3 hari sudah Ana menginap di rumah Leta dan sekarang Ana memilih untuk pulang karena menurutnya Alen pasti sudah kembali ke Bandung, tentu saja Leon yang mengantarnya padahal Ana tidak meminta tapi ya memang dasarnya Leon keras kepala.
"Yakin abang lo udah pulang?" Tanya Leon dengan nada sedikit khawatir.
Ana hanya membalas dengan mengangkat bahunya tanda ia juga tidak tau.
"Kalau masih ada abang lo gimana?"
"Lo anterin gue ke rumah Leta lagi."
"Oke." Balas Leon pasrah.
Sesampainya di kediaman Ana, Leon sedikit takut jika Alen masih ada di dalam sana begitu pula dengan Ana ia sudah pucat pasi membayangkan jika ia di maki di depan Leon.
Ceklek
Ana memberanikan diri untuk membuka pintu rumahnya dengan debar-debar yang tak mau reda.
"Ah ini dia anak gak tau terima kasih yang berasa jadi tuan putri! Liat ma udah berapa hari dia gak pulang dan sekarang.." ucap Alen menggantung sambil melirik Leon dari atas sampai bawah lalu melanjutkan ucapannya.
"Oh tuan putri udah gede ya? Berani bawa cowok ke rumah!" Ketus Alen.
"Dia temen Sea bang." Jawab Ana pelan hampir tak terdengar.
Lauren sedari tadi hanya memperhatikan, mau sampai mana putranya ini merendahkan adik kandungnya sendiri, jujur ia juga geram bahkan sangat geram.
"Temen apa? Temen 'main' lo?!" Sinis Alen.
Ana hanya menggeleng.
"Lo pergi malam-malam, dan sekarang pulang setelah 3 hari, di bayar berapa sama dia?!" Tanya Alen dengan nada tinggi sambil menunjuk ke arah Leon.
Leon sudah menahan emosi nya yang memuncak sedari tadi, tak habis pikir dengan cara kerja otak Alen saat berbicara seperti itu, apa otaknya sudah rusak? Pikir Leon.
"Aku bukan cewe kayak gitu! Dan jangan bawa-bawa Leon." Balas Ana dengan memberanikan diri.
"Oh berani ya lo? Sampah kayak lo harusnya gak usah hidup! Harusnya lo aja yang mati dan bukan bokap gue!" Celetuk Alen.
Jleb
Ah bagaimana ya rasanya, ketika orang yang sangat kamu sayangi selama ini hanya menganggapmu sampah dan bahkan tidak menginginkan keberadaanmu. Orang yang selama ini kamu cintai dengan segenap hati justru mati matian menikam batinmu tanpa ampun. Bukankah menyakitkan? Tentu, jika kalian ingin tau Ana sudah sukses mengeluarkan air matanya yang sedari tadi ia coba tahan.
Bagaimana mungkin Alen? Kakak kandungnya sendiri? Begitu membencinya?Tuhan, Ana sudah coba untuk kuat selama ini tapi benar-benar inilah batasnya.
"Segitu rendahnya Sea di mata abang?" Tanya Ana dengan wajah yang sudah di banjiri air mata, di pasangnya pula ekspresi kecewa.
"Menurut lo? Kalau bukan lo siapa yang harus gue salahin?" Tanya Alen santai.
"Bang Sea gak tau apa-apa, bahkan kalau dari awal Sea tau papa akan pergi gak bakal Sea mau waktu papa ngajak sea jalan-jalan!" Ana benar - benar menumpahkan emosinya ke dalam setiap balasan yang ia lontarkan.
"Iya, dan gue berharap yang mati waktu itu lo aja. Kalau tau udah gedenya bakal jadi jalang macem gini." Balas Alen dengan nada datar.
Plak.
Satu tamparan sukses mendarat di pipi Alen membuatnya meringis, itu bukan Ana melainkan Lauren sudah muak melihat kata-kata kasar yang keluar dari mulut putranya. Lauren yang sudah berlinang air mata menatap kecewa pada Alen, benarkah ini putranya? Putra yang dulu sangat menyayangi adiknya? Lalu kemana sifatnya yang penyayang dulu? Lauren bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Alen diam masih memandang Ana datar sambil memegangi pipinya yang terasa panas.
"Udah puas kamu? Udah puas kamu selama 3 tahun lebih ngerendahin adik kandung kamu sendiri?!" Ucap Lauren marah pada sang anak.
Alen benar - benar mengunci mulutnya rapat jika sudah di hadapkan pada mamanya ini, ia tak berani melawan Lauren.
"Mama selama ini diem bukan berarti mama setuju sama apa yang kamu lakuin!"
"Sea juga anak mama dan papa kamu Len! Papa pasti kecewa liat kamu kayak gini."
"Kamu tau Len? Sea tetap sayang sama kamu bahkan setelah kamu hina habis-habisan! Dan bahkan mama yakin sampai hari ini marahnya Sea cuma sesaat, dan habis itu? Dia akan tetap maafin kamu walaupun dia tau kamu gak akan pernah minta maaf!"
