Pagi ini cerah sekali secerah hati Ana yang sedari tadi berjalan sambil bersenandung di koridor yang cukup ramai. Tujuan ana tidak langsung masuk ke kelasnya melainkan ke koridor kelas XI di mana ia akan menemui Leon.
Dan nampak lah yang di cari - cari oleh Ana sedang berbincang dengan teman seperbodohannya, siapa lagi kalau bukan Ken.
"Kak." Panggil Ana
"Kenapa?"
"Nih." Ucap Ana sambil menyerahkan kotak bekal dan botol minum pada Leon.
"Ngapain bawain gue bekal? Terus minumnya juga?" Tanya Leon.
"Ck, kan gue udah bilang kemarin gue yang mau bawain lo bekal lagian tinggal terima aja susah amat sih." Balas Ana mulai kesal.
"Gue ambil bekalnya, tapi kalau minumnya itu buat lo aja gue bisa beli nanti." Jawab Leon santai sambil mengambil kotak bekal Ana.
"Nih dengerin ya, gue sengaja bawain lo minum biar gak usah beli-beli lagi, lagian gue tau pasti lo jarang minum air putih nah itu tuh gak bagus buat kesehatan kan sekalian ngehemat uang lo juga." Balas Ana panjang lebar.
Ken sedari tadi hanya memperhatikan dua temannya berdebat, menyenangkan menurutnya haha dasar Ken.
"Ribet lo. Yaudah mana sini!" Ketus Leon sambil mengambil botol minum tersebut kemudian meneguknya sedikit.
"Kok asem? Kayak keteknya si Kenyet." Tanya Leon bingung.
"Oh itu iya soalnya gua tambahin air lemon sedikit biar lo seger terus gak gampang ngantuk." Balas Ana
"Astaga kenapa gak air putih biasa aja sih, ribet banget lo." Leon meneliti botol minum yang sedang ia pegang.
"Oh yaudah sini balikin kalau emang gak mau!" Celetuk Ana kesal sambil menarik paksa botol minumnya.
"Eh..eh itu kan udah lo kasih ke gue." Protes leon.
"Lah lo kan gak mau." Ketus Ana
"Siapa yang bilang gak mau, gue cuma bilang lo ribet." Bantah Leon
"Sini balikin, mau lo borok sikut gara-gara udah ngasih terus di ambil lagi?" Sambungnya.
"Muna." Balas Ana tak mau kalah.
"Bodo." Ucap Leon sambil berbalik lalu melangkah pergi menuju ke kelasnya.
"Cih sialan gak ada makasih makasihnya." Gumam Ana.
"Sabar ya dede manis, si singa tuh emang gitu gede gengsi nanti gue jitakin deh buat lo." Celetuk Ken sambil menyusul Leon.
-○-
"Abis dari mana See?" Tanya Leta yang melihat Ana baru sampai di kelasnya dengan raut wajah kesal.
"Kandang singa." Balas Ana masih kesal.
"Emang sekolah kita ada kandang singanya?" Tanya Leta polos.
"Ck, tu kelasnya kak leon." Kesal Ana.
"Oh, abis ngapain?." Tanya Leta basa basi.
"Gue bawain bekal sama minum buat dia eh taunya tuh anak gak ada makasih makasihnya sama gue." Balas Ana sambil mendengus kesal.
"Sabar See, dari yang gue liat nih ya kayaknya kak Leon tuh orangnya emang gede gengsi." Ujarnya berpendapat sama seperti Ken tadi, wah jangan-jangan jodoh!
"Tadi Ken juga ngomong gitu." Ana menghadapkan wajahnya kearah Leta.
"Eh masa." Ragu Leta.
"Iya, jodoh kali lo berdua." Balas Ana sambil meledek Leta.
"Bodo See gue gak denger, mata gue congean." Leta membuang wajahnya asal agar Ana tak menggodanya lagi.
"Kelainan lo." Ledek Ana
"Iyain." Ucap Leta tanpa menatap Ana.
"Selamat pagi anak-anak, kita lanjutkan materi yang minggu lalu..." ucap bu Desi menjelaskan sampai jam mata pelajarannya habis.
-○-
Kringgg
Bel istirahat berbunyi dan detik itu juga seluruh siswa berhamburan menuju kantin.
Kedua gadis itu sedang berjalan menuju kantin sesekali di selingi oleh candaan yang membuat mereka tertawa.
"Eh ada dede manis sama dede cantik, mau kemana? Kantin ya? Bareng aja yuk." Celetuk Ken dari belakang membuat Ana dan Leta sedikit kaget.
"Ngapain juga gue ke kantin bareng lo idih." Balas Leta acuh.
