Chapter 10 - 10

Pasti ada saat di mana seluruh penduduk sekolah merasa tegang dan takut, ketika Wakil Kesiswaan mengadakan razia dadakan yang bekerjasama dengan murid Osis. Suatu hal yang di katakan adalah mimpi buruk seluruh murid di sekolah. Terlebih bagi mereka yang dasarnya suka tidak mentaati aturan.

Seperti halnya sekarang. Tepatnya di kampus B. Para murid cowok, semuanya tengah berbaris panjang di luar kelas. Sedangkan, para murid cewek. Tetap berada di dalam kelas. Menunggu giliran pak Buntut merazia para murid cowok terlebih dahulu.

Mulai dari atribut sekolah yang tidak lengkap, aksesoris berlebihan, rambut panjang, rambut yang di warna, kuku panjang, kuku yang di warna, celana pensil, rok sekolah di atas lutut, seragam yang sempit, bahkan razia make up berlebihan dan alat-alat make up -nya.

Satu persatu di periksa oleh Pak Buntut, selaku Wakil Kesiswaan. Di bantu dengan anak-anak Osis.

Pak Buntut masih setia dengan alat cukur rambut di tangannya. Yakni, benda keramat yang selalu di jadikan tameng utama oleh pak Buntut kepada muridnya yang laki-laki.

Pak Buntut berjalan melewati murid yang sudah di periksa.

Tibalah orangtua itu berdiri di hadapan murid yang ia kenal biang dari segala biangnya murid nakal di sekolah. Pak Buntut memelototi muridnya yang ia sadari melanggar aturan. Tak tinggal dengan ekspresi garangnya. Dilihat pak Buntut, muridnya kini berkeringat bercucuran jatuh dari pelipis.

Tatapan mata pak Buntut tertuju pada rambut muridnya. Sang empu yang diperhatikan adalah, Untung Luganda.

"MASIH NGGAK KAPOK YA KAMU, UNTUNG!"

Untung, meringis.

"SUDAH TERLALU SERING SAYA PERINGATKAN KAMU, RAMBUT TIDAK BOLEH PANJANG. KARENA, DI NILAI TIDAK RAPI! TERPAKSA, RAMBUTMU HARUS DI PETAL!"

Untung tersentak, kaget. "ADUH! JANGAN DI PETAL DONG, PAK! ENTAR JELEK GIMANA!"

"SALAH SIAPA LANGGAR ATURAN!"

"MAUNYA SIH KEMAREN MOTONG RAMBUT, PAK! CUMA, LUPAAN!" alasan Untung.

"ALASAN!"

Untung, pasrah. Ketika, tangan pak Buntut sudah menyentuh rambutnya dengan alat itu.

Entah bagaimana penampilan rambutnya, setelah berhasil di petal oleh pak Buntut. Pak Buntut tersenyum bangga, sekali memperlihatkan smirk-nya.

"KALO NGGAK MAU DI PETAL. JANGAN LANGGAR ATURAN MAKANYA!" kata pak Buntut dengan mata yang melotot.

Untung, berdecak kesal. Dalam hati ia mengumpat. Matanya memicing tajam melihat Kaming yang berdiri di sebelah kiri tertawa mengejek.

"INI LAGI SATU!"

Kaming, terdiam. Kepalanya pun jadi menunduk ke bawah, tak berani melihat wajah pak Buntut yang garang dengan kumis tebal setia bertengger di bawah hidungnya.

Untung berbisik, "Mampus!"

"TIDAK BOLEH PAKAI AKSESORIS!"

Kaming, meringis.

"MAU JUALAN KAMU DI SEKOLAH!"

"Maunya," jawab Kaming. Berhasil, mendapat pelototan dari pak Buntut. Kaming meringis kembali. Karena, pelototan itu.

"Ya ya, pak! Ampun!" kata Kaming, takut.

Pak Buntut langsung merampas gelang dan kalung yang bertengger di pergelangan tangan dan leher si Kaming. Kemudian, pak Buntut masukkan ke dalam karung yang di pegang oleh murid Osis.

