Setelah insiden di toko bunga tadi, Eli dan William kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju ke makam Sica. Pada awalnya William pikir Eli marah padanya karena gadis itu pergi meninggalkannya begitu saja saat di toko tadi, tapi ternyata dugaannya salah karena Eli sudah menunggunya di dalam mobil.
Suasana di dalam mobil saat ini terasa begitu canggung, Eli terlihat lebih memilih melihat ke arah luar jendela. Sementara William, dia fokus menyetir meski kadang-kadang mencuri pandang melewati spion untuk melihat gadis itu. Sebenarnya jarak dari toko bunga menuju makam Sica tidak terlalu jauh, tapi rasanya di waktu itu terasa jauh dan lama.
Mereka pun akhirnya tiba di depan makam Sica yang kembali mengingatkan Eli pada insiden beberapa waktu lalu. Walaupun Dylan bilang masalahnya dengan Mamanya sudah beres dan dia tidak akan mengganggunya lagi, tetap saja hal itu membuat Eli sedikit terguncang jika harus mengingat-ingatnya lagi.
Sementara itu William yang menyadari Eli tidak bergeming ditempatnya pun menjadi heran, ada apa dengan gadis ini? William pun menyentuh lengan Eli dengan pelan untuk menanyakan keadaannya.
"El, kita sudah sampai."
Eli nampak terhenyak atas sentuhan tangan Willliam, ia menatap pria itu dan mengangguk.
"Terima kasih, kak Wil."
William yang menyadari sikap Eli yang tiba-tiba berubah pun menahan lengannya yang akan turun dari dalam mobil.
"El, are you okay? kau kenapa?"
Eli memaksakan senyumnya dan menganggukkan kepalanya. "Hmm, aku baik-baik saja kak. Terima kasih sudah mengantarku."
William mengernyitkan dahinya setelah mendengar ucapan Eli. Apa gadis itu pikir ia datang bersamanya hanya sekedar untuk mengantarkannya saja?
"El, aku mau ikut." ujar William menghentikan Eli yang akan turun dari mobil.
"Hah? kak Wil serius?" Eli memandang William tidak percaya atas apa yang ia katakan barusan. Ia pikir William hanya memberikan tebengan saja untuknya.
"Yepp, aku ingin menemanimu. Jadi alasanku mengantarmu adalah ini."
Meskipun Eli masih tidak percaya akan tindakan William, tapi akhirnya gadis itu mengiyakannya. Lagipula tidak apa-apakan kakak tirinya itu mengunjungi makam mendiang Mamanya.
Mereka pun turun dari mobil dan kemudian menaiki jalan setapak menuju makam Sica yang medan jalannya memang sedikit susah. Namun pemandangan di sekitar sana juga terlihat indah, ditambah lagi dengan udara yang masih terasa sejuk. Eli yang berjalan duluan seraya menjadi penunjuk jalan untuk William yang baru saja mengunjungi tempat itupun berkali-kali menengok ke belakang memastikan keadaan William.
"Kak Wil kalau lelah boleh istirahat lebih dulu kok." ujarnya memberitahu William, sementara William hanya tersenyum menanggapi kekhawatiran Eli.
"Oh ayolah El, ini tidak seberapa. Aku pernah memanjat tebing puluhan meter sebelumnya, ini bukan apa-apa." jawab William begitu percaya diri.
Ya, Eli tidak heran jika kakak tirinya itu menganggap hal ini tidak apa-apanya karena dulu Eli juga tahu sendiri jika William suka sekali hiking dan mengunjungi tempat-tempat ekstrim.
Tidak berapa lama mereka pun tiba di makam Sica, Eli nampak menghela nafas lega. Akhirnya mereka tiba tanpa adanya halangan tidak seperti waktu itu, bahkan Eli belum sempat mengunjungi makam Mamanya.
"Ini makam Mamaku, kak." ucap Eli memberitahu William.
"Ma, bagaimana kabarmu? maaf ya, Eli jarang datang berkunjung." Eli berkata di depan makam Sica. Ia menghela nafas panjang, Eli merasa sedih sekali mengingat kepergiaan Sica yang ternyata bukan karena kecelakaan tapi gara-gara kelicikan Papanya sendiri.
"Ma, seandainya waktu itu aku ikut pergi, mungkin aku bisa menjagamu dari Papa," lirihnya.