"Ga boleh galak-galak loh dede cantik, nanti cantiknya hilang." Goda Ken.
"Bodo pedo omes!" Kesal Leta dengan mata yang dibuat seperti ingin keluar dari tempatnya.
"Bagus deh kita jadi resmi punya panggilan sayang masing-masing." Goda Ken lagi.
"Amit-amit astaga tolongin Leta ya Tuhan." Balas Leta dengan wajah dramanya.
"Ini orang yang dikirim Tuhan ada di depan mata lo." Goda Ken entah yang keberapa kali karena menggoda leta sudah seperti kebiasaan baginya.
Di sisi lain Ana dan Leon jengah melihat pertengkaran yang akan berlangsung panjang itu hanya menatapnya malas tanpa ingin ikut ambil bagian.
"Ck, lama duluan aja yuk See." Ajak Leon sambil menarik tangan ana.
"Woi mau kemana lo! Kok gue di tinggal sama makhluk pedo ini sih." Geram Leta yang melihat kepergian sahabatnya.
"Wah mereka peka ya ngebiarin kita berduaan." Lagi - lagi ken menggoda leta.
Ana hanya mengikuti saja Leon membawanya, walaupun agak sedikit kaget dengan tarikan Leon tapi tidak masalah itu sedikit membuatnya senang.
"Main tarik - tarik aja lo." Celetuk Ana.
"Lagian tuh kunyuk dua bakal lama kelarnya." Balas Leon.
Ana melirik dan baru sadar ini bukan jalan ke arah kantin ia bingung Leon ingin membawanya kemana.
"Kita kok ga ke kantin kak?" Tanya Ana
"Yang bilang mau ke kantin siapa?" Leon balik bertanya.
"Mau bawa gue kemana lo." Ujar Ana dengan tatapan sinis.
"Kemana kek, lagian lo gak usah mikir macem-macem gue gak omes kayak Ken." Leon terus saja berjalan tanpa memperdulikan Ana yang ngedumel gak jelas dibelakangnya.
"Cih, situ kan temennya juga." Cibir Ana
Leon tidak menggubris ucapan Ana barusan karena mereka sudah sampai ternyata Leon membawa Ana ke taman belakang sekolah yang jarang sekali di datangi murid dan otomatis sepi.
"Kita ngapain disini?" Tanya Ana.
"Makan." Balas Leon santai.
"Makan?" Beo Ana.
"Iya makan, Seanna." Jawabnya lembut.
"Nih, lo suapin gue." Titah Leon sambil menyerahkan kotak bekal milik Ana.
"Punya tangan kan?" Tanya Ana
"Oh yaudah kalau gak mau, gue minta suapin sama yang lain aja." Balas Leon hendak berdiri namun langsung di tahan oleh Ana.
"Buruan duduk yang bener, gak usah banyak tingkah." Ucap Ana sambil membuka kotak bekalnya.
"Dih kenapa lo? Tadi aja gak mau." Ledek Leon.
"Jadi ga nih?" Balas Ana kesal.
"Iya iya." Leon kembali duduk dihadapan Ana.
Hening kemudian yang terdengar hanya suara dentingan sendok dan semilir angin yang sejuk sedikit membuat rambut Ana tarbawa angin.
Leon yang melihat itu refleks membenahi rambut Ana dengan tangannya, Ana diam tak bergeming dengan perlakuan leon yang tiba - tiba dan selalu berhasil membuat jantungnya terasa abnormal.
"Ka..kak." Ucap Ana sedikit gugup saat Leon mendekatkan wajahnya ke arah Ana.
"Gak usah manggil kakak mulai sekarang, gue gak tua - tua amat." Balas Leon sambil menjauhkan kembali wajahnya.
"E..eh iya." Jawab Ana masih sedikit gugup.
"Mana nasi gue masih laper nih." Balas Leon yang kemudian melanjutkan acara suap suapannya.
Setelah kotak makan itu tersapu bersih dan Leon pun sudah sangat merasa kenyang tentunya hanya Leon yang makan Ana tidak ikut makan karena melihat Leon seperti orang kelaparan ia jadi tidak tega.
"Gue udah kenyang, balik ke kelas yuk." Ajak Leon yang di angguki oleh Ana.
"Sini biar gue bawa pulang kotak makannya." Sambung Leon.
"Gak usah Ka..eh L..Leon biar gue aja, besok gue bawain lo bekal lagi biar lo gak makan sembarangan." Balas Ana.
