Chapter 2 - Bab 2

Tepat enam menit kemudian, aku meninggalkan kediaman Miller. Sepertinya waktu tiga puluh empat tahun tidak mampu meningkatkan stamina seseorang.

"Wah, cepat sekali," kata Hugh, melihatku berjalan menyebrangi halaman depan. Dia bersandar di mobil lagi sambil merokok.

"Begitulah. Punya sebatang lagi?"

Hugh menyeringai dan mengulurkan rokoknya yang sudah dinyalakan, sambil menilai penampilanku. "Apa kau akan tersinggung kalau kubilang sayap itu cukup membuatku bergairah?"

Aku mengambil rokoknya, menyipitkan mataku padanya saat aku menghisap. Memandang sekeliling dengan cepat agar yakin tidak ada orang yang melihat, aku mengubah ke wujudku yang biasa.

"Kau berutang banyak padaku," aku mengingatkan Hugh, memakai sepatu kembali.

"Aku tahu. Tentu saja, orang lain mungkin beranggapan kau yang berutang padaku. Kau mendapatkan energi yang bagus darinya. Lebih baik dari yang biasa kau dapatkan."

Aku tidak bisa menyangkalnya, tapi aku juga tidak merasa nyaman dengan hal itu. Kasihan Martin. Orang aneh atau bukan, menjual jiwanya pada kutukan abadi adalah hal yang teramat mahal bagi kesenangan selama enam menit.

"Kau mau minum?" Hugh menawarkan.

"Tidak, ini sudah larut. Aku mau pulang. Ada buku yang harus dibaca."

"Ah, tentu saja. Kapan hari besarnya?"

"Besok," aku mengumumkan.

Imp' itu tertawa mendengar nada suaraku yang seperti memuja seorang pahlawan. "Dia hanya menulis novel biasa. Dia bukan Nietzsche atau Thoreau."

"Hei, seseorang tidak harus menjadi surealis atau transendental untuk menjadi penulis yang hebat. Aku tahu itu, aku sudah melihat beberapa penulis hebat seperti itu sepanjang hidupku."

Hugh menggerutu mendengar nada suaraku yang sombong, lalu membungkuk sambil mengejekku, "sungguh tidak sopan aku harus berdebat dengan seorang lady soal usianya."

Aku mencium pipinya sekilas, kemudian berjalan sejauh dua blok ke tempatku memarkir mobil. Aku membuka kunci pintu mobil saat aku merasakannya; perasaan hangat dan menggelitik yang menandakan ada mahluk abadi lain mendekat. Vampir, aku mengenalinya, hanya satu milidetik berlalu sebelum dia muncul di sebelahku. Sial, vampir memang cepat.

"Georgina, cantikku, succubus-ku yang manis, Dewi kegembiraan ku," sapa vampir itu, meletakkan tangan di dada secara dramatis.

Bagus sekali. Benar-benar yang dibutuhkan. Duane mungkin mahluk abadi paling menjengkelkan yang pernah kutemui. Dia menjaga rambut pirangnya tetap dicukur pendek sekali, dan seperti biasa, dia punya selera yang buruk dalam hal fesyen dan deodoran.

" Pergilah, Duane. Tidak ada yang ingin kukatakan padamu."

"Oh, ayolah," bujuk Duane, tangannya terulur untuk menekan pintu mobil saat aku berusaha untuk membukanya. " Kau tidak bisa berpura-pura sekarang. Lihat dirimu. Kau jelas-jelas bersinar. Perburuan yang sukses, ya?"

Aku menggerutu mendengar Duane menyinggung energi kehidupan Martin, tahu kalau itu membhngkusku. Keras kepala, aku berusaha membuka pintu mobilku melawan pegangan tangannya. Tidak berhasil.

"Dia pasti tidak sadarkan diri selama berhari-hari, kalau melihat penampilanmu," Duane menambahkan, mengamatiku. "Tetap saja, aku membayangkan siapapun dia, pasti menikmati perjalannya... Bersamamu menuju neraka." Dia tersenyum malas, hampir memperlihatkan giginya yang lancip. "Dia pasti seorang yang cukup baik, melihat betapa menariknya dirimu sekarang. Apa yang terjadi? Kupikir kau hanya bercinta dengan sampah dunia. Bajingan yang sebenarnya."

"Perubahan kebijakan. Aku tidak ingin memberikan harapan kosong padamu."

Duane menggelengkan kepalanya penuh pengertian.

"Oh, Georgina, kau selalu memukau... dirimu dan gurauanku. Tapi, aku selalu beranggapan bahwa pelacur tahu benar bagaimana memanfaatkan mulut mereka, baik didalam maupun di luar pekerjaan."

