Suasana warung mpok Yoona, di baca Yuna. Heboh.
Heboh dengan suara anak-anak Sma Angkasa yang memang sudah menjadi pelanggan setia di siang hari begini.
Seperti halnya Lingga Cs yang kini tengah duduk-duduk sambil makan gorengan mpok Yoona, yang sudah jadi kebiasaan mereka setiap pulang sekolah, hanya untuk sekedar nongki-nongki. Kalau, jam sudah menunjukkan pukul 3 sore barulah mereka bergegas pulang. Sekali bersilaturahmi dengan anak-anak dari sekolah lain yang juga sering nongkrong pula di warung mpok Yoona, katanya.
Untung berteriak heboh, "ASEK BANGET JADI LINGGA, DAPET SURAT CINTA EUY DARI SOMEONE!"
"NANG, BURU BACAIN SURATNYA!" desak Padu yang penasaran.
"Apaan sih! nggak usah di baca keras-keras!" kata Lingga, lalu kembali menyeruput es cendolnya.
Menang pun berdiri dari bangkunya dan mulai melihat tulisan di atas kertas tersebut. Sebelum membacanya cowok itu berdehem keras. "EKHEM!"
Kaming, memepetkan wajahnya dan turut di majukan untuk melihat isi surat itu, berdiri di sebelah kiri, Menang.
"SURAT IZIN PERMOHONAN SUKA! ANJAY!"
Semua terkekeh.
"SUKA AJA PAKE MINTA IJIN DULU YAK! UNIK NIH ORANG!" kata Menang.
"DENGAN INI SAYA MENYATAKAN! Udah kek proklamasi aja lo!"
Untung menggetok kepala Menang dengan sendok dan bilang, "BACA TERUS! JANGAN DI KOMENT DULU. ORANG PADA BINGUNG JADINYA!"
Menang berdecak sambil melirik Untung sebentar.
"CK, IYA ELAH!"
Menang berdehem kembali. "EKHEM!"
"DENGAN IN-" ucapannya terpotong. Karena Lingga menyela, "JANGAN BACA KERAS-KERAS!" Lingga sudah memelototkan matanya pada Menang.
Menang berdecak sebal.
"Dengan ini, saya menyatakan kepada saudari Lingga Sambara untuk berkenan memberikan izin kepada saya untuk menyukai saudari. Besar harapan saya untuk saudari terima. Sekian, terima kasih. KA 11. IPA. TANDA LOPE!"
Semua tertawa geli sambil memandang, Lingga. Lingga nampak biasa saja. Peduli enggak!
Untung menyambar surat yang di pegang Menang. Lalu, melihat kembali. "KA???" Untung menjeda sebentar. "ELO, NANG. YANG NGASIH SURAT KE LINGGA. K-A, KEMENANGAN ANANDA!"
Menang langsung menyambar.
"YE ENGGAK MUNGKIN LAH!"
"INI JELAS KA. KATANYA?!" kata Untung menunjukkan kertas itu.
Padu berkata, "Seketika jiwa dispatch ku keluar."
"K-A, SEBELAS IPA! GUE IPS! GINI-GINI GUE DEMEN BETINA, GEBLEK! GUE LAKI!"
"Lah???? Jadi, itu surat dari anak IPA??" kata Padu menatap wajah Lingga yang asik mengunyah pisang goreng sambil bermain handphone.
"Berarti, tuh orang masuk ke kelas kita dong. Kapan??" kata Padu, lagi.
Semua jadi berpikir, iya juga kan.
"Ah, pasti pwas kelas lagwi kosong," kata Kaming yang kini mengunyah mie ayam.
"Omongan lo nggak berbobot banget, Ming!" sambar Untung. Lalu, cowok itu duduk. Di ikuti pula oleh Menang. "YA PASTILAH NIH CEWEK NARUH SURAT PAS LAGI NGGAK ADA ORANG, SUPAYA ENGGAK KETAHUAN! GEBLEK!" kata Untung.
"GA, LO ENGGAK PENASARAN SAMA YANG NGIRIM??" kata Menang, lalu mengunyah bakwan goreng.
"LO NGGAK BAPER?" sambung Untung.
"Biasa aja!" jawab Lingga. Lalu, menyeruput kembali es cendolnya. Setelah, pisang gorengnya habis di telan. Cowok itu tidak begitu peduli.
Padu, merampas surat yang di pegang Untung dan kembali membacanya sendiri.

