Leon merasakan bahunya sudah mulai keram karena Ana masih tidur dengan tenangnya, Leon berniat memindahkan Ana tapi sayangnya saat Leon menggeserkan tubuh Ana, Ana justru bangun.
"Sorry See, gue gak maksud bangunin lo." Ujar Leon.
"Gak apa-apa, ini jam berapa?" Tanya Ana yang masih mengumpulkan kesadarannya.
"Jam 7." Balas Leon jujur.
"Ya ampun Lee, maaf lo pasti pegel banget ya." Ucap Ana merasa bersalah karena ia tertidur cukup lama.
"Eh gak apa-apa kok See, gue sekalian nemenin lo soalnya mama lo belum pulang." Balas Leon.
"Lo pulang aja sebentar lagi juga pasti mama gue pulang." Titah Ana.
"Gue di sini aja." Tolak Leon.
"Gue mau mandi dulu." Ucap Ana yang mendapat gelengan keras dari Leon.
"Loh kenapa emang?" Tanya Ana bingung.
"Udah malam See, gak bagus nanti lo sakit." Ujar Leon.
"Cuci muka sama sikat gigi aja baru gue bolehin." Sambungnya.
"Ck, iya iya bawel ah." Balas Ana pasrah.
Setelah Ana selesai membasuh wajah dan menyikat giginya tentu saja, ia kembali ke ruang tamu dan mendapati Leon yang sedang berbicara pada seseorang melalui ponselnya.
"Iya sebentar lagi gue pulang." Ujar Leon pada lawan bicaranya di telpon.
"Siapa?" Gumam Ana.
Ana sudah duduk di sofa sambil memperhatikan Leon yang masih berbicara pada ponselnya.
"Emm...anu See." Ucap Leon ragu-ragu.
"Anu apa?" Tanya Ana tak mengerti.
"Anuu..." Ulang Leon.
"Anu-anu apa sih Lee? Yang jelas ngomongnya." Tanya Ana kesal.
"Anu...See, Feby lagi di rumah gue terus minta gue pulang dia minta di antar belanja. Gak apa-apa kan kalau gue pulang?" Ujar Leon jujur.
Ana diam sejenak, sebenarnya ia kesal karena Leon lebih memilih menemani Feby berbelanja di banding menemani Ana di rumah menunggu mamanya tapi ya apa boleh buat Ana tidak berhak untuk melarang Leon.
"Oh yaudah." Jawab Ana sekenanya.
"Gak marah kan?" Tanya Leon memastikan.
"Enggak."
"Gak cemburu kan?" Tanya Leon sambil meledek.
"Gak ada hak." Balas Ana singkat, ya memang begitu kan kenyataannya.
Leon diam ia merutuki dirinya sendiri atas pertanyaan bodoh yang baru saja ia lontarkan dan jawaban Ana seolah sindiran sekaligus tamparan keras untuknya.
"Yaudah gue pulang. Lo hati-hati di rumah, jangan keluar ya titip salam juga buat mama lo." Pamit Leon.
"Iya lo juga hati-hati." Balas Ana dengan senyum hambarnya.
"Hati gue cuma punya lo." Ujar Leon membuat Ana mematung.
"Bercanda-bercanda." Sambung Leon sambil tertawa renyah.
Sial baru saja rasanya Ana di terbangkan tinggi-tinggi dan langsung di jatuhkan kepermukaan, sepersekian detik itu membuat dada Ana sesak.
Ana hanya menyunggingkan senyum membuat Leon berhenti tertawa, Leon tahu perkataanya tadi menyakiti Ana tapi menurutnya ini belum waktu yang tepat untuk Leon menyatakan apa yang ia rasakan.
"Yaudah gue pulang." Ujar Leon.
Ana mengangguk sambil tersenyum, Leon yang melihat senyum Ana merasa janggal, itu bukan senyum senang melainkan senyum menyembunyikan kekecewaan, apa separah itu ucapannya barusan pikirnya.
Leon bego banget sih lo. Umpat Leon pada dirinya sendiri.
