"Apakah kak William akan menciumku?" tanya Eli tiba-tiba setelah William menyerukan akan menghukumnya. Entah darimana datangnya keberanian itu, bagaimana bisa ia bertanya selancang itu.
William tidak memberikan jawaban apapun, namun ia masih menatapnya dengan diam. Tiba-tiba wajahnya mendekat mengikis jarak di antara mereka, mungkin ini jawabannya.
Eli pun menutup matanya seakan menyambut bibir milik William yang akan menciumnya. Namun entah mengapa bibir William tidak kunjung menempel di bibirnya dan ia hanya merasakan hembusan nafas pria itu di wajahnya.
Dengan perlahan Eli mulai membuka matanya karena penasaran mengapa William tidak kunjung menciumnya, tapi disaat itu ia juga terkejut karena ternyata wajah William benar-benar sangat dekat dari wajahnya. Entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini, Jungkook terlihat menatapnya sendu.
Selanjutnya, Eli merasa sangat kosong ketika William memberingsut menjauh. Ada apa dengan dirinya? Mengapa ia begitu berharap jika hukuman yang dimaksud William adalah sebuah ciuman, apakah ini artinya dirinya begitu menginginkan pria itu?
Mulutnya gatal ingin memperotes, tapi ia takut dicap wanita murahan oleh William. Eli benar-benar merasa serba salah. Sikap William membuatnya bingung.
Suara mesin mobil kembali terdengar karena William kembali melanjutkan perjalanannya dan seakan-akan melupakan hukuman tadi.
Suasana benar-benar menjadi hening selama di perjalanan, Eli maupun Willian sama-sama tidak ada yang bersuara. Eli merasa aneh mengapa dirinya begitu sangat dongkol dan kesal, padahal tidak ada kejadian yang salah.
Sementara William terlihat memasang wajah tanpa ekspresi seperti biasa sambil menyetir mobil. Setelah beberapa menit, mobil itu memasuki ke pekarangan sebuah rumah. Eli pernah mengunjungi tempat ini sebelumnya. Ya, kini mereka berada di rumah William.
Setelah mematikan mesin mobil, William keluar dari mobil dan terlihat memutarinya lalu selanjutnya membukakan pintu untuk Eli. Meskipun rasanya sedikit canggung, Eli turun dari mobil.
William mengulurkan tangannya, Eli terhenyak sekaligus senang akan perlakuan manis pria itu. Ia pun menerima uluran tangan William dan kemudian dia menggandeng dirinya masuk ke dalam rumah.
"Pelayan akan mengantarmu ke kamar." ucap William singkat setelah mereka masuk ke dalam rumah lalu meninggalkannya.
Eli terlihat memasang ekspresi kecewa sambil memandang kepergian William, entah mengapa ia bisa bersikap seperti ini. Panggilan seorang pelayan pun akhirnya menyadarkannya kembali ke dunia nyata.
"Nona, mari saya tunjukkan kamar anda."
"Ah, baiklah."
Eli pun mengikuti langkah pelayan tadi sampai tiba di depan sebuah kamar dan masuk ke dalamnya. Ia pun benar-benar dibuat takjub dengan interior super mewah kamar itu. Rasa-rasanya ia seperti sedang menginap di hotel berbintang lima.
"Nona, sebelumnya perkenalkan dulu nama saya adalah Jessi dan ini adalah kamar anda."
"Ya Tuhan, apakah ini layak disebut kamar? Seharusnya ini adalah penthouse."
Pelayan itu tampak tertawa karena ucapan Lea, "Nona, anda tahu betapa kayanya tuan William kan? Kamar ini masih belum seberapa."
Eli mengangguk-anggukkan kepalanya setuju, "Ah, benar. Seharusnya aku sadar akan hal itu."
Jessi diam memerhatikan Eli, lebih tepatnya mengamati penampilannya. Dan Eli pun menyadari apa yang dilakukan Jessia kepadanya.
"Jangan salah paham. Aku bukan perempuan simpanannya, Oh iya, namaku Elyana , aku adik tiri kak William."
Dalam beberapa detik, Jessi begitu terkejut dan ia pun langsung menunduk untuk meminta maaf karena kelancangannya.
"Ma--maafkan saya nona, saya tidak bermaksud merendahkan anda."