"Ini terakhir kali mama dengar kamu ngomong kayak gini! Sekali lagi mama dengar kamu hina adek kamu, jangan harap suatu saat pas kamu nyesel mama akan ijinin kamu buat ketemu sama Sea." Ucap Lauren panjang lebar dengan amarah yang ber api - api.
"Ma." Panggil Ana lirih.
"Biarin aja See biar abang kamu tau gimana rasanya di hina orang yang dia sayang." Ketus Lauren.
Lauren menarik napas sejenak untuk menenangkan dirinya, dan berbalik untuk melirik ke arah Ana dan Leon yang tentunya dengan ekspresi yang sulit di artikan.
"Leon." Panggil lauren lembut.
"Iya tante?" Sahut Leon.
"Boleh tante minta tolong?" Tanya Lauren yang langsung diangguki oleh Leon.
"Bawa Sea ke rumah kamu ya, biarin dia nenangin dirinya dulu di rumah kamu, bisa?" Pinta Lauren lembut.
"Maksud tante menginap?" Tanya Leon ragu-ragu kemudian diangguki oleh Lauren sambil tersenyum.
"Tante minta nomor telepon orang tua kamu ya? Buat hubungi mereka dulu." Ujar Lauren
"Gak perlu tante, nanti Leon aja yang bilang ke mama sama papa." Balas Leon.
"Makasih ya Leon, tante titip Sea sehari aja ya." ucap Lauren.
"Ma" panggil Ana seolah bertanya 'kenapa'.
"Gpp Sea ikut dulu ya sama Leon, mama mau nenangin abang, mau mama cermahin tu anak." Ujarnya sedikit terkekeh.
Ana hanya mengangguk pelan.
"Yaudah sana nanti keburu malam." Titah Lauren.
Ana dan Leon mengangguk bersamaan.
"Leon sama Sea pamit tante, Assalamualaikum." Pamit Leon.
-○-
Setibanya di rumah Leon Ana hanya mengikuti langkah Leon yang menunjukkan kamar Ana, Dinda dan Leo sebelumnya sudah di hubungi oleh Lauren padahal mereka belum tiba di rumah karena harus menemani Feby berbelanja, ya gadis itu masih berlibur di rumah Leon.
Ana duduk di tepi ranjang tatapan kosongnya mengarah ke balkon luar kamar ia membiarkan jendelanya terbuka agar bisa merasakan angin malam yang menusuk tubuhnya.
Ia terduduk kemudian meringkuk di lantai, Ana hanya menggunakan kemeja tipis di tambah lagi celana pendek dan bayangkan angin malam yang terus menerpanya mungkin bisa saja membuatnya jatuh sakit tapi Ana sama sekali tak memperdulikannya.
"Pa, Sea kangen." Gumamnya lirih masih dalam kondisi meringkuk memeluk kakinya.
"Pa bang Alen kapan mau maafin Sea?"
"Sea capek di salahin terus sama bang Alen."
"Pa ini bukan salah Sea kan?"
"Sea takut pa."
Ana bergumam sambil menahan sesak mengingat perkataan Alen tadi, benar - benar sakit rasanya jika makian itu di ucapkan oleh orang yang kita sayangi.
Leon yang sedari tadi menatap Ana di ambang pintu benar - benar tidak tega melihat penampilannya yang kacau. Mata sembab, rambut berantakan, bibir pucat ya begitulah gambarannya yang sudah seperti mayat hidup.
"See, istirahat dulu papa lo pasti sedih banget liat lo kayak gini." Ujar Leon sambil mengusap kepala Ana pelan kemudian Ana menatapnya datar, terlihat sorot mata yang belum pernah Leon lihat sebelumnya dari seorang Ana. Mata itu seperti menampakkan kesedihan, kekecewaan, kemarahan, dan putus asa.
Leon tidak suka Ana yang seperti ini, Leon ikut merasakan bagaimana kecewanya Ana sungguh itu membuat hati Leon terenyuh.
Tak lama acara tatap tatapan itu harus berakhir karena suara pintu depan menandakan jika Dinda dan Feby sudah pulang, Leon mengajak Ana untuk menemui mamanya ke bawah.
"Cuci muka dulu, gue tungguin." Titah Leon lalu diangguki oleh Ana.
Saat Ana bercermin ia menatap dirinya lekat kemudian bertanya pada dirinya sendiri.
Semenyedihkan ini kah keadaan gue?
"Udah See?" Tanya Leon dari luar kamar mandi memastikan Ana tidak kenapa-kenapa.
"Iya." Jawabnya.
Leon dan Ana turun menemui Dinda yang sedang duduk di ruang tamu bersama Feby, Feby terkejut melihat keberadaan Ana di rumah 'leonnya' lalu memberikan tatapan tidak suka pada Ana.
"Hei Ana, dari tadi ya? Maaf ya tante lama." Ucap Dinda lembut.
"Gpp tante." Balas Ana seadanya.
"Kok dia di sini Le?" Tanya Feby dengan nada tidak suka pada Leon.
"Masalah?" Ujar Leon datar.