"KAMING NGGAK SEKALIAN DI PETAL JUGA TUH RAMBUTNYA, PAK?" kata Untung seraya melirik  Kaming.

Kaming menyambar, "MANA BISA! EMANG DASARNYA BEGINI, PAK!"

"Saya bingung mau gimanain rambutnya!" jawab pak Buntut. Perkataan itu mengundang kekehan dari Padu dan Lingga.

Pak Buntut kembali berjalan melewati Kaming, kini matanya tertuju pada warna rambut yang cokelat kemerah-merahan. Mata pak Buntut melotot, hidungnya mendenguskan napas kasar. Sang empu yang di tatap meringis. Dengan rasa tanpa bersalah, ia menyapa pak Buntut. "Hallo, pak Buntut."

"SIAPA YANG SURUH KAMU WARNA-WARNAIN RAMBUT BEGITU, PADU!"

Padu, terloncat kaget. Matanya memejam. Tatkala, terkena cipratan air ludah pak Buntut. Anjiirr!

"Berendem aer mawar tujuh malam lo!" bisik Menang kepada Padu.

"JAWAB!"

PLAK!

Padu, meringis kesakitan. Ketika, pak Buntut mengeplok jidatnya.

"ADUH PAK! YANG LAEN NGGAK ADA DI GAPLOK! KOK, SAYA DI GAPLOK SIH?!" kata Padu cemberut seraya mengosok-gosok jidatnya yang sakit.

Pak Buntut berkacak pinggang. "CUMA KAMU YANG WARNAI RAMBUT COKELAT KEMERAH-MERAHAN KAYAK BEGITU. TERPAKSA SAYA BUAT BOTAK!"

"HAH APA?!"

Semua kaget. Padu lebih kaget lagi. Semua mata menatapnya iba. Padu gelagapan. Komplotannya, terkekeh.

"ADUH, PAK! JA-JANGAN DI BIKIN BOTAK DONG! PETAL AJA DEH!" mohon Padu. "JANJI, NGGAK LAGI-LAGI DEH, PAK. ABIS PULANG SEKOLAH, LANGSUNG SAYA WARNAIN ITEM LAGI DEH, KEK MUKENYA KAMING. SERIUS!" kata padu sambil menunjukkan jari peace.

Kaming yang sebal di katai oleh Padu, meski kenyataannya memang benar, menimpal. Kaming tidak terima. "UDAH PAK BOTAKKIN AJA! BIAR KAPOK!"

Deg.

Padu menoleh ke arah Kaming yang kini tersenyum miring. "Awas ya lo, Ming!" umpat Padu sambil melototkan matanya. Kaming hanya memasang wajah seolah bilang, "Gue gitu loh!"

"DIEM KAMU! KALIAN TUH SAMA AJA!" sambar pak Buntut. Padu tersenyum kemenangan melihat Kaming di omeli. "EMANG DASAR SUSAH DI BILANGIN! MAU JADI APA NANTI!"

Untung menimpal, "JADI ORANG GANTENG, PAK! BIAR BISA JADI ARTIS! KALO JADI ARTISKAN BANYAK DUITNYA, YA NGGAK!" kata Untung dengan cecengasan.

Murid Osis yang setia menemani pak Buntut, menggeleng-geleng kepala saja. Sedangkan, teman-teman Untung hanya menatap Untung dengan tatapan seolah bilang, "Nyali lo boleh juga!"

Mata pak Buntut semakin melotot seakan hampir keluar. Rahangnya mengeras karena ucapan muridnya si Untung Luganda! Karena, kesal. Pak Buntut melayangkan gaplokkan singkat di pantat Untung.

PLAK!

Untung mengadu kesakitan. "ADOH! AM-AMPUN, PAK!"

"BERANI BANGET KAMU BILANG BEGITU KE SAYA. MAU SAYA PANGGIL ORANGTUA KAMU BIAR DATANG KE SEKOLAH!"

"JA-JANGAN, PAK!"

"ATAU MAU SAYA SKORS AJA!" ancam pak Buntut.