Leon diam sebentar ia tertegun dengan ucapan Ana yang memperhatikan pola makan dan minumnya entah kenapa ia merasa senang di perlakukan seperti itu walaupun gengsinya yang menyuruh Leon untuk tidak menerima makanan ataupun minuman dari gadisnya itu.
"Yaudah."
"Pulang - pergi sama gue sebagai gantinya." Sambung Leon.
"Boleh deh." Ana menggangguk-anggukan kepalanya.
-○-
Sepulang sekolah Ana ingat Leon mengajaknya pulang bersama, itulah kenapa ana memilih untuk menunggu Leon di dekat koridor kelas XI.
Tak lama yang di tunggupun muncul bersama dengan satu orang yang sudah pasti kalian kenal.
"Udah lama?" Tanya Leon.
"Belum kok." Balas Ana.
"Dede cantik mana?" Tanya Ken sambil celingak celinguk barangkali menemukan Leta untuk mengajaknya pulang bersama, tapi nihil Leta tidak ada di manapun.
"Tadi Leta di jemput mamanya." Balas Ana Ken yang mendengarnya hanya manggut - manggut saja.
"Yaudah yuk pulang." Ajak Leon sambil menggandeng tangan Ana.
"Ekhem, thanghan raphet amhat." Ledek Ken sambil pura - pura batuk.
"Iri aja jomblo." Balas Leon.
"Wah tenang aja Leonku, gue sih tinggal taken sama dede cantik." Balas ken sombong.
"Halah kayak Leta mau sama lo aja." Celetuk Ana.
"Yaudah ah gue balik duluan, gue gak mau ganggu orang yang pacaran tapi gak pacaran bye!" Pamit Ken yang masih saja sempat - sempatnya meledek.
"Ngomong - ngomong jomblo, lo gak sadar lo juga jomblo segala ngatain Ken." Celetuk Ana sambil terkekeh.
Leon melirik sebentar ke arah ana "Kan ada lo jadi gue gak jomblo." Balasnya seketika Ana diam dan mencerna maksud perkataan Leon.
"Hah? Gimana? Gue gak ngerti." Tanya Ana memastikan apa ia tidak salah dengar.
"Gak, lo bau." Balas Leon sambil meneruskan langkahnya menuju parkiran.
"Kok kesel ya dengernya." Jawab Ana.
"Bodo."
-○-
Sesampainya di rumah Ana, Leon ijin untuk mampir sebentar karena ini masih siang dan di rumah Leon tidak ada orang karena mama papanya ada pekerjaan keluar kota selama beberapa hari, dan jadilah mereka duduk sambil menonton film di rumah Ana.
"See." Panggil Leon.
"Hm" balas Ana yang masih sibuk melihat film.
"Lo punya abang atau adek gitu?" Tanya Leon.
Pertanyaan Leon sukses membuat raut wajah Ana berubah menjadi sedikit murung. Leon yang melihat jelas perubahan raut wajah ana itu sedikit merasa bersalah dengan pertanyaannya.
Gue salah ngomong? Batin Leon.
"Kalau lo gak mau jawab gak apa-apa kok See, beneran deh." Ucap Leon dengan wajah yang sedikit terlihat khawatir.
"Em, gue punya abang kok satu jadi cuma dua bersaudara." Balas Ana pelan.
"Namanya?"
"Alensky Cakrandra." Ucap Ana sambil menunduk.
"Sekarang dia lagi di mana? Kok gak pernah kelihatan ya?" Tanya Leon.
Aduh mulut gue kenapa gak mau stop dulu si nanya nya. Batin Leon.
"Ngurusin cafe papa di Bandung." Jawab Ana.
"Gue boleh tanya lagi?" Ucap Leon meastikan.
Ana mengangguk.
"Em, nama papa lo siapa?" Tanya Leon.
"Fernando Claude."
"Kok gue gak pernah liat papa lo ya See? Di Bandung juga ya sama abang lo?" Tanya Leon sekali lagi.
"Papa udah bahagia." Jawab Ana sekenanya, Leon masih belum mengerti maksud Ana pun hanya mngernyit bingung.
"Meninggal." Sambung Ana pelan.
"Ma..maaf, See gue gak maksud gi.."
"Gak apa-apa kok." Potong Ana.
Hening seketika setelah percakapan itu berakhir.
Leon yang tak tahan dengan kondisi canggung ini akhirnya memilih buka suara lagi.
"Abang lo pasti sayang banget ya sama lo." Celetuk Leon, Ana diam menunduk sebentar kemudian menjawab.
"Seandainya bisa begitu." Balas Ana tersenyum hambar.
"Maksudnya?" Tanya Leon yang sama sekali tidak mengerti maksud Ana.
