Di dalam bus Ana hanya duduk dekat jendela sambil memandangi padatnya jalanan ibu kota, ia mendengarkan lagu dari ponselnya untuk mengusir kebisingan sekitar.
Saking fokusnya dengan lagu dan jalanan, Ana sampai tidak sadar ada lelaki yang duduk di sebelahnya sambil memperhatikan Ana.
Kayak pernah liat. Batin lelaki tersebut.
"Ekhem," Deheman lelaki tersebut berniat menyadarkan Ana yang sedang asik dengan dunianya.
Ana yang merasa ada deheman pun menengok dan mendapati lelaki tersebut sedang menatapnya.
"Eh, kenapa ya mas?" Tanya Ana heran.
"Enak aja lo manggil gue mas mas," Balas lelaki itu ketus.
"Lo lupa sama gue?" Sambung lelaki tadi.
"Siapa ya? Kita pernah ketemu?" Tanya Ana yang sedang mengingat-ingat wajah dan suara lelaki tersebut memang tidak terasa asing pikirnya.
"Kevano," Jawabnya singkat.
Ana masih nampak belum mengingat lelaki tersebut.
"Cih, yang bantuin lo panjat tembok belakang sekolah." Sambungnya dengan nada malas.
"Oh gue ingat! Vano ya?!" Ujar Ana sedikit kencang.
"Berisik." Ketus Vano.
"Ya ampun iya, gue baru ingat maaf ya." Ucap Ana di sertai kekehannya.
"Hm,"
"Mau kemana, Van?" Tanya Ana.
"Pulang." Balas Vano.
"Oh gak bawa motor emangnya?" Lagi-lagi Ana bertanya.
"Menurut lo, kalau gue naik bus berarti bawa motor gak?" Tanya Vano sewot.
"Enggak," Jawab Ana sambil terkekeh.
"Nah." Vano memutar bola matanya malas.
Tidak ada percakapan setelahnya, sampai Ana turun di halte depan perumahannya yang berarti ia masih harus berjalan untuk sampai ke rumahnya.
"Em...Van, gue duluan ya." Pamit Ana yang hanya mendapat anggukan dari Vano.
Pikun banget tuh anak. Batin Vano sambil menatap Ana dari jendela.
-○-
Ana berjalan menyusuri jalanan di temani alunan lagu yang masih setia terpasang di telinganya.
"Mama?" Gumam Ana bingung saat melihat nama yang tertera di layar handphone miliknya.
"Hallo, kenapa ma?"
"Kamu di mana?"
"Di jalan. Sebentar lagi sampai kok, kenapa ma?"
"Oh syukur lah mama kira kamu masih di rumah Leon, abang udah pulang jadi kamu pulang aja ya."
"Iya ma."
"Yaudah kalau udah di rumah makan ya See, mama masih di butik nanti agak malem pulangnya gak apa-apa, kan?"
"Gak apa-apa, ma."
Sambungannya langsung terputus oleh sang mama yang sedang sibuk mengurus butik, Ana bernafas lega paling tidak ia bisa bebas di rumahnya karena Alen sudah kembali ke Bandung.
Sesampainya di rumah, Ana langsung ke kamar untuk membersihkan dirinya dan istirahat.
-○-
Dilain tempat, Leon dan Feby sedang berbelanja kebutuhan Feby untuk sekolah nanti. Leon awalnya tidak tahu jika Feby akan bersekolah di sekolah yang sama dengannya tapi, setelah Feby memberitahunya, Leon sedikit merasa cemas dengan Ana. Pasti akan sering perang mulut antara Feby dan Ana nantinya.
"Buruan deh, Feb. Dari tadi kita muter-muter doang capek gue." Kesal Leon.
"Sabar dong, sedikit lagi kok." Balas Feby tak peduli dengan keluhan Leon.
"Lagian lo ngapain sih pakai acara pindah sekolah." Sinis Leon.
"Kenapa? Lo gak suka emangnya?" Tanya Feby.
"Bukannya gitu, Feb. lo pasti nanti ngikutin gue kemana-mana sedangkan waktu gue bukan cuma buat ngawasin lo." Balas Leon jujur.
"Kok lo sekarang gitu, Le? Oh gue tau, ini pasti hasutan dari si Ana itu kan!" Feby menatap Leon tajam.
"Lo bisa gak sih, sehari aja gak usah jelek-jelekin Seanna." Ujar Leon masih dengan nada santainya.
"Dulu lo selalu nurutin apa mau gue, Le. Tapi semenjak ada Ana lo malah cuek ke gue!" Kesal Feby.
"Karena dulu kita masih kecil, Feb. Lo ngerti gak sih situasinya sekarang itu beda." Leon mulai geram melihat tingkah Feby.
"Beda gimana, Le?" Tanya Feby dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Sekarang harus ada sedikit jarak, Feb. Gue gak mau Sea sampai salah paham nantinya." Jelas Leon.
"Emang Ana siapa lo si hah?! Segitu berharganya banget ya?!" Bentak Feby.
Leon sedikit memijat batang hidungnya, mendengar ucapan Feby membuatnya pusing sekaligus kesal.
"Iya dia berharga buat gue, puas?" Balas Leon dengan penuh penekanan.
"Bakal gue bikin menderita Seanna lo itu." Ucap Feby dengan nada serius.
Leon yang mendengar itupun langsung menatap tajam ke arah Feby.