-○-
Ana memasuki kamarnya ia masih ingat perkataan Leon tadi, mungkin terkesan berlebihan tapi itu menyesakkan menurut Ana. Harus berapa lama lagi Ana menunggu Leon? Harus berapa banyak waktu lagi yang ia habiskan untuk membuat Leon sadar akan perasaannya? Pertanyaan itu terlintas begitu saja di pikiran Ana.
Jika tahu jatuh cinta bisa serumit dan seaneh ini rasanya Ana tidak ingin jatuh cinta pada Leon waktu itu, ini bukan salahnya bukan pula salah Leon. Mungkin memang belum waktunya atau memang Leon yang bukan takdirnya?
Memikirkannya saja sudah membuat Ana pusing, jika Ana bisa Ana ingin sekali punya keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya tapi sayangnya nyalinya mendadak ciut jika sudah di hadapkan oleh Leon, seolah Leon adalah kelemahan sekaligus kekuatannya sekarang.
Ia jadi ingat dulu Leon itu dingin, cuek, dan galak padanya tapi lihat lah sekarang Leon jadi banyak omong, receh, dan kadang suka membual. Apakah Ana harus berhenti disini? Disaat Leon sudah mulai menunjukkan sikap aslinya pada Ana, rasanya perjuangannya akan terasa sia - sia. Ana lelah, tapi bukankah bukan berjuang namanya jika tidak merasakan lelah?
Ana memilih mendengarkan musik di ponselnya untuk membuang pikiran negatifnya.
-○-
Di lain tempat, Leon dan Feby sedang asik memainkan salah satu wahana yang ada di pasar malam. Tadinya memang Feby mengajak Leon untuk berbelanja tapi karena permintaan Leon jadilah mereka pergi ke pasar malam.
Setelah dirasa puas bermain, Leon dan Feby memutuskan untuk pulang. Feby memang sedang menginap di rumah Leon walaupun sebenarnya ia di sediakan apartemen oleh orang tuanya tapi Feby lebih sering menginap di rumah Leon dengan alasan takut.
Didalam mobil pun Feby tak henti-hentinya bicara, Leon juga merasa senang entahlah baginya Feby seperti adik yang harus di lindungi olehnya tidak ada perasaan lebih dan Leon sudah pasti jika soal ini, lain halnya dengan Ana. Leon masih sering labil dengan perasaannya sendiri, kadang ia merasa bahwa Ana hanya untuknya dan tidak boleh dimiliki oleh orang lain dan kadang ia merasa bahwa perasaannya hanya sebatas menyukai Ana, tidak lebih. Membingungkan bukan? Ya itu lah Leon.
"Kapan-kapan kita harus ke situ lagi ya, Lee!" Ujar Feby bersemangat.
"Iya nanti kita kesana sama Seanna pasti nambah seru." Balas Leon diselingi dengan senyuman.
Raut wajah Feby berubah ketika mendengar nama Sea keluar dari mulut Leon, kenapa saat sedang bersamanya harus ada nama itu? Apa hanya Ana yang ada di otak Leon? Pikir Feby.
"Feb, kok diem?" Tanya Leon.
"Kalau lagi sama gue bisa gak, gak usah bawa-bawa nama orang lain." Balas Feby ketus.
"Loh emang kenapa, kan Sea juga temen gue lo harus coba akrab sama dia. Asik loh orangnya." Ujar Leon.
"Lo sadar gak sih Le?" Tanya Feby yang mulai muak mendengar nama Ana.
"Sadar?" Beo Leon.
"Iya lo sadar gak sih, bagi gue lo itu lebih dari sekedar temen kecil?" Tanya Feby.
"Iya kita sahabat kan?" Tanya Leon memastikan.
Feby diam ia benar-benar jengah dengan Leon yang tidak sadar akan perasaannya, haruskah Feby yang menyatakannya lebih dulu? Agar Leon paham.
"Gue sayang sama lo Le." Ucap Feby.
"Gue juga sayang kok sama lo, lo itu udah gue anggap kayak adek gue sendiri Feb." Balas Leon sambil mengelus kepala Feby.
