Chereads / The C Toxin / Chapter 35 - Critical

Chapter 35 - Critical

Locust 127, Emergency-ICU Room

Mayaguez, Puerto Rico

27 April 2016

08.10 A.M AST

Ten baru saja membuka matanya ketika sorot cahaya matahari menerobos masuk dari arah rimbunan pepohonan tropis menuju kaca jendela ruangan intensif darurat tempat Lalisa terbaring tak sadarkan diri semenjak kejadian meledaknya bioreaktor itu. Tanpa sadar, Ten terlelap disamping adik perempuannya itu semalaman.

Ten melihat wajah Lalisa lekat-lekat. Kecantikan wanita itu tertutup karena masker oksigen yang membantunya bernafas. Disampingnya monitor pendeteksi detak jantung itu terus menunjukan grafik berwarna hijau fluktuatif. Ten menghela nafas dalam, Ia merasa sedang menjadi kakak yang buruk, bahkan lebih buruk lagi.

Ponsel Ten kemudian bergetar.

Mom is calling ...

Ten kembali menghela nafas dalam-dalam, mengatur ekspresi wajah dan suaranya. Mengapa ibunya tepat sekali harus menelponnya di kondisi seperti ini. Bahkan terakhir mereka bertiga berbicara via telepon adalah saat malam natal tahun lalu, sampai Ten sedikit kaku untuk berbicara bahasa Thailand, bahasa kebangsaannya.

"Halo Bu," sapa Ten.

"Halo, bagaimana kabar kalian? Aku menghubungi Lalisa dan ponselnya tidak aktif," ujar Ibu Ten sedikit panik.

"Kami baik-baik saja, Lalisa sedang banyak urusan belakangan ini, mungkin ponselnya sedang mati," bohong Ten, "Bagaimana kabar Ayah, Ibu dan Adik?" lanjutnya.

"Ah syukurlah, lain kali jangan membuatku panik, paham?" ujar Ibu Ten lega. Ten hanya tersenyum miris mendengarnya.

"Ayah dan Ibu baik-baik saja, dan adikmu akan masuk universitas tahun ini, dia diterima di Seoul National University," ujarnya antusias.

Ten sedikit terkejut, namun segera mengatur ekspresinya kembali ke normal, "Oh benarkah? Sampaikan ucapkan selamat dariku dan Lalisa," ujarnya sembari tertawa ringan.

"Baiklah. Kapan kalian kembali? Ini sudah hampir 3 tahun,"

Ten terdiam sejenak. Ia memandang Lalisa yang masih terbaring tak berdaya diatas brangkar itu. Seketika rasa bersalah, bingung, dan sedih menyerang Ten.

"Ah itu ... Aku belum bisa memastikannya. Tapi yang jelas, kami akan kembali," ucap Ten. Ia tahu bahwa Ibunya pasti akan menanyakan ini.

"Baiklah, Aku percaya dengan apa yang kalian lakukan meskipun kalian tidak pernah membertitahuku penelitian apa yang kalian lakukan, dan Aku selalu yakin, itu pasti sesuatu yang hebat bukan? Bersemangatlah!" respon Ibu Ten dengan antusias. Seperti biasa, keluarga itu selalu mendukung penuh apa yang anggotanya lakukan.

"Terimakasih atas dukunganmu. Kalau begitu, Aku akan kembali bekerja. Salam untuk Ayah dan Adik," ujar Ten sebelum panggilan itu berakhir.

Ten kembali ke samping Lalisa, merapikan selimutnya yang sedikit acak-acakan akibat pergerakan dirinya saat tidur. Ia kemudian mengambil tissue pembersih di laci samping brankar itu, membersihkan dahi dan tangan Lalisa perlahan-lahan.

"Hey, apakah Kau tidak ingin bangun? Ibu menanyaimu, Adik kita akan segera masuk universitas," ujar Ten sembari tersenyum, "Kau pasti ingin menggodanya bukan?" lanjutnya.

Tidak ada respon dari wanita dihadapannya. Matanya tertutup rapat, jarinya tidak bergerak barang 1 milimeter pun.

Ten mengusap dahi Lalisa lembut, "Seharusnya Kau tidak disana, mengapa Kau ke ruangan itu setiap saat?"

"Dan Kau tahu ... benda yang kita buat belum memiliki penawar, obat, dan semacamnya," ujar Ten lemah, "Kau membuatku harus bekerja sangat keras dengan meninggalkanku sendirian, Lis," lanjutnya.

Tiba-tiba sensor aktivitas jantung itu berbunyi. Ten segera memeriksanya, tampak grafik detak jantung adiknya itu drop signifikan, bahkan nyaris berhenti. Ia mengalami serangan jantung.

Ten panik, Ia menekan keras tombol disamping monitor yang terhubung dengan pengeras suara di seluruh mansion itu.

"Code blue ... code blue," bunyi sirine itu.

Ten lalu segera menyingkirkan selimut Lalisa, naik ke atas brankar itu lalu menekan dada adiknya. Ia melakukan tindakan CPR tanpa ragu.

Ten terus melakukan kompresi, tangannya tidak merasa lelah, sementara monitor disampingnya menunjukan detak jantung Lalisa yang muncul dan hilang.

