Masuk ke dalam rumah, suasana benar-benar sepi. Layaknya tidak ada penghuninya. Persis layaknya pemakaman. Lebih parah lagi mungkin seperti hatinya, kosong!
"Bunda, Kilau pulang!" teriak Kilau. Mungkin itu adalah sesuatu hal yang bodoh yang selalu ia lakukan saat pulang sekolah. Nyatanya, Kilau sudah tahu jawabannya. Pasti Bundanya tidak ada. Tapi, tetap saja di lakukan. Berharap, siapa tahu Bundanya ada dan pulang cepat.
Benar saja, tidak ada siapapun menjawab. Hanya terdengar suara air aquarium, jam dinding, serta suara air pancuran di kolam renang yang ada di belakang rumahnya.
Kilau menghela napas. Sudah biasa. Situasi seperti ini tiap kali pulang sekolah. Bundanya itu sibuk bekerja di rumah sakit sebagai Dokter. Jadi, jadwalnya cukup padat. Bahkan, tiap harinya selalu pulang larut malam. Hingga, kesempatan mereka untuk bertemu cukup singkat. Hanya pada waktu sarapan pagi saja ia dan Bundanya bebas bertatap muka dan saling mengobrol satu sama lain. Selebih itu, jarang. Karena, Bundanya yang selalu pulang larut malam itu bersamaan dengan dirinya yang sudah terlelap bersama bunga tidurnya.
Kilau membaringkan dirinya di sofa ruang tengah, memejamkan matanya, dan membayangkan bagaimana keadaan ini jika berlangsung selamanya. Ia benar-benar kesepian!
Tiba-tiba dadanya sesak seperti di tusuk-tusuk. Mendadak dirinya kekurangan oksigen sehingga saluran pernapasannya terhambat. Kilau bergegas bangkit dan mengerayaki isi tasnya. Sial! Alat bantu pernapasannya tidak ada! Asmanya kambuh!
Kilau, panik!
Secepat mungkin, cewek itu berlari menaiki anak tangga rumahnya yang melingkar itu menuju kamar pribadinya di lantai atas, berharap bisa menemukan alat itu.
Brak!!
Kilau mendobrak pintu kamarnya kuat. Sehingga, menghasilkan bunyi yang sangat besar. Menggema ke seluruh penjuru ruangan. Kilau menjatuhkan air matanya karena sudah tak tahan akibat dadanya benar-benar sakit. Kakinya terasa lemas. Kepalanya pun pusing.
Suara bantingan-bantingan barang yang terhempas jatuh ke lantai menyeruak ke mana-mana. Tangan Kilau gemetar, sengaja ia menjatuhkan barang-barang yang ada di atas meja belajarnya yang membuatnya semakin pening karena tidak menemukan alat itu. Inhaler nya, hilang. Entah terjatuh di mana?!
Beruntung, ia menemukan obat tablet pereda asma di dalam laci meja belajarnya. Tanpa babibu, Kilau menelannya tanpa dibantu dengan air mineral. Langsung di masukkannya begitu saja.
"Uhuukk!!!"
Kilau justru tersedak karena obat itu di masukkan begitu saja tanpa minum air putih lagi. Kilau memukul-mukul dadanya yang sakit. Otaknya berpikir, ia harus segera minum air agar rasa sakit yang ada di dada dan tenggorokkannya berkurang.
Kilau pun keluar kamar dan kembali menuruni anak tangga secepat mungkin menuju dapur. Saat di bawah, ia berpapasan dengan saudara tirinya yang nampak barusaja pulang dari sekolah. Namun, Kilau sama sekali tak menyapa, saudara tirinya pun cuek saja. Meski, melihatnya dengan kondisi seperti orang yang hendak menemui ajal! Benar-benar cuek dan tak peduli!
Di teguknya air minum dalam botol mineral hingga tak tersisa sedikitpun. Kesan lega terlukis di wajahnya. Sekarang, kondisinya lumayan tenang. Kilau, kembali menutup lemari es dan menaruh botol air minum di atas meja makan. Kemudian, menarik bangku meja makan dan mendudukinya.
Kilau menyenderkan punggung badannya seraya memejamkan kedua matanya. Berusaha untuk menghirup oksigen sebebas yang ia mau. Kilau, berusaha mencoba menenangkan diri.