"K-A???" Padu, berpikir keras. Matanya pun mengarah ke atas. "Anak Ipa, ya??? Hemm??"
Lingga, geleng-geleng kepala singkat melihat teman-temannya. Dirinya yang dapat surat saja tidak begitu peduli dan ingin tahu. Nah, teman-temannya begitu ingin tahu dan penasaran sekali.
"Gue aja nggak peduli. Lo lo pada kepo begitu!"
"Ya kepo aja, Ga! JARANG-JARANG ADA YANG KAYAK BEGINI NIH! PASTI NI CEWEK LANGKAH!" kata Untung. "GUE DEMEN YANG BEGINI NIH!"
"Benerr tuwww, guweee yakyiinn nih cewwwe langkwahh bett!" kata Kaming, sambil mengunyah mie ayam.
"Secara kan, jaman sekarang tuh udah canggih. Kenapa nggak lewat chat gitu kan yak?? Nah ini! Pake surat, udah kek tukang pos aja!" kata Menang.
"LO NGGAK ADA NIATAN MAU BALES NIH SURAT, GA?" kata Untung memajukan badannya menatap Lingga yang kini menyenderkan punggung badannya ke kursi.
"Buat apa?! Kurang kerjaan!"
Untung dan Menang mendengus. Lalu berkata, "SAYANG GA, JARANG-JARANG JUGA ADA YANG KEK GINI!" Setelah bilang begitu keduanya ber-highfive ria!
TOS!
"SIAPA TAHU NIH CEWEK YANG TERBAEK BUAT LO, SECARA ELO KAN JUGA NGGAK PERNAH TUH DEKET AMA CEWEK. NGGAK PA-PA SEKALI KALI." Untung menjeda sebentar. "EMANGNYA LO MAU JOMBLO MELULU?"
Lingga tidak menjawab.
"SI ANYING, DI TANYA DIEM BAE!" kata Menang.
Lingga kembali fokus dengan handphonenya. Membalas satu pesan yang baru saja masuk dengan senyum merekah.
Padu, menyipitkan kedua matanya dan berdehem panjang, melihat sikap Lingga. "HEMMMM... GUE TAHU NIH. KENAPA, LINGGA B AJA DAPET SURAT CINTA KAYAK BEGINIAN."
Semua menoleh ke arah Padu yang meletakkan surat itu ke atas meja.
"PASTI NIH ANAK DIEM-DIEM UDAH NAKSIR SAMA CEWEK LAEN. MAKANYA, B AJA DAPET SURAT INI!"
Semua kaget. Menang, mendadak heboh. "HAH?! EMANG IYA GA! WADAWWW ADINDAAA TAK MENYANGKAAA!"
"LO LAKI, KAKANDA!! GEBLEK!" timpal Untung.
Suara Menang, mengejutkan banyak orang di sana. Menjadikan mereka pun sebagai pusat perhatian. Begitupun mpok Yoona yang tengah membuat kopi hitam. Jadi, berteriak kuat, "WEE, KALO MAU RIBUT JANGAN DI WARUNG GUE! MINGGAT SANA LO PADA!" teriak mpok Yoona dengan logat betawi-nya.
"YE YE, MAAP MPOK!"
"BIKIN JANTUNG GUE COPOT AJA LU!"
"IYE MAAP MPOK!"
Lingga, seakan tak mendengar perkataan teman-temannya. Ia sibuk dengan dunianya sendiri. Lalu, tiba-tiba ijin untuk pulang duluan.
"Gue cabut duluan, ada urusan!" katanya. Lalu, bangkit sambil meletakkan uang merah satu lembar di atas meja, dan pergi menenteng tasnya di pundak kanan. Tanpa mendengar jawaban dari teman-temannya.
"WOY GA! TUMELAH! MAEN KABUR AJA LO!"
"LINGGA SAMBARA!! WOYY!"
"MAEN KABUR AJA, MAEN TINGGAL-TINGGAL!"
"NGGAK PWA-PWA, JANJI DIE NINGGALIN DUWIT!" kata Kaming dengan mie yang menggantung di mulutnya.
Menang melihat Keming bergedik jijik. "ELAH! JOROK AMAT LO, MING!!"
"BIARIN, WLEE!"
"PASTI ADA SESUATUUU!!"
"GUE JUGA SAMA, DU," kata Untung.
"EH TUH SURAT KITA APAIN?" Semua jadi melihat Menang.