Deg
Entahlah rasanya hancur, Feby mendengar itu seperti tidak yakin jika Leon yang mengatakannya, apa katanya? Adik? Hei bahkan perasaan Feby pada Leon tidak bisa di anggap main-main tapi Leon hanya menganggapnya adik?
"Gue beneran sayang sama lo Le, sebagai cewek." Ucap Feby.
"Gue mau lebih dari sekedar lo anggep gue adek, gue mau lo anggep gue lebih dari sekedar sahabat atau pun temen masa kecil lo." Sambung Feby mencoba membuat Leon mengerti.
Leon diam tak bergeming ia baru paham apa yang di maksud Feby, tapi sayangnya perasaanya pada Feby sudah tidak bisa diubah.
"Jangan gini Feb, gue gak mau lo jauh sama gue cuma gara-gara gue gak bisa bales perasaan lo." Pinta Leon.
"Kalau gitu biarin gue singkirin semua orang yang coba buat ambil lo dari gue, dan akan gue bikin lo jatuh cinta sama gue." Kukuh Feby kemudian meninggalkan Leon yang masih diam mematung mendengar ucapannya barusan.
"Jangan bikin gue benci sama lo gara-gara lo ngusik orang yang gue sayang Feb." Gumam Leon khawatir pada apa yang akan di lakukan oleh Feby.
-○-
Leon memasuki kamarnya ia masih terpikirkan ucapan Feby yang terdengar sebagai ancaman bagi Ana, kenapa Ana? Tentu terlihat jelas jika Feby tidak suka pada Ana bahkan saat pertama kali bertemu Leon sudah bisa merasakan aura perang dari Feby pada Ana.
Demi mengusir pikiran buruknya ia memilih menghubungi Ana, Leon juga tidak enak tadi meninggalkan ana saat mamanya belum sampai di rumah. Leon khawatir Ana masih sendirian di rumah.
"Hallo, ulet teh pucuk." Ucap Leon membuka percakapan.
"Iya kenapa?"
"Gak apa-apa, kok belum tidur?"
"Belum ngantuk."
"Mama lo udah pulang?"
"Udah kok, gimana tadi jalan-jalannya lancar?"
"Lancar dong."
"Bagus deh."
"Lo kenapa?"
"Kenapa apanya Le?"
"Marah ya sama gue?"
"Ngapain juga gue marah sama lo, gak guna!" Balas Ana berusaha tidak terlihat badmood.
"Gak usah bohong bolot."
"Kok anda ngeselin?"
"Gue tau gue ngangenin."
"Ngeselin ucup! Makanya beli korek kuping! Nanti gue beliin deh, lo terlalu kaya buat beli secuil korek kuping."
"Asik di beliin korek kuping, gak bakal gue pakek ah kalau lo yang beliin."
"Lah kok gitu?"
"Bakal gue simpen buat kenang - kenangan karena lo pernah care banget sama gue sampai ngebeliin korek kuping."
"Sumpah ya korek kuping doang woi! Bukan lukisan monalisa yang pake di simpen - simpen segala."
"Sekecil apapun itu, asal hal itu dari lo bakal berharga banget buat gue See."
Blush
Sial, rasanya Ana tidak bisa marah lama - lama jika Leon begini, hanya dengan mendengar kalimat manisnya saja mampu membuat hati Ana luluh, yaampun wanita memang mudah luluh hanya dengan kata - kata.
"Pasti lagi salting."
"Dih apaan sih lo!"
"Udah ah, tidur sana udah malem gak baik ulet tidur malam-malam nanti di makan godzila."
Ana terkekeh mendengar penuturan ngaco Leon.
"Godzila juga seharusnya udah tidur kalau jam segini, inget lo bukan kalong."
Sekarang giliran Leon yang terkekeh akibat ucapan Ana.
"Iya iya ulet."
"Good night See, jangan lupa pakai selimut supaya gak sakit." Sambung Leon.
"Bye!"
Sambungan telpon terputus setelahnya, mereka berdua hanya tersenyum tidak jelas sambil memandangi layar ponsel.
Ana dan Leon sama-sama memutuskan untuk tidur, siapa tahu bertemu dalam mimpi.