"Jangan bikin gue harus nyakitin lo karena kebodohan lo sendiri, gimana pun gue sayang sama Sea." Ujar Leon dengan penuh ancaman.
"Sekarang pulang!" Ucap Leon dengan sedikit sentakan.
Leon bisa saja meninggalkan Feby di mall tapi, ia masih punya hati nurani untuk tidak meninggalkan perempuan sendirian apa lagi di tempat baru baginya.
"Jahat lo, Le." Ucap Feby
"Lo lebih jahat, kalau sampai gak ngebiarin gue untuk bahagia." Balas Leon.
Feby diam dalam hati memaki Ana yang datang di kehidupan Leon, kemudian perlahan-lahan menyingkirkan namanya dari hati Leon.
Liat aja, gue bakal bikin hidup lo menderita, Leon itu cuma milik gue! Batin Feby penuh kebencian.
-○-
Setelah sampai di rumah, Leon pun berniat untuk menghubungi Ana memastikan gadis itu aman di rumahnya.
"See,"
"Eh iya, Le. Lo udah selesai nemenin nyokap lo belanja?"
"U..udah."
"Terus, emm...kenapa telpon?"
"Emang gak boleh?"
"Boleh lah. Cuma kenapa, tumben?"
"Lo lagi di rumah, kan?"
"Ya iya lah, masa di kolong jembatan."
"Gue kerumah lo ya."
"Eh tapi mama gue lagi gak di rumah."
"Yaudah kita ke taman aja, siap-siap ya."
"Yaudah deh, hati-hati!"
"Hm,"
Karena sudah mendapat ijin dari Ana, Leon pun langsung melesat menuju rumah Ana.
-○-
Di sini lah mereka, di taman dekat rumah Ana untuk sekedar mengusir rasa bosan dan memakan ice cream.
"See," Panggil Leon.
"Hm,"
"Habis UKK, Feby bakal pindah ke sekolah kita." Ujar Leon tanpa basa basi.
Ana diam mematung mendengar ucapan Leon.
"Kayaknya, Febynya lo itu gak akan ngebiarin hidup gue tenang ya." Balas Ana sedikit terkekeh.
"Dia cuma teman gue, See," Elak Leon.
"Iya lo anggap dia cuma teman, sedangkan dia? Menurut lo kenapa dia harus capek-capek pindah ke indonesia kalau bukan karena lo?" Ana menopang dagunya menggunakan sebelah tangannya sambil menatap Leon.
Leon mengernyit bingung dengan perkataan Ana.
"Maksud lo?" Tanya Leon.
Ana menghembuskan nafasnya pelan, ternyata Leon ini selain keras kepala juga kurang peka.
"Le, Feby itu suka sama lo." Ucap Ana lembut agar Leon paham.
"Ngomong apa sih, See. Dia tuh udah gue anggap kayak adek gue sendiri, gak mungkin lah." Bantah Leon.
"Ya terserah, yang penting gue udah jelasin kenapa Feby sampai segitunya." Ana menggedikkan bahunya acuh.
"Yang penting, gak akan gue biarin siapa pun nyakitin lo, See." Ujar Leon lembut tapi dengan nada yang serius.
Ana diam tak bergeming, Ana terenyuh mendengar ucapan Leon tapi, apa bisa terus ia pegang ucapan Leon itu?
"Makasih, Le." Balas Ana sambil tersenyum manis ke arah Leon.
"Lee," Panggil Ana.
"Kenapa?"
"Lo pernah jatuh cinta sebelumnya?" Tanya Ana.
Leon tampak berpikir.
"Pernah." Jawabnya.
"Sama siapa?"
"Sama.." ucap Leon menggantung.
"Sama?" Beo Ana.
"Sama cewek lah." Ucap Leon.
"Nungguin ya? Segitu pengennya tau nya apa lo?" Sambung Leon sambil tertawa.
Ana yang melihat Leon tertawa lepas untuk pertama kali di depannya pun merasa senang, Leon sudah banyak menunjukan sifat aslinya pada Ana.
"Gue suka." Ucap Ana tiba-tiba membuat Leon berhenti tertawa.
"Hah?" Heran Leon.
"Gue suka, lo mulai nunjukin sifat asli lo ke gue." Balas Ana lembut.
Leon diam, ia baru sadar tadi tertawa lepas untuk pertama kalinya di depan Ana.
"Emang selama ini gue gimana?" Tanya Leon.
"Cih masih nanya, lo tuh dulu sok cuek, sok dingin kalau ke gue dasar jaim lo!" Ejek Ana.
"Sialan, sejak kapan ulet teh pucuk bisa tengil." Balas Leon mengejek.
"Lo bilang gue ulet teh pucuk?" Tanya Ana.
Leon mengangguk.
"Dasar godzila aer tawar!"
"Ulet teh pucuk!"
"Godzila aer tawar!"
Ya dan begitulah mereka saling beradu umpatan sampai tak terasa hari sudah sore.
"Ayo pulang, ulet gak boleh pulang malem- malem." Ucap Leon masih dengan nada meledek nya.
"Iya ayo pulang, udah waktunya godzila balik ke aer." Balas Ana.
Mereka saling tatap beberapa detik kemudian hanya ada suara tawa yang pecah, di sore itu semesta sudah menuliskan memori yang terbilang konyol tapi menyenangkan untuk mereka kenang.