"Gak apa-apa kok, lupain aja." Jawab Ana sambil menepuk bahu Leon pelan.
"See." Panggil leon.
"Hm"
"kalau lo ada masalah, gue siap dengerin kok jangan pernah ngerasa sendirian karena gue di sini buat lo." Ucap Leon panjang lebar untuk pertama kalinya sukses membuat Ana melongo.
Ana tertawa melihat Leon yang mengucapkan kalimat panjang itu, karena seperti buka Leon menurutnya.
"Apanya yang lucu sih." Ketus Leon kesal.
"Ini Leon?" Tanya ana sambil memegang kening leon memastikan apakah Leon sehat atau tidak ya siapa tau ya kan Leon kepalanya cidera.
"Bukan! Shawn mandes." Balas Leon yang masih kesal.
"Gue serius Seanna." Sambung Leon dengan wajah datarnya membuat tawa Ana terhenti.
"Iya iya, lagian gue gak punya masalah apa-apa kok." Elak Ana
"Bohong, jadi pacar Ken lo ya?" Balas Leon.
"Dih ogah." Ana menggeleng kuat.
"Serius Seanna." Ucap Leon memastikan karena menurutnya Ana sedang menyembunyikan sesuatu.
"Iya dua rius." Ucap Ana mencoba meyakinkan Leon.
"Mau gue cari tau dari orang lain?" Ancam Leon.
"Ck, iya iya nih gue cerita tapi lo jangan nangis bawang di sini gak ada tisu." Balas Ana sambil sedikit bercanda agar suasana tidak tegang.
Ana menarik nafas dalam, mempersiapkan diri untuk menceritakan kepahitan yang sejak dulu berusaha untuk ia lupakan.
Flashback on.
Mentari cerah sekali sampai - sampai membangunkan seorang gadis dari tidurnya.
"Sea." Panggil pria itu lembut.
"Iya pa?" Sahut gadis yang baru saja memasuki masa SMP nya tahun ini.
"Kita jalan - jalan yuk!" Seru sang papa.
"Sama mama? Sama abang juga?"
"Abang sama mama lagi ke butik, jadi kita berdua aja ya? Mau kan?"
"Mau!" Jawabnya dengan anggukan yang semangat.
Setelah bersiap akhirnya ayah dan anak tersebut menjalankan rencana jalan - jalannya menggunakan mobil.
Di tengah - tengah perjalanan Fernan merasa ada yang mengganjal di hatinya entah lah apa itu tapi ia berharap itu bukan hal buruk.
"See." Panggil Fernan.
"Papa seneng deh bisa jalan - jalan sama Sea, kita kan jarang ketemu jadi papa bahagia banget." Ucap sang papa sambil mengelus pucuk kepala putrinya.
"Sea juga seneng banget pah!" Seru sang gadis.
Saat hendak mengerem Fernan merasa heran karena mobilnya tidak kunjung berhenti. Ah ya Tuhan ini salahnya karena tidak mengecek dulu keadaan mobil sebelum berangkat tadi, Fernan yang sudah mengerti rasa aneh apa yang tadi ia rasakan kini berusaha untuk tidak panik pasalnya beberapa kilo meter di depan mobilnya terdapat dua truk yang sedang berjalan lambat.
"Sea." Panggilnya.
"Nanti kalau papa bilang lompat, Sea buka pintu langsung lompat ya nak?" Sambungnya yang masih di selingi senyuman hangat.
Ana tidak mengerti maksud sang papa hanya menatapnya bingung, ia melihat sang papa tersenyum dengan hangatnya seakan ini sebuah senyuman yang akan segera hilang.
Fernan mencari akal agar putrinya tetap selamat dan ia melihat rerumputan yang mungkin jika ana lompat tidak akan separah jika di aspal.
"Pa," panggil Ana dengan suara bergetar.
"Gak apa-apa sayang, papa gak akan kenapa-napa." Balasnya menenangkan Ana.
"Papa titip mama sama bang Alen ya, maafin papa." Ucapnya pelan lalu mencium pucuk kepala putrinya itu.
Sekiranya cukup. Fernan tidak ingin putrinya tambah bersedih mendengar ucapan perpisahan ini, kemudian Fernan membanting setir agar menepi ke arah rerumputan sesuai prediksinya.
"Sea lompat!" Titahnya.
Dengan amat sangat terpaksa Ana melompat dan merasakan badannya mendarat mulus di rerumputan meskipun kakinya masih sedikit terkena besi pembatas jalan, Ana memaksakan untuk berdiri melihat dengan mata kepalanya sendiri sang papa tepat menabrak bagian belakang truk besar dan tak lama kemudian ia merasakan pusing yang sangat hebat hingga semuanya tampak gelap, Ana pingsan.