"Hah!" desahnya, lega.
Kini, kedua matanya kembali terbuka menatap langit-langit dapur. Tanpa di minta, air matanya turun. Kilau, merasa benar-benar sedih, sendiri, kesepian, dan tidak ada satupun orang yang peduli padanya. Tentang sakit asmanya itu, Bundanya pun tidak tahu. Ya, Kilau tidak pernah memberitahu kepada orangtuanya jika ia selama ini mengidap asma. Meski, Bundanya adalah seorang Dokter.
Sejak dirinya duduk di bangku Smp, Kilau menyembunyikan sakit asmanya itu pada sang Bunda. Karena, tidak mau membuat Bundanya khawatir. Itu saja! Cukup, ia saja yang tahu. Kilau, bisa menanganinya sendirian, kok! Pikirnya.
"Sampai kapan kayak gini," kata Kilau bermonolog sendiri menatap langit-langit dapur dengan tatapan sendu.
"Sendiri dan kesepian," tambahnya. Tanpa ia tahu, jika ucapannya di dengar oleh saudara tirinya yang hendak mengambil minum pula di dapur.
"Ekhem!"
Kilau menoleh.
🌵🌵🌵
Lingga menggerutuk kesal dalam hati. Melihat sikap neneknya yang terang-terangan menunjukkan sikap tidak suka pada Bulan. Membuat Bulan kerap kali terdiam atas perkataan neneknya yang kelewat pedas. Mulai dari neneknya yang mengomentari rambut Bulan yang kurang lebat, kurang hitam, kurang berkilau, kurang panjang, bahkan riasan dan penampilan Bulan yang juga di bilang serba kurang.
"Oma bisa nggak jangan ngomong begitu sama Bulan! Lingga nggak suka!" kata Lingga saat Bulan pergi ke dapur hendak mencuci piring.
Dengan mengunyah kue ulang tahun yang di bawakan cucunya, Rianti menjawab, "Oma nggak suka sama dia, manja."
Deg.
"Apa sih yang buat Oma nggak suka sama Bulan?! Bulan pernah bikin salah sama Oma?!" kata Lingga dengan nada emosi, namun suara yang pelan agar Bulan tidak mendengar.
Sejatinya, dari dapur Bulan tengah menguping di balik tembok.
"Nggak," jawab Omanya singkat.
Lingga mendengus kesal, bahkan kedua tangannya terkepal. Rianti, menyadari itu. Namun, tetap bersikap biasa saja.
"Terus apa? Kenapa?! Asal oma tahu, Bulan itu perempuan yang baik, pintar masak, perhatian, peduli, dan Jago dalam segala hal. Bahkan, bagi Lingga Bulan itu mendekati kata sempurna!"
Deg.
Bulan cukup kaget dan terhanyut dengan pujian itu, namun perasaan itu tidak berlangsung lama.
Rianti berhenti mengunyah, ia letakkan garpu di atas piring kecil. Kemudian, meneguk segelas air putih yang tersedia sejak tadi di atas meja.
"Itu pendapatmu, tapi enggak bagi Oma."
Setelah berkata demikian, Rianti bangkit dari duduknya. Perempuan yang sudah menginjak usia 57 tahun itu memutuskan untuk pergi melanjutkan aktifitas senamnya yang tertunda sejak kedatangan cucu dan teman cucunya itu tiba-tiba. Meski, sudah tua ia tetap menjaga daya tahan tubuhnya dengan berolahraga, senam.
"Oma benar-benar udah kelewatan! Tahu gitu, Lingga nggak akan ke sini!"
Mendengar ucapan dari cucunya, membuat Rianti menghentikan langkah kakinya dan berbalik badan.
"Kamu menyesal kasih kejutan untuk Oma, Lingga?"
Perkataan itu membuat langkah Lingga terhenti saat hendak menyusul Bulan ke dapur. Jujur, ia jadi merasa tidak enak.
"Jadi, kamu nggak ikhlas gitu sama Oma!"
Lingga semakin di selimuti rasa bersalah. Akhirnya, memutuskan untuk kembali berbalik badan dan melihat wajah neneknya.