"Ya masalah dong jelas-jelas ada gue ngapain juga dia di sini, ganggu liburan gue aja." Celetuk Feby yang menatap Ana, Ana masa bodo dengan ucapan Feby ia malas menambah beban pikiran dengan mimikirkan omong Feby.
"Feby!" Tegas Dinda.
"I..iya tante maaf." Ucap Feby langsung ciut mendapat teguran dari Dinda.
"Ana kamu istirahat aja ya sayang." Ujar Dinda lembut pada Ana.
"Iya tante."
Ana pergi meninggalkan tiga orang itu karena sudah mendapat ijin dari pemilik rumah untuk kembali ke kamarnya, Feby yang melihat itu pun langsung mengikuti langkah Ana, dan sesampainya dikamar Ana Feby pun ikut masuk dengan tanpa dosanya.
"Mau ngapain lo?" Tanya Ana santai
"Loh gak salah? Harusnya gue dong yang nanya lo mau ngapain di rumah Leon?!" Ujar Feby kesal.
"Leon sama tante dinda aja gak masalah." Balas Ana cuek.
"Ck, lo tuh ya pasti deket-deket sama Leon karena ada maunya kan? Mau apa lo? Duit? Atau biar famous? Sebutin aja bakal gue kasih tapi jangan deketin Leon lagi!" Ucap Feby dengan nada mengancam.
"Gak usah nambahin beban gue deh, dengan lo ngomong kayak gitu emang gue bakal nurut gitu? Lo siapa? Istrinya? Pacar aja bukan, hak lo apa larang-larang gue." Balas Ana tak mau kalah.
"Berani ya lo sama gue?!"
"Iya, kenapa? Lo pikir gue takut?"
"Siapa nama bokap lo biar gue bikin hancur keluarga lo." Geram Feby.
Ana diam, kesabaran hari ini benar-benar sedang di uji oleh Tuhan.
"Gak usah bawa-bawa bokap gue."
"Oh kenapa? Atau bokap lo gak peduli ya sama lo, ya wajar si kalau bokap lo bodo amat sama lo orang lo juga gak ada bagus-bagusnya kok buat di banggain."
"Bangsat!" Umpat Ana kesal.
"Loh kok cewe-cewe ngomongnya kasar si? Gak pernah diajarin ngomong yang baik dan benar ya sama bokap lo?" Ucap Feby dengan nada meledek.
"Lo gak tau apa-apa soal bokap gue atau pun keluarga gue! Dan gak usah jelek-jelekin bokap gue!" Balas Ana penuh penekanan dan sorot mata yang lebih tajam dari bisanya.
"Kenapa hah?!" Tanya Feby menantang.
"Jangan nguji kesabaran gue Feb." Balas Ana mencoba sabar.
"Apapun itu lo harus jauhin Leon!" Tegas Feby.
"Gak."
"Sekarang lo boleh keluar, gue mau istirahat." Sambung Ana.
"Cih, lo pikir ini kamar lo?"
"Ini kamar gue!" Sambung Feby.
Pintu kamar tebuka menampilkan sosok Leon yang sebenarnya sudah dari tadi mendengar pecakapn dua wanita itu dan itu sudah cukup membuat telinganya panas Feby yang melihat raut wajah Leon hanya tersenyum kikuk.
"Oke ini kamar lo, Sea tidur dikamar gue!" Tegas Leon sambil menarik tangan Ana.
"Eh Le gue becanda kok, Ana boleh tidur di sini biar gue aja yang tidur di kamar lo." Ucap Feby menahan tangan Leon.
"Gak."
Feby hanya menatap benci ke arah punggung Ana.
Gue bakal kasih pelajaran yang gak bakal lo lupain. Batin Feby sambil tersenyum licik.
Di lain tempat kini Leon dan Ana sama-sama berada di balkon kamarnya, menatap kosong ke arah langit yang sedang cerah itu.
"See." Panggil Leon lembut.
Ana hanya menengok seolah bertanya 'kenapa'
"Gue bakal nemenin lo sampe tidur, nanti gue tidur di sofa situ kok tenang aja." Ucap Leon sambil menunjuk sofa di pojok ruangan.
"Makasih Le." Balas Ana tanpa menatap Leon.
"Jangan pikirin omongan Feby, gue gak mau lo jauh dari gue See." Ujar Leon.
"Gue juga gak mau nurut sama omongan dia." Balas Ana.
"Yaudah lo tidur, ini udah malem jangan kebanyakan kena angin nanti sakit." Ujar Leon lembut.
"Le jangan begini karena kasihan sama gue." Celetuk Ana.
Leon tersenyum sambil mengelus pucuk kepala Ana.
"Engga See, harus berapa kali gue bilang sama lo." Balasnya.
"Yaudah tidur ya." Sambung Leon
Ana mengangguk.
Mungkin karena hari ini begitu melelahkan rasanya tak butuh waktu lama untuk Ana terlelap dalam mimpinya, ia sudah tidur nyenyak dengan wajah lelah yang masih terpampang.
"Gue sayang lo, See." Ucap Leon kemudian mengecup kening ana lama dan menyelimuti tubuh gadis itu.
"Good night." Sambung Leon.