapi sesampainya di sana ia harus kecewa karena Jordan tak ada. Mobilnya melaju menuju wanita simpanannya. Terlalu marah dan kecewa membuatnya butuh udara segar.
Gladys berusaha tenang melihat ibunya mulai bersiap-siap untuk meninggalkan dirinya. "Ibu pulang dulu. Jangan terlalu di pikirkan ayahmu"ucapnya lembut sebelum pergi. Pintu ditutup perlahan supaya Gladys bisa beristirahat. Wajah ibunya perlahan berubah. Diambilnya kacamata hitam kesayangannya kemudian dipasang di wajahnya. Senyum sinis terlihat dengan jelas. "Dasar anak tak berguna. Capek-capek mengurusnya ternyata sampah" gerutunya dalam hati. Kakinya cepat berjalan menuju mobil kesayangan miliknya, ia ingin pulang. Semalaman berakting menjadi ibu yang baik, sangat melelahkan tapi sebelumnya ia ingin melakukan spa lebih dulu. Mungkin dengan spa bisa membuatnya lebih segar.
Setelah semuanya pergi dan sunyi, Gladys berusaha untuk duduk dengan susah payah. Sesekali meringis menahan sakit. Berkali-kali berusaha akhirnya ia bisa duduk walau tidak nyaman.
Ia perlu waktu untuk memikirkan semuanya. Ketidakpastian situasi sekarang ini bikin Gladys waspada. Orangtuanya tidak digenggamnya lagi. Sewaktu waktu mereka bisa membuangnya jika terdesak. Diraihnya ponsel di lemari samping. Tangannya menimbang-nimbang dulu sebelum mengetik sesuatu. Gladys membutuhkan orang kuat di belakangnya saat ini.
Pertama-tama dilihat dulu harga saham perusahaan ayahnya. Gladys terkejut melihatnya turun tajam. Keringat dingin dirasakannya. Jordan bersungguh-sungguh melepaskan dirinya. Apa yang harus dilakukannya. Di cek, deposito miliknya. Tak bisa untuk mencukupi hidupnya beberapa tahun. Rekening miliknya masih bisa untuk tiga bulan ke depan.
Pintu terbuka, suster masuk kedalam membawa beberapa perlengkapan di meja dorong. "Maaf waktunya mengganti perban dan ini biaya administrasi sebelumnya" katanya menyerahkan selembar kertas. Gladys bingung melihatnya. Angka fantastis tertoreh disana. "Apakah ibu atau ayahku tidak membayarkan?" tanyanya bingung. "Saya tidak tahu. Ini dititipkan dari bagian administrasi. Kalau mau dilanjutkan pengobatannya harap di bayar lebih dulu" jawabnya mulai menata perlengkapan yang diperlukan diatas meja dorong untuk memudahkan mengerjakan pekerjaannya.
Suster mendorong perlahan Gladys untuk berbaring. Kertas dan ponsel di letakkan di atas lemari samping. Suster mulai melakukan pekerjaannya dengan teliti dan seksama. Sesekali Gladys kesakitan ketika suster terlalu menekan lukanya. "Maaf" ujarnya berusaha lebih pelan lagi. Biar begitu, suster bertanya-tanya dalam hati, siapakah Gladys hingga memiliki luka seperti ini.
"Apa sebenarnya yang terjadi suster dengan lukaku? apa aku bisa bertemu dengan dokter?" tanyanya penuh harap setelah selesai. Suster mengembalikan semua perlengkapan kedalam kotak asalnya. Ia tersenyum lembut kearahnya. "Tentu saja. Dokter selalu datang untuk pemeriksaan setiap jam 4 sore sebelum periksa pasien lain di ruangannya" jelas suster membuang sampah perban kedalam tong sampah yang tersedia dibawah wastafel. "Saya keluar dulu. Mengenai tagihan itu..." tanyanya tak tega tapi mau bagaimana lagi. "Saya akan mengirimkan melalui m-banking. Dibawah tertera kemana saya harus mengirimkan" jawabnya cepat sebelum suster berubah pikiran. Suster hanya mengangguk lalu keluar kamar. Cepat tangannya meraih ponsel untuk segera mengirimkan uang ke dalam rekening rumah sakit. Bagaimanapun caranya ia harus sembuh dan keluar dari rumah sakit.
Kesunyian menyergap Gladys. Ponselnya terus berdering membuatnya mati karena kesal. Dimatikan suaranya. Ada kecemasan melihat ketidakpastian hidupnya kali ini. Ia tak tahu sampai dimana kerusakan yang dialaminya. Mengapa dokter sangat lama menemuinya? Benarkah aset berharga miliknya tidak dapat digunakan lagi? lalu, bagaimana keinginannya untuk memiliki anak suatu hari kelak. Pikiran Gladys terus berputar tanpa arah hingga obat yang diminumnya bekerja, memaksanya tidur tak bergerak seperti orang mati.