Lingga menimpal, "YAH.. KALO BAPAK SKORS, KESENANGAN ATUH SI UNTUNGNYA, PAK! KEENAKAN MALAH NGGAK BELAJAR!"

"BENER TUH, PAK!" sambung Kaming.

"SAYA JUGA MAU!" sambung Padu.

"HEH!" bentak pak Buntut. Semua jadi diam menundukkan kepala, takut. "KURANG AJAR KALIAN!"

"PADU!" panggil pak Buntut dengan lantang. Hingga suaranya menggema dari ujung ke ujung koridor. Semuanya serentak melihat ke arah pak Buntut.

"IYA PAK!" jawab Padu lebih lantang.

"JANJI NGGAK AKAN NGULANGI LAGI KESALAHAN KAMU!"

"SIAP IYA, PAK! SUER DEH!"

Pak Buntut menghela napas. "YASUDAH SAYA KASIH KERINGANAN."

"ALLHAMDULLILAH!"

Pak Buntut menyentuh rambut kepala Padu dan mulai mencukurnya asal. Tak apalah, pikir Padu. Daripada harus di botakkin. Kan nggak lucu!

"HAI PAK BUNTUT!"

Pak Buntut memperhatikan muridnya yang berbadan besar itu. Di awal tidak terlihat ada yang salah. Sang empu yang di perhatikan itu adalah Menang. Dalam hati, Menang berdoa mati-matian supaya pak Buntut tidak menyadari jika dirinya tak memakai ikat pinggang.

Pak Buntut sempat kecolongan sejatinya. Orangtua itu hendak berjalan kembali, namun beruntung. Ya, beruntung murid Osis yang mendampinginya menegur Menang dengan bilang, "Nang, lo nggak pake ikat pinggang ya?"

"EMANG RESEK LO YA, PATKAI!" sambar Menang kepada anak Osis itu.

PLAK!

Satu tabokkan di kepala murid Osis itu di layangkan oleh Menang menggunakan buku tulis yang di pegangnya.

"NYEBELIN BAT LO AH!" kata Menang kesal dengan pelototan mata yang hampir keluar. Begitupun dengan komplotannya yang merasa tidak suka dengan murid Osis itu.

Pak Buntut pun menghentikan langkahnya, kembali menatap Menang. Fokus, ke arah pada pinggang muridnya itu. Setelah di cek, memang benar. Menang tidak mengenakan ikat pinggang.

"KAMU MAU BOHONGIN SAYA, YA?" kata Pak Buntut melotot.

Menang, gugup. "EHEE. ENGGAK PAK!"

"MENANG!"

Menang kaget. "EEH IYA PAK, SIAP!" jawabnya dengan gaya hormat.

"KAMU TAHU KAN, HUKUMAN BAGI MURID YANG TIDAK MEMAKAI ATRIBUT LENGKAP!"

Menang ingat peraturan sekolahnya. "ADUH PAK! JANGAN DONG! ENTAR KALO SAYA PINGSAN GIMANA?!"

Pak Buntut, mendengus. "NGGAK ADA ALASAN! SILAKAN KELUAR BARISAN DAN KUMPUL DI LAPANGAN BASKET. BERGABUNG DENGAN MURID YANG LAIN DI SANA!"

"TAP-TAPI, PAK!"

"SE-KA-RANG!" titah pak Buntut.

Menang menghentakkan kakinya. Ia pasrah. "AYO IKUT GUE!" kata Menang pada komplotannya.

Serentak mereka menjawab, "DIH OGAH!"

"SONO LO! SENDIRIAN AJE SONO!" timpal Untung.

Kaming menyambung, "KALO NGAJAK MAKAN BARU MAU GUE!"

Sembari menjauh Menang berkata pada komplotannya, "ENGGAK SETIA KAWAN LO PADA!"

Menang pun pergi dengan langkah gontai terkesan malas-malasan. Di perjalanan, ia bertemu Rebejo yang ternyata bernasib sama.

"EH, SINI LO!" panggil Menang. Rebejo menoleh.

"BARENG AJE!" Rebejo mengangguk.

"KENAPE LO?" kata Menang.