"Ayo Lalisa! Jangan seperti ini," gumam Ten.

Dua orang kemudian membuka pintu keras sembari berlari, itu Daniel, dokter yang menangani Lalisa dan Sena, asistennya.

Daniel segera memeriksa kondisi Lalisa dengan cepat, "Tetap seperti itu! Siapkan defibrilatornya!" titahnya panik.

Sena segera mempersiapkan defibrilator seperti perintah Daniel, sementara Ten tetap memberikan kompresi.

"Berhenti!" titah Daniel pada Ten. Ia kemudian melepas masker oksigen, menonggakkan kepala Lalisa perlahan. Ia kembali memeriksa EKG, tidak ada respon. Ia membuka baju atasan Lalisa, lalu memasang beberapa elektroda disana.

"Defibrilator telah siap!" seru Sena. Daniel segera mengambil alih alat pacu jantung itu, menempelkannya di kanan dan kiri dada Lalisa. Ten segera turun dari brankar.

"CLEAR!" seru Daniel keras. Kejutan elektrik itu membuat dada Lalisa terangkat pelan. Daniel memeriksa EKG, tidak ada perubahan.

Semua orang di ruangan itu panik, terutama Ten.

"200 joule, charge!" seru Daniel lagi memerintahkan Sena meningkatkan tegangan, "Clear!"

Tubuh bagian atas Lalisa kembali terangkat ke atas, namun EKG nya masih belum berubah.

"Lalisa, ayolah!" gumam Daniel frustasi melihat rekannya itu, "360 joule, charge," lanjutnya. Sena segera memutar pengatur daya defibrilator sesuai perintah Daniel.

"CLEAR!"

Tubuh Lalisa terangkat cukup tinggi hingga bergeser, namun lagi-lagi EKG tidak menunjukan kembalinya denyut jantung. Daniel tidak menyerah, Ia segera melakukan kompresi.

Tak lama kemudian, bunyi monitor penunjuk EKG itu berubah. Beberapa puncak dan lembah terukir di grafik berwarna hijau itu. Daniel menghela nafas lega, begitu juga dengan Ten dan Sena.

"Dokter! Saturasi oksigen dan pasien menurun," seru Sena begitu memeriksa kondisi vital.

Daniel segera memeriksa Lalisa, "Siapkan ventilator," titahnya. Sena segera berlari ke sisi lain ruangan darurat itu, lalu kembali membawa ventilator.

Daniel segera melakukan intubasi. Perlahan Ia memasukan selang ke saluran pernafasan Lalisa, lalu menghubungkannya dengan alat bantu nafas.

"Bagaimana kondisi vitalnya?"

"Denyut jantung, saturasi oksigen kembali normal, namun laju pernafasannya sangat lemah," jawab Sena.

Daniel menghela nafas. Sementara itu Ten yang sedari tadi mengamati apa yang dilakukan Daniel dan Sena hanya bisa terdiam di tempat.

Daniel memeriksa Lalisa kembali, "Lalisa, Lalisa! Apa Kau mendengarku? Jika Kau mendengarku, buka matamu!" ucap Daniel keras untuk memeriksa respon mata Lalisa.

Tidak ada pergerakan mata dari pasiennya itu, Daniel memberikan rangsangan nyeri dengan menekan kuku Lalisa keras, dan masih sama, tidak ada pergerakan mata.

"Lalisa! Jika Kau mendengarku, gerakan jari!" perintahnya lagi, "Lalisa, gerakan anggota tubuhmu, appaun itu!" lanjutnya.

Sekali lagi Daniel menekan kuku jari Lalisa, memberikan cubitan kecil di lengannya, hasilnya sama, tidak ada respon motorik dari wanita itu.

"Dokter, pasien mengalami henti nafas!" seru Sena. Daniel dan Ten terkejut. Ten bahkan melangkah kedekat kepala adiknya itu, berusaha mengembalikan kesadaran Lalisa dengan memanggil namanya berulang-ulang.

Daniel menggunakan LED penlightnya dan memeriksa respon pupil Lalisa. Alih-alih mengecil akibat terkena cahaya, pupil mata itu justru tidak memberikan respon apapun.

"Berikan Aku kapas dan air dingin!" perintah Daniel. Sena segera berlari mengambil benda yang disebutkan Daniel.

Tak lama kemudian, Daniel membuka kelopak mata Lalisa, dan menyentuhkan kapas di kornea matanya. Tidak ada respon.

Daniel menghela nafas dalam, Ia mengambil air dingin dengan pipet, memiringkan kepala wanita itu, lalu mengalirkannya melalui telinga. Daniel berharap bola mata Lalisa akan bergerak merespon, namun nihil, tidak ada respon.

Daniel meletakan alat-alat yang sedari tadi dipegangnya, membuat Ten melihatnya dengan tajam, "Apa yang Kau lakukan? Mengapa Kau berhenti?" tanya Ten dengan nada tinggi.

"Apa dia masih mengalami henti nafas?" tanya Daniel pada Sena alih-alih menjawab pertanyaan Ten.

"Masih, saturasi oksigen semakin berkurang, dan detak jantungnya melemah," jawab Sena frustasi.

Daniel memejamkan matanya, "Siapkan instrumen EEG, dugaan sementara, Lalisa mengalami mati otak,"