"Eva? Apa yang terjadi padamu? Mengapa kau lama sekali??" Tanya Jullian khawatir.
"Mum...."
"Ada apa dengan Mum?"
"Mum...dia...baru saja meneleponku, Vader."
***
(Beberapa menit sebelumnya)
Eva melangkahkan kakinya ketika ia tahu arah menuju toilet di cafe mewah ini. Menghembuskan nafas gusar, Eva segera memasuki toilet, kemudian membasuh tangannya.
Sebenarnya, pergi ke toilet hanyalah alibinya saja. Ia tidak tahu jika Jullian turut mengundang sang boss juga. Kecanggungan yang terjadi di antara mereka membuat Eva tidak nyaman. Toh, ujung ujungnya Jullian dan Allan akan berbincang tentang perusahaan mereka.
Mm, well....alasan lain Eva tidak ingin berada di antara mereka adalah, gadis itu malu. Ia malu berhadapan dengan Allan, ketika tadi malam baru saja berpikir yang tidak tidak tentang lelaki itu. Sontak hal itu membuat wajahnya kembali memerah. Sialan! Apa yang sebenarnya sedang terjadi disini??
Eva menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah merah, malu bercampur kesal itu membuatnya muak.
"Sejak kapan kau berubah menjadi sosok yang menjijikkan?" Gumamnya.
Triiingg!
Sontak bunyi nada dering handphone miliknya menggema, membuatnya terlonjak kaget. Dalam hati, wanita tu bernafas lega. Setidaknya, untuk saat ini ada suatu hal yang dapat menahannya beberapa saat untuk tidak bergabung dengan Jullian.
Nomor negara asing?? Tidak di kenal?? Dengan datar, Eva mengangkat telepon itu.
"Halo?"
"..."
"Halo??"
"..."
"Halo?? Jika Anda tidak berbicara, akan saya matikan teleponnya. Anda membuang buang waktu saya."
Bukannya terhibur, kekesalan Eva semakin bertambah. Siapa yang iseng menelepon dirinya seperti itu? Kurang kerjaan sekali mereka!
"Halo?? Dengar, siapapun Anda, jika tidak memiliki kepentingan—"
"Eva..."
Deg!
Suara ini... Eva sangat kenal dengan suara ini.
"...mum?" Gumamnya lirih.
Terdengar suara rapuh nan lirih milik seorang wanita di seberang sana.
"Kau....benar benar Eva ku??"
"Mum.....dari mana kau tau??"
Suara isakan terdengar jelas di telinganya, membuat Eva merasakan sakit di dadanya.
"Syukurlah kau baik baik saja! Pulanglah nak, mummy mohon..."
Eva menatap pantulan dirinya di cermin. Terlihat tatapan sendu, tak tega mendengar wanita itu menangis. Yang lebih membuatnya sakit adalah, wanita itu menangis karena dirinya.
Kini, Eva bimbang. Apa dia benar benar harus pulang?
"Ev?...kau masih disana, nak?"
Suara lembut itu lagi. Argg! Mengapa situasinya malah begini?? Niatnya ingin mencari hiburan, mengapa yang datang bukan hiburan??
Eva menelan ludahnya dengan susah payah.
"Mum...apa kabar??"
"Kabarku buruk sejak kau pergi dari rumah...kau juga tidak berpamitan padaku sejak saat itu...kau tau betapa sedihnya aku, melihat putriku, anakku satu satunya pergi meninggalkanku."
"..."
"Pulanglah, Eva. Mum ingin memelukmu."
Tak lama, hembusan nafas kasar keluar dari mulut Eva. Ia sekali lagi menatap pantulan cermin, mengatakan dengan yakin keputusannya. Perempuan itu, selalu membuatnya luluh.
"Aku akan pulang, Mum. Bersama Vader. Vader menjemputku untuk pulang. Mum tidak usah khawatir, hm? Maafkan aku karena telah meninggalkan Mum sendirian... maaf..."
"Aku menunggumu....Aku mencintaimu, nak."
"Me too, Mum."
***
"Eva? Apa yang terjadi padamu? Mengapa kau lama sekali??" Tanya Jullian khawatir.
"Mum...."
"Ada apa dengan Mum?"
"Mum...dia...baru saja meneleponku, Vader."
Jullian tampak terkejut sesaat. Begitu pula dengan Allan.
"Apakah yang mulia ratu mengetahui hal ini, Your majesty??" Tanya Allan.
Jullian memijit pelipisnya pelan.
"Dia pasti mencari tahu..." gumamnya pelan.