Rebejo menjawab, "NGGAK PAKE KAOS KAKI."

Menang kaget. Lalu, matanya melihat kaki Rebejo. "UDAH GILE LO! SEKOLAH NGGAK PAKE KAOS KAKI! WAH KELEWAT MALES LO!"

"GERAH!" jawab Rebejo yang biasa di panggil Bejo.

"KAOS KAKI LO MANE?"

"GUE TARUH DALAM LOKER!"

Menang teringat sesuatu.

PLAK!

Rebejo mendapatkan pukulan di perutnya oleh Menang, lalu memandang heran. Apa salahnya?!

"OO. JADI, BAU BUSUK YANG SELAMA INI DI DEKAT LOKER GUE ITU. BERASAL DARI KAOS KAKI ELO?!" kata Menang. Ya, sejatinya setiap kali Menang berada di loker. Pasti, ada saja bau busuk yang menyeruak ke dalam lubang hidung. Entah, bau busuk apa. Namun, yang jelas berasal dari salah satu loker milik salah satu murid. Mungkin, loker yang selalu mengeluarkan bau busuk itu adalah loker milik, Rebejo.

Akhirnya, Menang menemukan tersangkanya.

"EMANG SIALAN LO!" Rebejo meringis.

"ENTAR LO KUDU KELUARIN TUH KAOS KAKI! BAUNYA UDAH KEK BANGKEK! WAJAR AJA, GUE SELALU NYIUM BAU BUSUK TIAP KALI KE LOKER GUE, TERNYATA ELO BERULAH!" kata Menang dengan pelotottan mata yang hampir keluar.

Lain itu,

Lingga tersenyum bangga. Ketika, dirinya sama sekali tidak di omeli pak Buntut. Semua memandangnya tidak percaya.

"Tumben, nggak ada yang salah," kata pak Buntut heran. Begitupun komplotannya.

"Ya dong, pak! Saya udah mulai berubah jadi lebih baik. Karena, belajar dari pengalaman!" kata Lingga di akhiri senyum penuh kebanggaan.

Komplotannya hanya menunjukkan ekspresi ingin muntah.

"NAH ITU BAGUS!" timpal pak Buntut menunjukkan jempolnya. "CONTOH LINGGA, DIA SADAR NGGAK AKAN LAGI NGULANGIN KESALAHANNYA. BAGUS PERTAHANKAN!"

"SIAP GERAK! PAK!" jawab Lingga dengan gaya hormat.

"BEGINI BARU SAYA SUKA!"

Pak Buntut berjalan melewati Lingga. Aman. Namun, murid Osis yang masih tidak menyangka jika Lingga tidak melakukan pelanggaran, masih terus memperhatikan Lingga. Hingga, Lingga risih dan berkata, "APA LO LIAT-LIAT! MAU NYARI KESALAHAN GUE!" kata Lingga dengan ekspresi galaknya.

Murid Osis itu menelan ludah. Lalu, langsung membuang muka dan mengekori pak Buntut.

Lingga langsung menoleh ke arah kanan, ketika komplotannya  mengabsen segala atribut yang ia kenakan.

"DASI PAKE!"

"IKAT PINGGANG PAKE!

"SERAGAM DI MASUKIN!"

"CELANA OKE!"

"RAMBUT RAPI!"

"KAOS KAKI PUTIH!"

Lingga hanya diam memperhatikan dengan tatapan datar. Semua menggaruk-garuh belakang kepala yang tidak gatal itu, karena heran. Yang mereka tahu, Lingga itu tidak pernah pakai dasi, apalagi baju seragam yang di masukin. Kecuali, emang tahu bakal ada razia. Ini kan razianya dadakan? Kok, bisa Lingga mentaati aturan. Begitulah pikir mereka.

Untung berkata, "TUMBEN LO NGGAK KENA?!"

Padu menyambung, "JANGAN-JANGAN LO UDAH TAHU YA, KALO BAKAL RAZIA? WAH! JAHAT BANGET LO, GA. ENGGAK NGASIH TAHU KITA, GILA BENERR!" tuduh Padu.