Terhitung 1 bulan sudah gadis itu tak sadarkan diri di rumah sakit, begitu pula sang papa yang sedang berada di ambang kematian.
"Nak bangun, mama butuh kamu." Ucap Lauren bergetar menahan tangis dengan penampilan yang berantakan, bagaimana tidak? Suami dan anaknya sedang koma dan ia tak sempat memikirkan dirinya sendiri.
"Mah kita pulang dulu ya, mama istirahat nanti Alen yang jaga Sea sama papa." Ucap Slen yang tidak tega melihat wanita tersebut benar - benar berantakan.
"Gak Len, mama mau di sini mau liat Sea sama papa kamu sadar." Balasnya.
Tak lama kemudian Tuhan mengabulkan doa - doa Lauren yang selama ini di panjatkan, ana mengerjapkan matanya dan menggerakan jarinya tanda bahwa ia sudah sadar.
"Len! Alen! Sea sadar Len panggil dokter!" Teriak Lauren histeris.
"Dok! Dokter!" Panggil Alen menggema di koridor rumah sakit.
Setelah dokter datang ia langsung memeriksa ke adaan Ana.
"Alhamdulillah, anak ibu sudah sadar di sarankan untuk tidak banyak di ajak bicara dulu saya permisi." Ucap sang dokter.
Tapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama, tepat beberapa menit setelah ana sadar Fernan menghembuskan nafas terakhirnya.
Ah ini seperti pertukaran nyawa bukan?
Lauren pingsang dan Alen tak bisa lagi membendung air matanya yang sudah satu bulan ini ia tahan, Ana juga ikut menangis keras bukan main.
Seminggu setelahnya, pemakaman Fernan sudah di laksanakan dan Ana pun sudah boleh kembali ke rumah walaupun harus menggunakan kursi roda selama 2 bulan ke depan.
Kejadian itu justru merubah sikap Alen pada Ana, Alen mengganggap bahwa ini semua adalah kesalahan Ana dan semenjak itu pula Alen berubah dari yang sangat menyayangi Ana menjadi ketus, kasar, dan masa bodo.
"Ini semua gara - gara lo! Dasar pembawa sial!" Ya begitulah cacian yang sering Alen lontarkan pada Ana, saking terbiasanya Ana hanya diam tak ingin menjawab agar masalah tak makin rumit karena menurutnya percuma menjelaskan alen pasti tidak akan mau mendengarnya.
Mamanya tetap membela Ana karena ia paham kondisi Luren pun tidak menyalahkan Alen karena ia mengerti bahwa Alen terpukul atas kepergian Fernan, karena takut merasa Ana akan semakin tertekan akhirnya Lauren memutuskan untuk pindah ke Jakarta sedangkan Alen diminta untuk tetap di Bandung dengan alasan meneruskan Cafe sang suami.
Flashback of.
Leon masih terdiam setelah Ana selesai menceritakan masa lalunya, ia berpikir sejenak sebenarnya apa yang ada di otak Alen hingga bisa seperti itu pada adik kandungnya sendiri.
Entah dorongan dari mana Leon menarik Ana kedalam pelukannya, seraya memberikan kehangatan dan ketenangan. Ana kuat - kuat menahan tangisnya agar tidak tumpah.
"Jangan pernah ngerasa sendiri." Ucap Leon lembut yang hanya diangguki oleh Ana.
"Gue pamit pulang ya. Lo habis ini makan, atau mau keluar dulu kita cari makan?" Tanya Leon lembut hampir tak seperti Leon pada biasanya.
"Jangan perhatian karena kasihan sama gue." Ucap Ana tiba - tiba, Leon menggeleng kuat.
"Engga! Gue begini bukan karena kasihan! Gue tau lo kuat, lagian gue emang mau kenal lo lebih dalam lagi See." Tegas Leon, Ana menatapnya lekat mencari kebohongan di sorot matanya tapi nihil hanya ada kejujuran di sana. Ana tiba - tiba memeluk Leon, Leon terkejut bukan main tapi langsung membalas pelukan Ana, hangat itu yang di rasakan Leon.
"Gue pulang." Ucap Leon sambil melepaskan pelukannya yang di selingi senyuman paling manis yang pernah Ana lihat.
"Hati - hati di rumah." Sambungnya sambil mengelus pucuk kepala Ana.
"Hati - hati di jalan." Ucap Ana sambil melambaikan tangannya.
Ijinin gue jadi orang yang bisa ngembaliin warna di kehidupan lo see. Batin Leon.
"Gue harap lo orangnya." Gumam Ana.