"Apa maksudmu, Vader??" Tanya Eva mengerutkan keningnya.
"Tidak. Bukan apa apa. Bagaimana dengan keputusanmu?? Kau akan pulang atau bagaimana?"
Mendengar pertanyaan dari Jullian membuat Eva reflek menoleh ke arah Allan. Lelaki tampan itu hanya diam, balik menatapnya. Mata lelaki itu seolah mengatakan 'semuanya terserah padamu'.
Akhirnya, gadis itu menghembuskan nafasnya gusar.
"Aku ikut dengan mu, Vader."
Ia kembali menatap ke arah Allan. Matanya mengatakan bahwa ia sebenarnya keberatan. Namun, dia tidak ada pilihan lain.
Jullian mengangguk setuju. Pria tua itu menatap Allan datar.
"Begitu lebih baik. Silahkan berpamitan pada keluargamu yang ada di sini. Lusa, kita akan berangkat ke Amsterdam."
Jullian tiba tiba berdiri,
"Ah, hampir saja lupa. Senang bekerja sama denganmu, Allan."
Eva dan Allan terus melirik Jullian yang melangkah keluar dari cafe. Terlihat pria tua itu memasuki sedan mewah, setelah pintu penumpang di buka oleh sang supir. Eva menyerngit. Kapan ayahnya menelepon supir??
"Mengenai penawaranku semalam..."
Suara Allan yang mengintrupsi tiba tiba membuat pandangan Eva teralihkan.
"Maksudmu??"
"Penawaran sepulang dari pesta itu. Ku pikir kau tidak amnesia." Ucap Allan menaikkan salah satu alisnya heran.
Walaupun raut wajahnya datar, nada intonasi dari suara pria itu menandakan kelembutan. Suaranya membuat Eva yakin bahwa Allan akan menunggunya jika ia berubah pikiran.
"Allan....apa yang sebenarnya terjadi??"
Awalnya, Allan tidak menggubris. Raut datarnya masih terpampang nyata. Saat lelaki itu melihat ke arah mata Eva, ia menyerah. Akhirnya, Allan menghembuskan nafasnya lelah.
"Untuk saat ini, ada baiknya kau ikuti perkataan ayahmu. Kau akan mengetahui semuanya nanti."
"Sebenarnya, mengapa kau sangat peduli padaku?? Mengapa kau sepertinya sangat akrab dengan ayahku??"
Allan terdiam.
"Ingatlah perkataanku. Percayalah kepada ayahmu terlebih dahulu. Jangan pernah berprasangka buruk padanya. Selain ayahmu, kau masih bisa mempercayai satu orang lagi. Tapi, itu tergantung keputusanmu."
Pasti ada yang tidak beres. Banyak pertanyaan ganjal yang merasuki pikirannya. Oke. Dari yang paling mudah. Pertama, mengapa saat ia menghilang 3 tahun lalu, Jullian tidak pernah mencarinya?? Tidak mungkin Jullian tidak bisa mencarinya. Kekuatan pria itu sangatlah tidak bisa di ragukan. Kedua, bagaimana Allan mengetahui dirinya dengan baik saat sedang menyamar?? Hebatnya lagi, bahkan wanita itu sudah memanipulasi ulang semua identitasnya. Baiklah! Anggap saja karena Roxy! Tapi bagaimana bisa Allan akrab dengan Jullian??
Setahunya, semua kolega bisnis ayahnya tampaknya begitu segan dengan beliau. Tentu saja karena sejujurnya, pangkat Jullian jauh di atas mereka. Jullian merupakan seorang raja, kerajaan monarki, pemimpin negara Belanda. Bilapun dekat, mereka hanya beberapa orang yang termasuk kategori manusia yang sangat di percaya oleh Jullian. Wanita itu sangat mengenali watak ayahnya.
Eva mengigit bibirnya frustasi. Masih banyak pertanyaan lain yang belum terjawab!! Pasti ada yang tidak beres! Pasti!!
"Baiklah. Anggap saja aku percaya dengan ucapanmu. Lalu setelah itu, siapa satu orang lagi yang bisa ku percayai, seperti katamu??"
Allan tersenyum kecut.
"Orang itu adalah aku."
-PrincessEscape-
——————————————————
-Even though I believe in you, it doesn't mean I can tell you everything-
——————————————————
I HOPE YOU LIKE IT!!
Thank you for always suport me!!
See you in next chapter!!
XoXo!
@deerouxx
@FranklinPrincess
Inst : @Qiqi_rz