Lingga mengerutkan keningnya. Ia tidak terima di tuduh begitu. "JANGAN ASAL NGOMONG LO, DU! JUJUR, GUE MANA TAHU KALO BAKAL ADA RAZIA. MUNGKIN, HARI INI EMANG KEBERUNTUNGAN GUE. TAPI, ENGGAK BUAT KALIAN!" jawab Lingga.

Kaming yang sejak tadi memperhatikan Lingga, berhasil menyadari sesuatu yang janggal.

"Dasi punya nya siapa yang lo colong, Ga?!"

Semua kaget. Kemudian, memperhatikan dasi yang di pakai Lingga.

Lingga, berdehem. "Emang bukan punya gue, cuma nggak tahu kenapa ada di dalam tas." Tanpa komplotannya tahu, jika ia tengah berbohong.

Untung mendengus. "SESUATU YANG LANGKAH AJA, KALO LO PAKE DASI SENDIRI, GA! TERNYATA DASI ORANG!" kata Untung dengan gaya berkacak pinggang.

"SIRIK BILANG LO!" sambar Lingga.

"KENAPA JADI PADA ARISAN KALIAN! PADU, LINGGA, KAMING, UNTUNG!"

Suara lantang pak Buntut, menganggetkan mereka. Serentak, ke empat cowok itu kembali berbaris rapi.

Di lapangan basket,

Menang menarik tangan Bejo agar cowok itu cepat berjalan. Menang menarik Bejo sekuat tenaga. Bejo berusaha mati-matian menyamai langkah Menang.

"HADOH! CAPEK BANGET GUE NGAJAK LO JALAN! UDEH KEK BAWA JEMBATAN TAHU NGGAK!" kata Menang dengan suara yang besar. Sehingga, membuat semua yang sudah lebih dulu berbaris di lapangan menoleh ke arahnya.

"ITU YANG DI SANA BURUAN BARIS!" teriak buk Dori. Selaku guru piket pada hari itu.

Menang pun kembali menarik Bejo untuk cepat masuk barisan. Bejo yang di tarik-tarik sejak tadi hanya menurut pasrah.

Buk Dori menggeleng-gelengkan ke palanya ke kanan dan ke kiri, melihat kehadiran Menang yang baru saja masuk barisan dan itu membuat rusuh murid yang lain. Karena, Menang dengan seenak jidatnya mengambil posisi murid lain begitu saja, dengan alasan tempat di belakang itu panas. Sedangkan, di barisan depan itu adem. Murid yang terusir itu pasrah saja. Kebetulan, junior si Menang.

"NGGAK PERNAH KAMU ITU BERMASALAH YA, MENANG?!" kata buk Dori dengan mistar besi kecil di tangannya.

Menang meringis.

"MANA KOMPLOTANMU YANG LAEN!"

Menang paham, pasti maksudnya. Lingga, Padu, Untung, dan Kaming.

"Mereka nggak, buk. Cuma, saya aja!"

Buk Dori melotot karena kaget. "JANGAN BOHONG KAMU!"

"SUMPAH BUK! NGAPAIN JUGA SAYA BOHONG. EMANG BAKAL DAPET DUIT SEGEPOK. KALO, SAYA BOHONG SAMA IBUK. KALO IYA, SEJAK DARI DULU SAYA LAKUIN!" jawab Menang

Buk Dori mendengus. "Yaudah kalo gitu!"

Setelah berucap demikian, buk Dori kembali lagi ke posisinya di awal. Yakni, di atas mimbar. Tempat yang biasa di jadikan kepala sekolah untuk beramanat saat upacara bendera dan apel pagi.

Buk Dori mulai berfatwa. Semua pun memperhatikan dan mendengarkan dengan saksama.

"SEMUA YANG ADA DI SINI. SILAKAN AMBIL POSISI SHIT UP!"

"HAHHHH???"

Buk Dori sadar salah ucap. "MA-MAKSUD SAYA SKOT JUMP!"

Semua pun menurut dan mengambil posisi skot jump!

"MULAI HITUNG DI PIMPIN SAMA MENANG! YANG MULUT PALING GEDE!"