"Lepaskan," aku membentak, menarik pintu lebih keras.

"Kenapa buru-buru? Aku punya hak untuk tahu apa yang kau dan imp' itu lakukan disini. Eastside adalah wilayahku."

"Kami tidak harus mematuhi aturan wilayahku, dan kau tahu itu."

"Tetap saja, sudah menjadi norma kesopanan umum saat kau ada di wilayah seseorang, setidaknya kau bisa mengucapkan halo. Selain itu, selain itu kenapa kita tidak pernah jalan bersama? Kau berutang waktu yang menyenangkan padaku. Kau menghabiskan terlalu banyak waktu bersama para pecundang itu."

Pecundang yang Duane maksud adalah teman-temanku dan vampir baik hati yang pernah kutemui. Kebanyakan vampir seperti Duane sombong, tanpa ketrampilan sosial, dan terobsesi pada teritori. Tidak seperti kebanyakan pria manusia yang kutemui.

"Kalau kau tidak melepaskan ku, kau akan mengetahui arti baru dari kesopanan umum."

Oke, itu bodoh, dialog tiruan dari film aksi, tapi itu yang terbaik yang bisa kukatakan saat ini. Aku membuat suaraku sekejam mungkin, tapi itu jelas-jelas keberanian yang dipaksakan, dan Duane tahu itu. Succbi para succubus mempunya kelebihan berupa kharisma dan kemampuan mengubah bentuk; vampir memiliki kekuatan dan kecepatan super. Artinya, salah satu dari kamu bisa berbaur secara lebih baik dalam sebuah pesta, sementara yang lainnya bisa mematahkan pergelangan tangan seseorang hanya dengan berjabat tangan.

"Apa kau benar-benar mengancamku?"  Tangan Duane bermain di pipiku, membuat bulu kudukku berdiri dengan cara yang buruk. Aku menggeliat.

"itu menggemaskan. Dan sedikit menggairahkan. Aku ingin melihatmu melawan. Mungkin kalau kau bersiap seperti gadis baik-baik...argh! Dasar pelacur kecil!"

Saat kedua tangan Duane sibuk, aku mendapat kesempatan. Aku berubah bentuk dengan cepat, dan cakar tajam sepanjang tujuh sentimeter muncul ditangan kananku. Aku mencakar pipi Duane. Refleksnya yang superior tidak membiarkanku berbuat lebih jauh, tapi setidaknya aku berhasil meneteskan darahnya sebelum dia mencengkeram pergelangan tanganku dan membantingnya ke mobil.

"Ada apa? Perlawanan ku kurang?" Aku mengatakannya meski merasa kesakitan. Satu lagi dialog film yang jelek.

"Lucu sekali, Georgina. Sangat lucu. Kita lihat seberapa lucunya dirimu saat aku..."

Lampu mobil bersinar dikegelapan malam saat sebuah mobil berbelok ke blok sebelah dan mendekati kami. Detik itu juga aku bisa melihat keraguan Dimata Duane. Pertemuan pribadi kami pasti terlihat oleh si pengemudi.

Walau Duane bisa dengan mudah membunuh seorang manusia yang ikut campur. Sial, memang itulah pekerjaannya, tapi bila pembunuhan itu dihubungkan dengan pelecehannya terhadapku, maka situasinya tidak akan dianggap bagus oleh atasan kami. Bahkan bajingan seperti Duane mendesis, melepaskan pergelangan tanganku.

"Kita belum selesai," Duane mendesis, melepaskan pergelangan tanganku.

"Oh, menurutku sudah." Aku bisa merasakan keberanian sekarang karena sudah selamat. "Kalau kau mendekatiku lagi, itu adalah yang terakhir kalinya."

" Aku gemetar ketakutan." Duane menyeringai. Matanya berkilat sekali dalam kegelapan, kemudian dia menghilang, ditelan kegelapan malam saat mobil tadi melintas. Untunglah ada sesuatu yang membuat pengendara itu keluar malam-malam.

Tidak mau membuang-buang waktu lagi, aku masuk ke mobilku dan pergi dari sana, tidak sabar untuk segera sampai di kota. Aku berusaha mengabaikan tanganku yang gemetaran dikemudi, tapi sebenarnya. Duane membuatku ketakutan. Aku memang sering mengusirnya saat teman-teman abadiku hadir, tapi menghadapinya seorang diri dijalanan yang gelap adalah suatu hal yang berbeda, terutama semua yang kukatakan hanyalah ancaman kosong.