-○-
Suara electrocardiogram terdengar nyaring menandakan keadaan ruangan itu benar-benar sunyi, Ana memandangi wajah Lauren yang terlihat damai.
"Ma jangan tidur lama-lama Sea kangen." Ucapnya sambil menciumi punggung tangan Lauren.
"Sea harus bilang apa kalo bang Alen sampai tau keadaan mama? Bangun ma Sea butuh mama." Ucapnya sekali lagi mencoba membangunkan Lauren tapi hasilnya nihil.
Tangis Ana lagi-lagi pecah melihat tubuh Lauren yang di pasangi berbagai macam alat medis, berkali-kali ia memohon pada Tuhan agar diberi kesempatan untuk membahagiakan Lauren tapi tetap saja Lauren belum sadarkan diri.
Tuhan, serumit ini kah jalan hidup Sea? Sea cuma mau mama, Sea masih butuh mama Tuhan pasti tau seberapa besar Sea sayang sama mama tapi kenapa? Kenapa cobaannya seberat ini? Kenapa gak Sea aja yang ada diposisi mama! Ana membatin dalam hatinya.
Suara pintu membuat Ana menyudahi tangisannya, ia melihat siapa yang datang dan rasanya seperti tersambar petir di tengah hari bolong yang di takutkan justru datang.
Alen dengan tatapan tajamnya menatap kearah Ana seperti siap untuk membunuh dirinya, Ana benar - benar tidak tau harus bagaimana jika sudah begini.
"Harusnya gue tau, dari awal lo emang pembawa sial di keluarga ini! Lo gak becus jagain mama! Dan lihat? Ini! Ini semua karena ulah lo!" Ucap Alen penuh kebencian di setiap kata yang dilontarkannya.
"I...ini kecelakaan bang, Sea juga gak tau kalau bakal kayak gini." Balas Ana gugup sembari menahan rasa takutnya.
Alen berjalan mendekati Ana dengan sigap tangannya melayang bebas di udara hingga suara tamparan terdengar keras di ruangan yang sedang sepi itu.
Plak
"Lo pantes dapetin itu." Ujar Alen.
Ana merasakan pipinya panas, air matanya yang baru saja berhenti kini sudah terjun bebas lagi menjelajahi permukaan pipinya yang sudah memerah itu, ia memilih untuk menghampiri Lauren kemudian berbisik padanya karena katanya orang yang sedang koma tetap bisa mendengar apa yang di bicarakan orang lain padanya.
"Ma Sea pergi dulu ya, maaf Sea jadi cengeng. Mama harus cepat bangun oke? Bantuin Sea buat jelasin semuanya ke bang Alen." Bisik Ana kemudian mencium punggung tangan Lauren.
Ana memilih pergi dari rumah sakit, ia tidak tahan jika harus berlama-lama satu ruangan dengan Alen yang sedang dalam mode mematikannya.
-○-
Disini lah Ana, taman kota yang cukup ramai pengunjung. Ia menatap lurus kedepan dengan tatapan kosongnya. Hingga saat ia merasa ada seseorang yang duduk disebelahnya barulah ia menengok.
"Eh, Vano." Sapa Ana.
"Ngapain lo disini?" Tanya Vano.
"Nyari udara segar aja." Balas Ana berbohong.
"Sendiri?" Tanya Vano sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Kalau sekarang ya jadi berdua lah Van gimana sih." Balas Ana sambil terkekeh agar terlihat baik-baik saja.
"Oh." Balas Vano singkat.
Setelah itu tidak ada percakapan yang terjadi hingga Vano berdiri dari posisi duduknya.
"Pulang." Ujar Vano.
"Eh iya hati-hati." Ucap Ana yang tersadar dari lamunannya.
"Lo pulang." Titah Vano.
"Bentar lagi deh gue masih mau di sini." Balas Ana.
Tak mau banyak basa-basi Vano langsung menarik tangan Ana menuju kearah motornya yang sedang terparkir di sebrang sana Ana kaget tapi hanya bisa pasrah ia terlalu malas melawan Vano.
Dan tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang menatap mereka dengan tatapan tidak suka.
"Dia siapa See? Kenapa lo diam aja dia pegang-pegang tangan lo?" Gumam Leon.
Ya orang itu adalah Leon yang kebetulan sedang ditaman yang sama dengan Ana ia diminta untuk membeli es krim oleh Feby tapi langkahnya terhenti ketika melihat Ana bersama lelaki lain, entahlah ada perasaan aneh di dadanya semacam sesak yang sulit di jelaskan ketika melihat lelaki itu menggenggam tangan Ana.
Sementara itu Ana dan Vano sudah sampai di parkiran tempat ia menyimpan motornya.
