Eli terlihat mengucek-ngucek matanya sehabis bangun dari tidurnya, pagi ini ia bangun dengan keadaan mood yang sangat baik, apakah mungkin ini dikarenakan ia memimpikan William tadi malam? Ya, ia memimpikan William masuk ke dalam kamarnya sambil menatapnya sendu lalu mencium keningnya. Eli bisa merasakan mimpi itu dengan begitu jelas dan nyata.
Tanpa sadar seulas senyum terpatri di kedua sudut bibirnya, coba saja itu nyata. Namun kemudian ia menggeleng, sebenarnya mengapa ia jadi berpikir ngawur begini sih?
Lamunan paginya pun terhenti dikala pintunya diketuk beberapa kali dari luar. Ia pun berteriak cukup keras kalau pintu tidak di kunci. Tak berapa lama terpampanglah wajah Jessi menyambutnya dengan senyum ramahnya.
"Selamat pagi, nona. Aku pikir anda belum bangun hihi. Bagaimana tidur anda semalam?" Sapa Jessi ramah.
Eli tersenyum menanggapi sapaan Jessi, "Selamat pagi juga, Jessi. Tidurku semalam sangat-sangat nyenyak." balasnya sambil membayangkan wajah William seperti di dalam mimpinya semalam, ia pun kemudian menggeleng kuat.
Ish- hentikan! Batinnya.
"O? Nona? Apakah anda pusing?" tanya Jessi.
Jessi menangkap momen ketika Eli terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya, karena ia pikir Eli sedang pusing, dirinya pun cepat tanggap menyikapinya. Benar-benar pelayan yang siap siaga.
"Apa? Tidak, aku hanya--" Eli tampak memberikan jeda pada ucapannya untuk mencari alasan yang tepat, lalu lampu bohlam tampak menyala di sekitar kepalanya diikuti ide yang tiba-tiba muncul.
"Mengibaskan rambutku yang menutupi wajahku." elaknya.
Meskipun terdengar konyol, tapi alasan itu bisa diterima oleh Jessi dengan baik. Eli pun menghela nafas lega karena hal ini.
"Oh iya nona, anda sudah ditunggu tuan William dibawah untuk sarapan bersama."
Seketika mata Eli membulat, "Sa-sarapan bersama?" ujarnya tidak percaya.
"Iya, nona." jawab Jessi.
"Ha--hanya berdua?" tanyanya lagi.
Jessi mengangguk.
Luar bias. Ini kali pertama ia akan mengalami situasi dimana dirinya dan William berada di satu meja makan yang sama untuk sarapan. Pasalnya selama ini pria itu tidak pernah mau diajak sarapan bersama ketika dia masih tinggal satu rumah dengan Lea dan Sean dulu.
"Nona?!" panggil pelayan itu.
Lagi-lagi lamunannya disadarkan oleh Jessi yang beberapa kali memanggil-manggil namanya.
"Ah, iya Jessi?"
"Maaf jika saya lancang, sepertinya anda banyak melamun pagi ini? Saya khawatir pada anda nona, apakah ada masalah?" tanya Jessi begitu khawatir.
Sontak Eli segera menggelengkan kepalanya kuat menampik kekhawatiran Jessi, ia tidak ingin wanita itu salah paham.
"Tidak, Jessi. Aku baik-baik saja, sebenarnya kalau boleh jujur ini adalah kali pertama aku dan Kak William sarapan bersama. Entahlah, aku seperti merasa gugup? Eung, jangan salah paham. Maksudku, selama ini kami tidak sedekat itu. Kau mengerti maksudku kan?" akunya.
Jessi tampak terkejut akan pengakuan Eli, ia pun menanggapi Eli dengan menculaskan senyum di bibirnya.
"Jangan khawatir nona. Anda tidak akan menjadi patung selama sarapan berlangsung nanti. Tentu saja tuan William tidak akan membiarkan suasana menjadi canggung."
Eli menghela nafas panjang, "Kuharap juga begitu." katanya begitu berharap.
******
Suara garpu dan sendok terdengar berdenting mengisi ruangan berinterior modern dengan hiasan koleksi piring dan gelas di beberapa lemari kaca transparan.