"Sudahlah, Jessi. Aku tahu pasti kau sudah sangat biasa menerima tamu-tamu wanita di rumah inikan? Hmm, maksudku teman kencan kakak." kekeh Eli memaklumi.
Eli benar, William memang kerap membawa wanita-wanita kencannya kemari, tapi tidak ada satupun yang dispesialkan. Mereka semua sama, datang kemari hanya untuk berbicara tentang timbal balik yang akan mereka dapatkan setelah memuaskan William, lalu setelah mendapatkan kesepakatan, mereka pergi ke hotel. Apa ya, bisa dibilang rumah ini adalah kantor kedua pria itu. Tapi, akhir-akhir ini William sama sekali tidak terlihat membawa wanita kencannya ke rumah ini.
"Tapi tetap saja nona, saya sudah bersikap sangat lancang karena menganggap anda sebagai salah satu teman kencan Tuan William."
"Tidak apa-apa, mungkin karena kau belum pernah melihatku, jadi kumaklumi. Lagian Jessi, seandainya kalau aku ini memang teman kencan Kak Wil pun sama sekali tidak pantas."
"Kenapa nona?" kernyit Jessi heran.
Eli tersenyum kecut, "Aku jelek, wanita sepertiku tidak masuk ke dalam tipenya, bahkan jadi pelayannya saja harus secantik dirimu."
Entah mengapa, Jessi merasa jika Eli sedang merendahkan dirinya sendiri dan menegaskan pada dirinya sendiri kalau dia sama sekali tidak pantas untuk William. Astaga, Eli tidak mungkin menyukai William yang notabenenya kakak tirinya sendiri kan? Kepala Jessi menggeleng tidak sadar, mengapa ia jadi berpikiran begini? Astaga.
Sementara itu Eli yang melihat Jessi menggeleng-gelengkan kepalanya mengambil kesimpulan jika memang wanita seperti dirinya tidak pantas disandingkan dengan William.
"Seharusnya perasaan ini tidak pernah ada, karena pada akhirnya aku yang terluka." lirihnya.
"Nona tadi berkata apa?"
Eli menggeleng sambil tersenyum, "Apakah ada yang mau kau jelaskan lagi, Jessi? Jika tidak, bisakah kau membiarkan aku beristirahat? Jujur saja aku lelah."
"Ah, tidak ada yang perlu dijelaskan lagi nona. Nikmati waktu istirahat anda, saya permisi." pamitnya.
Sepeninggal Jessi, Eli sama sekali sudah tidak tertarik untuk menikmati keindahan kamar barunya, karena spring bed empuk didepannya seakan sudah memanggil-manggilnya.
Ia pun langsung berbaring disana, berniat untuk tidur dan melupakan keresahannya. Entah sejak kapan matanya sudah basah karena menangis.
"Mengapa akhir-akhir ini aku sangat sensitif?" ucapnya sambil menghapus air matanya yang mulai mengering.
"Sudahlah, Elyana. Sudahlah. Lupakan perasaan semu itu, sampai kapanpun cintamu hanya akan bertepuk sebelah tangan."
Disaat-saat seperti ini, ia jadi merindukan Jane, wanita itu adalah pendengar yang baik. Jika ia merasa resah, bercerita dengan Jane adalah salah satu cara ampuh meringankan keresahannya. Tapi, karena ia sudah lama tidak masuk kuliah, ia jadi tidak pernah bertemu dengan gadis itu. Lalu mengapa tidak menghubunginya? Ponselnya hilang waktu dikejar pria suruhan ibunya Dylan. Jadi sekarang dirinya tidak punya ponsel.
"Bagaimana jika besok aku masuk kuliah? Ah, oke."
Eli pun akhirnya memutuskan untuk tidur sambil menunggu hari esok segera datang.
Tak berapa lama, pintu kamar Eli terlihat dibuka dari luar. William masuk tanpa permisi melangkah menuju ranjang dimana Eli tertidur.
Tatapan matanya sangat sendu, William tampak menghela nafas melihat gaya tidur adik tirinya itu yang tidak beraturan. Akhirnya ia pun membenarkan letak tidurnya dengan pelan, kemudian menyelimutinya sampai ke atas dada.
William memajukan wajahnya dan langsung mengarahkan bibirnya menuju kening Eli dan mengecupnya dalam beberapa saat.
"Maafkan aku, El."