"Kok kesini?" Tanya Ana bingung.
"Lo gue antar pulang." Balas Vano.
"Gak usah Van, gue bisa pulang sendiri kok serius deh." Ucap Ana.
"Naik cepetan." Titah Vano.
Percuma membantah Vano ia tidak akan mau mendengar apa lagi menuruti ucapan Ana sama seperti Leon, ah kenapa juga ia harus menyama-nyamakan Vano dengan Leon.
Sesampainya di rumah Ana, Vano langsung pulang tanpa mengucapkan sepatah katapun pada ana padahal Ana belum sempat berterimakasih padanya.
"Aneh." Gumam Ana sambil menatap punggung Vano yang sudah menjauh.
Ana memasuki rumahnya yang tentu saja dalam keadaan sepi ia tau Alen tidak akan ke rumah karena memilih untuk menjaga Lauren dan tentu saja tidak mau bertemu dengan dirinya, paling tidak Ana bisa istirahat dengan tenang untuk sementara waktu.
Memikirkan bagaimana cara agar Feby mau mengakui kesalahannya, tidak, Ana tidak menginginkan kata maaf dari Feby ia hanya ingin Feby mengaku di depan Alen dan semua masalah pasti akan terasa lebih ringan nantinya, tapi Feby itu licik ia pasti akan susah untuk di buat angkat bicara.
Ah Ana benar - benar muak dengan permainan Feby rasanya sudah tidak tahan dengan rencana busuknya, jika sampai Lauren kenapa - kenapa Ana bersumpah untuk tidak akan melepaskan Feby.
Ia memilih mendengarkan lagu di ponsel miliknya ini bisa membuatnya tenang walau hanya sesaat, tapi sialnya wajah Leon tiba-tiba saja melintas dipikirannya. Kemana Leon disaat Ana sedang kesulitan seperti ini? Kemana Leon saat Ana sedang benar-benar membutuhkan sandaran? Apa Leon sudah tidak peduli padanya dan lebih mementingkan Feby? Tapi tunggu dulu untuk apa pertanyaan itu muncul? Memangnya siapa Ana di hidup Leon? Bukankah hanya sebatas teman? Kadang Ana suka lupa diri dan tidak sadar akan posisinya.
Pa kuatin Sea buat jalanin semua ini. Batin Ana sambil memejamkan matanya.
Setiap kali Ana sedih atau ditimpa masalah ia selalu mengadu pada sang papa yang sudah berbeda alam dengan Ana tapi Ana tau papanya pasti mendengar keluhan Ana, paling tidak Ana akan terlihat kuat oleh orang di luaran sana meski papanya tau jika putrinya ini rapuh.
"Pa. Papa ingat gak, Papa pernah bilang suatu hari nanti Sea akan nemuin laki-laki yang bisa bikin Sea senang terus?" Ucap Ana memulai ceritanya pada sang ayah.
"Sea rasa, gak ada satu laki-laki pun yang bisa bikin Sea senang terus, semuanya pasti tetap bikin Sea kecewa pada akhirnya bahkan papa pun bikin Sea nangis waktu papa lebih mentingin Sea di banding diri papa sendiri," Ana yang mulai di genangi air mata.
"Papa tau Leon? Sea sayang pa sama Leon, menurut papa gimana? Sea gak tau bisa terus-terusan tahan atau enggak sama Leon karena sampai sekarang pun Leon belum pasti sama perasaannya sendiri,"
"Pa bang Alen apa kabar hatinya? Papa bisa lihat isi hati bang Alen kan pasti? Bang Alen masih sayang sama Sea gak ya kira-kira? Tadi bang Alen nampar Sea pa tapi jangan marah sama bang Alen karena Sea pantes dapetin itu seperti kata bang Alen, apa benar ya Sea ini pembawa sial pa?"
"Dan terakhir, Sea bener-bener gak becus jagain mama, mama begini gara-gara Sea pa Sea minta maaf. Tolong kasih tau Tuhan Sea masih butuh mama pa, Sea gak siap buat kehilangan lagi."
Ana bermonolog sambil menatap lurus ke depan. Entah apa yang ia pandangi yang jelas hatinya benar-benar rapuh saat ini, siapa yang bisa diajak untuk berbagi luka dengan Sea? Leta? Ah tidak mungkin Sea sudah terlalu banyak melibatkan Leta dalam kehidupannya, untuk yang kali ini Ana memutuskan untuk menanggungnya sendiri, ini semua ulah kelalaiannya dan Ana harus siap atas segala resiko yang akan terjadi nanti, semua resiko terkecuali untuk kehilangan sang ibu ia tidak akan pernah siap untuk itu.