Eli duduk tidak nyaman di kursinya, beberapa kali ia mengutuk pernyataan Jessi yang mengatakan jika William tidak akan membiarkan suasana selama sarapan terasa canggung. Justru suasana itulah yang dirasakannya sekarang.
Willim tampak diam tidak bersuara dan sibuk memakan sarapannya. Dia terlihat santai berkebalikan dengannya yang tidak bisa diam ditempatnya.
"Mengapa kau tidak memakan sarapanmu?" tanya William menghentikan aksi sarapannya.
"Kak Wil, aku sudah kenyang. Oh iya, hari ini aku mau ke kampus karena--"
"Tidak boleh!" William memotong cepat ucapan Eli dengan memasang tatapan tajam.
"Tapi aku sudah lama tidak kuliah, aku ketinggalan banyak pelajaran." elak Eli sembari memohon kepada William untuk memberinya izin.
"Kalau tidak boleh ya tidak boleh! Sekarang aku adalah walimu, jika kau tidak mematuhiku, aku tidak akan segan untuk menghukummu!" balas William tegas.
Alhasil Eli hanya bisa diam, namun ia juga merasa bingung mengapa William tidak membiarkan dirinya kuliah? Padahal sebentar lagi ia akan ujian.
"Aku mau berangkat bekerja, kau tidak perlu susah-susah pergi ke kampus sekarang karena kau sudah kuikutkan home scholling. Nanti akan ada dosen khusus datang kemari."
Setelah mengatakan hal itu, William terlihat bangkit dari kursinya dan berlalu pergi meninggalkan Eli di ruang makan itu sendirian.
"Home scholling? Yang benar saja." keluhnya kesal.
"Padahal aku ingin bertemu dengan Jane, Junior-- astaga, bagaimana keadaan Junior setelah penolakanku malam itu? Apakah Junior marah padaku? Aku harus menanyakan hal ini pada Jane, ah astaga aku tidak punya ponsel."
Diluar dugaan, tiba-tiba tangannya ditarik kuat dan mampu membuatnya bangkit dari kursi seketika. Matanya membulat sempurna begitu terkejut karena kejadian barusan ditambah wajah William yang teramat dekat dari wajahnya.
"Kak Wil? Bukankah kau berangkat--"
Cup!
William mendaratkan bibirnya ke bibir milik Eli dan melahapnya rakus. Bibirnya bergerak-gerak disertai hisapan kuat bak mesin penghisap debu. Sebenarnya ia tadi tidak sepenuhnya pergi dari ruang makan, dia berdiri tak jauh dari sana sambil memperhatikan Eli cukup lama.
Awalnya ia hanya menahan tawa ketika Eli terlihat tidak terima dengan ajuannya tentang home scholling, namun setelah nama si brengsek Junior disebut, ia merasa tidak terima karena Eli terlihat masih mengharapkan lelaki licik itu yang sudah jelas-jelas membuat gosip tidak menyenangkan tentangnya di kampus. Bahkan sampai saat ini, Eli tidak tahu kalau dia tengah menjadi perbincangan panas di kampusnya sendiri.
Karena terlalu kesal melihat kebodohan Eli, entah mengapa kakinya melangkah begitu saja mendekati gadis itu sampai akhirnya berakhir seperti ini.
William melepaskan tautan bibirnya, Eli tampak terengah-engah. Tangan William mengusap air liur yang nampak tersisa disudut bibir milik Eli.
Ia benar-benar merasa gemas akan tatapan sayu mata Eli yang terlihat menatapnya saat ini.
Jangan memandangku seperti itu, El. Nanti aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri. Batin William frustasi.
"Ini hukuman untukmu karena membantahku. Jika lain kali kau kedapatan tidak mematuhiku, aku tidak segan memberikan hukuman lebih dari ini."
Lagi, setelah memberikan sebuah ultimatum pada Eli, William berlalu pergi dari sana meninggalkan Eli dengan jantungnya yang berdetak cepat seperti sehabis berlari maraton.
Pipi Eli rasanya panas sekali, entah sudah berapa kali William menciumnya, yang jelas pria itu tidak pernah meminta persetujuan darinya untuk melakukannya.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan Eli. Jessi tampak terdiam kaku dibalik lemari setelah melihat kejadian barusan.
"Sepertinya, Nona Eli dan Tuan William terjebak dalam hubungan yang begitu rumit." ujar Jessi menebak-nebak.