"Maaf, Oma. Lingga nggak maksud begitu! Lingga senang kasih kejutan Oma, walau hanya sekedar kue ulang tahun yang nggak seberapa. Tapi, jujur Lingga nggak menyesal sama sekali, kok!" kata Lingga dengan ekspresi seakan memohon agar neneknya itu tidak salah paham.
"Tapi, omongan kamu barusan itu terkesan penuh penyesalan!" jawab Omanya tegas.
Lingga memlototkan matanya, kaget. Terlebih sang nenek membanting pintu kamarnya kuat. Ya, neneknya masuk ke dalam kamar, karena merajuk.
Lingga berlari menghampiri pintu kamar sang nenek. Kemudian, mengedor-ngedor pintu kamar sang nenek sambil memohon agar sang nenek keluar kamar dan memaafkannya.
"Oma, maafin Lingga."
Tidak ada jawaban.
Semua pelayan di rumah sang nenek melihat Lingga, iba. Ada juga yang karena baru datang, kebingungan. Sampai bertanya-tanya pada pelayan rumah yang lain.
"Oma... Lingga nggak ada maksud kayak tadi, kok. Beneran!"
Tetap tidak ada jawaban.
Bulan, yang ada di dapur melihat semua pertikaian itu. Berusaha menahan air matanya. Karena, sebab dirinya cucu dan neneknya itu berantem??
Lingga pasrah. Karena, sang nenek tidak kunjung bersuara. Jujur, ia sangat merasa bersalah sekali. Apakah dirinya menyakiti hati sang nenek????
"Yaudah, Oma. Lingga pamit pulang, lain kali kalo ada waktu main kesini lagi."
Bulan bergegas mencuci piring yang hanya segelintir itu, ketika melihat Lingga berbalik badan dan hendak berjalan ke dapur. Cewek itu pura-pura tidak tahu apa-apa.
"Lan," panggil Lingga. Membuat Bulan segera menoleh dan mematikan air keran.
Bulan melayangkan senyuman palsu. "Iya, Ga?"
"Kita pulang, yuk."
"Oke."
"Sini, gue bantuin biar cepet," kata Lingga dengan mengambil alih posisi Bulan. Bulan mau tak mau menggeserkan dirinya ke samping kanan.
"Maafin, atas sikap Oma ya, Lan. Omongannya yang nilai kamu begitu, jangan di masukkin ke hati," kata Lingga tanpa melihat wajah Bulan. Cowok itu sibuk membilas piring.
Bulan menepuk pundak kanan Lingga, dan berkata, "Iya, Ga. Santai aja. Aku juga nggak terlalu mikirin, kok."
Deg.
Lingga tertegun akan suatu hal. Cowok itu reflek mematikan air keran kembali dan menoleh melihat wajah cantik dengan senyum manis bak gulali, baginya.
Sambil menyipitkan matanya, Lingga berkata pada Bulan, "Ngomong apa tadi??" Bulan, mengerutkan keningnya. Lingga kembali berucap, "Aku?????"
Bulan, mengerti. Tadi itu ia menggunakan kata 'Aku' bukan seperti biasanya 'Gue'.
Plak!
Satu pukulan pelan di terima Lingga di lengan kanannya. Bulan tersenyum malu dan berkata, "Biasa aja kali! Jangan baper!"
"Iya sih baper," jawab Lingga dengan kekehannya.
Bulan, terkekeh pula. "Lanjutin lagi bilasnya, katanya ngajak pulang," kata Bulan.
Lingga mengindahkan ucapan itu. Sambil membilas piring Lingga bicara, "Setiap hari lo panggil pake Aku-Kamu boleh, Lan."
Deg.
"Biar lebis manis aja di dengernya!" sambung Lingga
"Ck, nggak!"
"Ih, kok gituh?!" sambar Lingga, dan kini kembali berhenti membilas piringnya.
"Geli! Tadi itu kan cuma asal ngomong aja, Ga!"
Ucapan itu membuat Lingga mengepoutkan bibirnya ke bawah. Bulan terkekeh saja.
Tiba-tiba, Lingga berkata membuat Bulan terdiam dan bertanya-tanya, "Kapan sih peka-nya!" kata Lingga dengan desahan di akhir kata. Desahan, kesal??
"Lo nyumpahin gue budek, Ga?"
"Hah?"
🌵🌵🌵