Menang pun menurut. Sebelum itu, Menang bertanya, "SAMPAI BERAPA KALI BUK DORI?"

"HITUNG AJA! SAMPAI SAYA SURUH BERHENTI-BERHENTI!"

Semua murid berdehah kecewa. Ya, buk Dori tidak memberikan mereka kepastian.

Menang pun mulai menghitung. Setiap kali ia bersuara, semuanya mengikuti.

"SATU!"

"SATUUUUUUUUUUU!!!!!"

"DUA!"

"DUAAAAAAAAAAAA!!!!!"

"TIGA!"

"TIGAAAAAAAAAAAA!!!!!"

"EMPAT!"

"EMPAAAAATTTTTTTT!!!!!"

Menang sudah merasa lelah dan ngos-ngosan. Sehingga, hitungannya itu terhenti sejenak. Menang menghirup napas sebanyak yang di inginkan.

"KENAPA BERHENTI?! EMANG SAYA SURUH BERHENTI!" teriak buk Dori dari atas mimbar.

"ADUH BUK! BENTAR! BENGEP NIH SAYA BUK! RASANYA KAYAK NYAWA DI AMBANG-AMBANG!'

"COY COY COY!" sahut salah satu murid dengan omongan Menang.

"ALASAN AJA KAMU! BADAN AJA YANG GEDE! BARU SEGITU DOANG LEMBEK!!"

"IBUK KALO NGGAK PERCAYA. COBA DEH IKUT SKOT JUMP!"

Perkataan Menang membuat buk Dori marah dan turun dari mimbar. Menang melotot kaget, apakah dia membuat satu kesalahan besar?? Semua jadi was-was dengan Menang dan penasaran dengan apa yang akan di lakukan oleh buk Dori.

PLAK!

Ketika buk Dori sampai di hadapan Menang. Satu pukulan terlayangkan kepada Menang di puncak kepalanya. Meski tidak begitu kuat, rasa sakit masih sedikit terasa. Membuat Menang meringis.

"MAKSUD KAMU! KAMU NYURUH IBU UNTUK IKUT DI HUKUM KAYAK KALIAN GITUH?!"

"ENG-ENGGAK GITU, BUK!" jawab Menang, takut.

"AWAS KAMU! BERANI JAWAB-JAWAB LAGI. BISA SAYA BIKIN KURUS KAMU HARI INI!" kata buk Dori, sejatinya marah. Namun, Menang menganggapnya sebagai sesuatu yang WAH!

"HAH?! YANG BENER BUK! SAYA MAU DEH KALO GITU JADI KURUS KALO DALAM SEHARI BISA!" kata Menang senang. Semua yang mendengar memandang ekspresi seolah bilang, "AH BUSET, YANG BENER AJA LO!"

Buk Dori mendengus kesal dan menggeleng-gelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Pikirnya, percuma bicara dengan muridnya yang satu itu. Akhirnya, buk Dori pun memilih untuk kembali ke atas mimbar.

"HITUNG LAGI MENANG!!"

Menang bersecak sebal. Terpaksa menuruti.

"LIMA!"

"LIMAAAAAAAAAAAAA!!!!"

Menang berdecak, sekali melirik seseorang yang ada di sebelah kirinya. Menang, kaget. Ketika, baru sadar jika di sebelahnya kini, yang turut menjalani hukuman adalah cewek yang namanya, Kilau.

"KENA JUGA LO?!" kata Menang, reflek. Kilau menoleh, namun tidak menjawab apa-apa.

"MENANG HITUNG LAGI!"

Menang tersentak kaget dengan suara nyaring dan menggelegar gurunya satu itu.

"IYE BUK!"

Menang mengambil napas sebanyak-banyaknya dan berteriak, "ENAAAAAAMMMMMMM!!!!!"

Semua tak bergerak melanjutkan skot jump. Namun, pingsan. Sedikit berlebihan! Tapi, begitulah adanya. Karena, teriakan barusan membuat gendang telinga mereka sakit, hingga kepala pusing.

🌵🌵🌵