"Mama, maafkan aku. Seharusnya aku tahu dari awal, aku berjanji akan membuat Papa mempertanggung jawabkan kejahatannya." ujar Eli bertekad sambil menangis sesenggukkan. Ia begitu menyesal, tapi disisi lain ia harus kuat demi Sica. Karena Eli tahu, Sica pasti juga tidak ingin melihatnya bersedih dari atas sana.
Sementara itu William yang tidak bergeming ditempatnya seakan turut merasakan kesedihan yang Eli rasakan. Ia pun turut duduk di samping gadis itu dan ikut berdoa untuk Sica, ia juga meminta maaf kepada mendiang Sica karena waktu itu tidak menolongnya. Dan sebagai gantinya, ia berjanji akan menjaga Eli dalam keadaan apapun.
"El, kau harus kuat." William mengatakan hal itu untuk membantu menenangkan Eli.
Eli menoleh ke arah William dan mengangguk sambil mengusap air matanya. "Iya, kak Wil, terima kasih."
"Ma, ini kak William. Dia orang baik, kak Wil yang memberitahu kejahatan Papa kepada Mama." ujar Eli ke makam Sica dan hal itu membuat William menghela nafas.
"El, aku tidak sebaik yang kau pikir."
"Kenapa kak Wil merendahkan diri sendiri? kak Wil memang orang baik kok."
Kau pasti akan sedih jika tahu aku tidak menolong Mamamu waktu itu. Batinnya, William menghela nafas, tiba-tiba ia merasa tangannya sedang digenggam seseorang. William melihat tangan Eli yang terasa mungil dalam genggamannya.
"Kak Wil, terima kasih sudah membantuku. Aku berjanji akan membalas semua kebaikan kak Wil suatu hari nanti." Eli tersenyum dengan tulus, William membalas genggaman tangan Eli.
"Kau tidak perlu membalas apapun, El. Karena sekarang kau tidak punya siapa-siapa, sebagai kakak aku wajib menjagamu."
Hati Eli menghangat, ia pun memeluk William dengan disaksikan makam Sica, Gadis itu benar-benar berterima kasih pada William, sementara pria itu hanya mematung diposisinya karena sikap Eli yang diluar dugaan.
"Terima kasih, kak Wil. Pokoknya terima kasih."
William mengangguk. "Sepertinya cuacanya makin panas. Apa kau masih ingin tetap disini?"
Eli menggeleng. "Ayo kita pulang." setelah pamitan dengan makam Sica, William dan Eli pun pergi dari sana.
Selama perjalanan pulang, mereka memutuskan untuk berhenti di salah satu restoran untuk makan siang. William lah yang merekomendasikan tempat itu. Dan seperti biasa, William selalu turun duluan dan membukakan pintu mobil untuk Eli.
"Astaga kak Wil, kau harus berhenti melakukan hal ini karena aku bisa melakukannya sendiri. Aku serius." ujar Eli sedikit mengomel.
"Tidak apa-apa, aku senang melakukannya."
William mengatakan kepada Eli untuk menggandeng tangannya, dan setelah masuk ke dalam restoran itu seseorang sudah menyambutnya.
"Selamat datang, bagaimana kabar kalian?" sambut orang itu.
"Leon?"
Ya, orang itu adalah Leon.
"Hai, Eli."
"Apakah ini restoranmu?"
"Ya, begitulah."
"Astaga, kau memiliki restoran tapi kenapa mau jadi dosen pembimbingku?"
Leon terkekeh mendengar pertanyaan Eli. "Tidak apa-apa, aku senang melakukannya. Lagipula pria disampingmu itu yang memaksaku, tapi never mind. Aku senang bisa mengajari orang pandai seperti dirimu."
Eli memandang William meminta penjelasan, sementara pria itu hanya mengedikkan bahunya tidak peduli.
"Sebenarnya kau tidak perlu repot-repot menjadi dosen pembimbingku karena aku ingin kembali kuliah seperti--"
"No, Eli. Pokoknya kau harus home schooling sampai lulus."
Eli menghela nafas,r ia tidak punya pilihan. Walaupun ia tidak tahu apa yang membuat William begitu melarangnya untuk datang ke kampus, tapi Eli tahu William punya alasan. Meskipun berat untuk menerimanya, Eli berusaha menghargai keputusan William. Ya, walaupun ia sudah rindu berat dengan Jane dan teman-temannya.