"Biar gue yang pegang," kata Padu dan kembali meraih surat itu. Memasukkannya ke dalam saku celana sekolahnya.
🌵🌵🌵
Lingga Sambara, sejak perjalanannya dari warung mpok Yoona hingga sampai di depan rumah bergaya eropa dan di hiasi banyak tanaman bunga, serta pohon cemara itu terus saja tersenyum. Perasaannya sangat bahagia, sekarang. Menyambut kehadiran seseorang yang telah lama di tunggu-tunggu. Cowok tinggi itu sudah tidak sabar melihat rupanya. Tak bisa di elakkan jika kini dirinya sangat senang. Perkiraannya kepada orang itu yang akan tiba lusa nanti salah, ternyata sangat cepat dari perkiraannya.
Kini, Lingga sudah berdiri di ambang pintu untuk menekan bel. Sebelum menekan belnya, Lingga sempat merapikan rambut dengan jari jemari, dan kerah bajunya. Lalu, menarik napas dalam, menghembuskannya pelan, mengukirkan senyuman, dan baru menekan bel rumah itu.
Tingnug!
Selagi menunggu pintu terbuka, Lingga kembali merapikan kerah bajunya. Jantungnya berdebar hebat. Tangannya pun mendadak basah. Hingga, sampailah pintu itu pun terbuka. Menampilkan sosok yang selama ini ia nanti.
Ceklek.
Lingga tersenyum makin lebar dan menampilkan deretan gigi putihnya. Ketika, orang itu menyambutnya dengan senyum manis, memperlihatkan lesung pipi.
"LINGGA!"
"HAI, LAN!"
Sebuah pelukkan hangat langsung diterimanya. Bulan, memeluk erat Lingga. Lingga pun tak segan untuk membalas pelukkan itu lebih erat. Pelukan itu menandakan bahwa keduanya sama-sama melampiaskan rindu yang sejak kemarin menggerogoti.
Lingga menyadari pundaknya basah. Bulan menangis?? Ia tersentak.
"Lan, lo nangis?"
Bulan terkekeh. Lalu, melepaskan pelukannya.
"Sangking kangennya gue sama lo, Ga! Mewek akhirnya."
Lingga, terkekeh. "Segitunya ya kangen sama gue," kata Lingga sambil menepuk kepala Bulan singkat.
"Emangnya lo nggak kangen sama gue, Ga?" kata Bulan dengan matanya yang kini sembab.
"Kangen juga. Malah, rasa kangen gue ini adalah rasa sakit hati yang gue ciptakan setiap hari."
Deg.
Bulan mendaratkan pukulan pelan di lengan kanan, Lingga. "Bisa aja!"
Lingga terkekeh, lalu kedua tangannya terulur meraih tangan kanan, Bulan.
"Jangan pergi-pergi lagi ya, Lan. Gue nggak bisa jauh-jauh dari lo."
Bulan tersenyum tipis. Di lihatnya Lingga menatapnya dengan tatapan sendu. Ia menghela napas singkat. Lalu, menganggukan kepalanya sekali.
Lingga, lega. Entahlah perasaannya ini tidak bisa di lukiskan betapa bahagia sekarang. Kini, ia bisa kembali melihat Bulan dari dekat, tanpa ada jarak yang memisahkan. Selama ini, cewek itu berada di London. Tinggal bersama sang Ayah yang memiliki pekerjaan di sana. Kini, cewek itu kembali pindah ke Indonesia, dan akan bersekolah kembali di tanah air. Karena, sang Ayah yang meninggal, akibat sakit jantung. Minggu lalu.
"Sekarang, gue tinggal sama kak Tari, Ga. Jujur, sebenarnya gue nggak enak. Karena, kak Tari kan udah bekeluarga. Tapi, mau gimana lagi. Cuma, kak Tari yang gue punya, sekarang."
Lingga tersentuh. Ia merasa kasihan dengan Bulan. Kedua orangtuanya kini benar-benar sudah tiada. Yang cewek itu miliki hanya kak Tari.
"Enggak, Lan. Lo nggak cuma punya kak Tari. Lo juga punya gue."
Bulan tersenyum. Lingga mengelus punggung tangan Bulan lembut.
"Mau es teller nggak?"
"MAU!"
"Ayo, masuk! Kebetulan, gue sama kak Tari barusan buat."
"Enggak salah gue kesini, Lan." Lingga berjalan di belakang Tari. Membuntuti cewek itu yang mengajaknya masuk ke dalam rumah.
🌵🌵🌵