🍁🍁🍁🍁
"APA-APAAN LO!"
Echa tak mampu lagi membendung amarah nya. Yang benar saja cowok sialan itu membawa nya ke sekolah lain.
"Gue mau lo jawab apa maksudnya ini?" Kesal Echa.
"Lo lupa omongan gue kemarin?"
"Lo gila yah," Echa meredam suara nya agar penghuni sekolah tak menjadikannya bahan tontonan.
"Elo ikuti apa mau gue atau el__"
"Atau apa? HA?!! Lo mau ancem gue lagi? Gak takut gue sama elo." Sergah Echa kemudian melangkah menjauh dari parkiran menuju gerbang utama.
"BALIK!!!ATAU GUE ANCURIN USAHA ORANG TUA ELO!" Teriak Raden namun Echa tak memperdulikan nya.
Echa tau sekarang ia menjadi bahan tontonan seluruh penghuni sekolah. Echa bagai titik dalam kanvas yang menarik untuk di pertontonkan.
Raden mengambil langkah lebar dan segera menyusul Echa.
"Gue gak main-main. Elo ikuti apa mau gue atau gue bener-bener ancurin usaha nyokap elo. Gue tau lo bukan orang berada," Cercah Raden setelah berhasil menggapai pergelangan tangan Echa.
Dada Echa terasa sesak mendengar kata-kata Raden. Sebegitu hina nya kah hidup nya sampai ia harus terikat dengan manusia sinting ini.
"Gue emang bukan orang berada tapi gue masih punya harga diri. NGERTI LO?!"
Echa ingin melangkah namun ia kalah cepat. Raden kembali menarik nya dan kali ini tak tanggung-tanggung, Raden nekat menggendong Echa layak nya karung beras. Teriakan Echa memenuhi koridor kelas, berkali-kali ia memaki bahkan menggigit bahu Raden namun pemuda itu tak berkutik sedikit pun.
"Den gila lo yah, anak orang kasian tuh!"
"Woy Raden lembut sikit kek sama cewek."
"Den cakep juga cewek lo,"
Seperti itu lah ungkapan para penghuni sekolah yang berpapasan dengan Raden. Mereka merasa asing dengan wajah Echa sekaligus kagum. Echa memang tak memiliki tubuh ideal namun paras nya sangat apik pipi bulat nya terpasang indah di kedua sisi wajah nya itu yang membuat Echa terlihat sangat menggemaskan.
"Weshh..... Santai bro!" Ujar Dion yang hampir bertabrakan dengan Raden di ambang pintu kelas.
"Minggir lo!" Ketus Raden.
Ini kesempatan bagi Echa karena Raden telah menghentikan langkah nya. Echa memberontak dan usaha nya membuahkan hasil, kaki nya berhasil menyentuh lantai.
"Bajingan!" Pekik Echa dan memukul Raden secara membabi-buta.
Seluruh penghuni kelas menyaksikan aksi Echa, mereka salut pada Echa yang berani menyentuh Raden sedangkan Dion? Pemuda itu memandangi wajah Echa dengan seksama. Pupil mata nya sempat membesar namun dengan segera ia menormalkan ekspresi nya.
"Lo bongkar lagi yah kuburan nya?" Ledek Dion.
Raden mencengkram kedua tangan Echa dan membuat gadis itu menghentikan kegilaan nya dan meringis kesakitan.
"Kunci mulut elo atau elo yang gue kunci di neraka!!" Sinis Raden.
Dion tetap lah Dion ia tak takut dengan Raden.
"Lain kali aja gue ngobrol sama elo, sekarang gue mau kekantin." Seru Dion dan segera meninggalkan kelas.
Sementara keributan telah sedikit usai penghuni kelas kembali pada aktivitas nya masing-masing dan Raden kembali menyeret Echa menuju kursi nya.
"Elo duduk disitu," Titah Raden.
"Ogah!!"Ketus Echa memalingkan wajahnya.
"Duduk Cha!" Ucap Raden dengan penekanan.
"Gak akan!!"
Brakk...
Raden mendorong Echa dan membuat penghuni kelas harus kembali memperhatikan mereka, sebagian dari mereka merasa iba pada Echa.
"Gue bilang duduk ya duduk!!"
Echa mengelus bokong nya yang sedikit nyeri akibat berbenturan dengan kaki meja dan akhirnya menyentu lantai.
"Gila lo yah," Lirih Echa.
Raden memandangi Echa dengan ekor mata nya sedikit kasihan dengan keadaan Echa.
"Duduk dan diam!!" Perintah nya setelah membantu Echa berdiri.
Echa hanya mengikuti ucapan Raden. Ia tak mau dipermalukan lagi seperti tadi.
Raden mendaratkan bokong nya diatas kursi. Ia memandangi Echa yang sedari tadi tetap diam.
"Sorry," Ucap nya dengan sangat pelan hingga orang-orang akan mengira bahwa Raden tengah berbisik pada diri nya sendiri.
Echa tak mendengarkan ucapan Raden ia memilih mengeluarkan buku tulis serta alat tulisnya.
Keheningan memeluk mereka hingga 10 menit kemudian Bell sekolah berdering yang menandakan kelas akan dimulai.
Pria separuh baya dengan perut yang sedikit membuncit tampak kesulitan membawa beberapa perlengkapan mengajarnya. Dia Pak Parman guru Bahasa Indonesia dikelas Raden. Meskipun usianya hampir kepala 5 namun tak membuat semangat mengajar nya luntur.
"Eh ada neng cantik. Murid baru yah?" Gurau guru tersebut.
Tak heran jika ia berkata begitu karena pak Parman termasuk guru yang friendly.
"Berdiri sini dekat bapak. Kenali diri kamu ke teman-teman," Pinta nya.
Echa hendak berdiri namun Raden mencekal pergelangan tangannya.
"Gak perlu pak ntar juga mereka kenal sendiri." Sahut Raden, ketus.
"Pacar kamu yah kok kamu over gitu?"
"Iyah," Sahut nya santai.
Penghuni kelas hanya ber-oo riah dan sebagian murid cewek menampilkan tampang tidak suka pada Echa.
"Enggak pakk.... Enak aja." Elak Echa cepat.
"Loh kok pacar nya gak ngaku sih Den."
"Bapak mau ngajar atau mau cerita?" Sergah Raden.
Skak mat. Pak Parman mengunci mulut nya, jika berbicara dengan Raden maka ia harus beristighfar.
"Oke kita mulai pelajaran kita dan kamu murid baru ikuti peraturan saya yah. Jangan tidur di saat saya menjelaskan."
Echa menganggukan kepalanya canggung.
*****
Keadaan kantin begitu ramai para murid berbondong-bondong untuk membeli makanan pilihan mereka. Setelah 3 jam melakukan pelajaran membuat cacing-cacing diperut mereka berdemo riah.
"Dit lo tau berita gak?" Ucap Randi sahabat karib Radit sedari SD. Pemuda dengan rambut coklat alami.
"Berita apa?" Sahut Radit ditengah kunyahan nya.
"Adek elo bopong-bopong cewek tadi pagi!" Ceritanya antusias.
"Serius lo?!!" Sahut Radit tak percaya.
"Ya iyah lah," dengan tampang datar.
"Lo liat sendiri?" Tanya Radit.
"Kagak. Gue denger dari anak-anak"
"Elah monyet lo. Kali aja tuh bohong" Ujar Radit tak mempercayai ucapan Randi.
"Lo tanyak aja sama anak-anak kalau gak percaya atau gak kita samperin tuh Raden biar kita kenalan juga sama cewek nya sapa tau cakep." Ucap nya antusias sembari menaik turun kan alisnya.
"Og___"
Brakk.....
"Lo ngapa sih susah amat diatur?!!"
Radit paham betul suara itu. Raden siapa lagi kali ini yang menjadi korbanya.
Radit melangkah mendekati kerumunan yang tak jauh dari tempat duduk nya.
"Dit tungguin!" Teriak Randi.
Penghuni kantin serta beberapa penjual ikut memperhatikan keributan itu. Ada yang sengaja merekam dan ada yang ingin membantu korban Raden.
"Gue cuma mau lo makan!" Bentak nya.
Echa adalah orang yang menjadi sasaran Raden. Saat Bell istirahat Raden memaksa Echa untuk kekantin namun gadis itu keras kepala dan menolak keinginan Raden.
Raden tetap lah Raden tak akan penolakan dalam kamus nya maka ia tetap memaksa Echa kekantin dan berakhir seperti ini.
"Gue gak mau makan lo ngerti gak sih?" Ucap Echa datar.
Urat tangan Raden nampak menonjol menandakan ia tengah menahan amarah nya. Makanan sudah berserakan dilantai akibat ulah Raden dan Echa tetap duduk dengan santai dikursi nya tanpa memperdulikan manusia-manusia yang mengerumuni nya.
"Makan Cha!!"
Tanpa diketahui siapa pun satu diantara belasan kerumunan tersebut ada pemuda yang menatap aneh pada Echa. Radit terkejut melihat gadis yang menjadi sasaran Raden. Meskipun hanya dari samping namun Radit hafal wajah itu.
"Dara," Gumam nya.
Radit memilih mundur dan masih tetap berkelut dengan isi kepala nya.
"Woi Dit. Ngapa?" Tanya Randi yang ingin tau tentang keributan itu.
"Ha enggak uda yuk cabut," Radit menyeret sahabatnya untuk menjauhi kantin ia masih belum bisa memastikan ini.
"KALIAN NGAPAIN.BUBAR!!" Serkas Raden pada mereka.
Echa masih setia pada kursi nya. Tubuh nya mematung tampak ia tengah membuang nafas seakan ia tak ingin merasakan udara memenuhi paru-paru nya lagi. Hati nya bergejolak ingin sekali ia menangis. Echa tak ingin memandang siapa pun ia hanya menatap lurus pada kumpulan murid yang mulai menjauhi nya sedangkan Raden? Ah peduli setan dengan pemuda itu. Echa tak ingin menatap nya.
"Bangun!!" Titah Raden dan diikuti oleh Echa layak nya robot yang mendapatkan perintah dari monitor.
Raden menggenggam tangan kanan Echa dan membawa nya keluar dari kantin. Langkah besar Raden sulit diikuti oleh Echa dan membuat gadis itu beberapa kali harus tersandung kaki nya sendiri namun mulut nya enggan mengucapkan kalimat bahkan sepatah pun.