Chapter 3 - Bab 3

Sebenarnya aku benci kekerasan dalam bentuk apapun. Kupikir karena aku sudah menjalani hidup melalui periode-periode sejarah yang penuh dengan tingkat kekejaman dan kebrutalan yang tidak akan bisa dipahami dunia modern.

Orang-orang sering berkata kalau kita hidup dijaman yang kejam sekarang ini, tapi mereka sama sekali tidak tahu. Tentu saja aku merasakan kepuasan beberapa abad yang lalu saat melihat seorang pemerkosa dikebiri dengan cepat dan segera karena kejahatannya, tanpa adanya drama ruang pengadilan yang tidak kunjung selesai atau pembebasan lebih awal dengan dalih kelakuan baik.

Sayangnya, mereka yang berurusan dengan balas dendam dan kejahatan hampir tidak tahu dimana harus menarik batasan, jadi aku lebih memilih birokrasi sistem peradilan dunia modern untuk sekarang ini.

Aku menduga sipengendara tadi hendak membeli es krim, dan akupun memutuskan untuk menikmati makanan penutup. Begitu aku sampai dengan selamat di seattle, aku berhenti di toko bahan makanan dua puluh empat jam, menemukan bahwa seorang pakar pemasaran telah menciptakan es krim dengan rasa tiramisu. Tiramisu dan es krim. Kecerdasan manusia tidak pernah gagal membuatku kagum.

Saat aku akan membayar, aku melewati deretan bunga. Harganya murah dan tampak kusam, tapi aku melihat seorang pria muda masuk dan dengan gugup memandangi bunga-bunga itu. Akhirnya dia memilih bunga Krisan musim gugur dan membawanya pergi. Mataku mengikutinya dengan sedih, sedikit cemburu pada gadis yang akan mendapatkannya.

Seperti yang dikatakan Duane, aku biasanya mengincar para pecundang, para pria yang tidak akan membuatku merasa bersalah karena sudah menyakiti mereka atau membuat mereka pingsan selama beberapa hari. Para pria seperti itu tidak pernah mengirimkan bunga dan biasanya menghindari hal-hal romantis. Sementara untuk pria yang mengirimkan bunga, yah, aku menghindari mereka. Demi kebaikan mereka sendiri. Itu jelas bukan karakter succubus, tapi aku terlalu letih untuk memperdulikan norma yang umum.

Merasa sedih dan kesepian, aku mengambil sebuket anyelir merah untuk diriku sendiri dan membayarnya sekaligus dengan es krim.

Saat aku tiba dirumah, teleponku berdering. Meletakkan barang-barangku, aku melirik caller-id. Tidak dikenal.

"My. Lord, My Master," sapaku.

"Sebuah akhir yang sempurna untuk malam yang sempurna."

"Simpan sindiranmu, Georgina. Kenapa kau mencari gara-gara dengan Duane?"

"Jerome, aku... apa?"

"Dia baru saja menelpon. Mengadu kalau kau mengganggunya."

"Mengganggu? Dia?" Kemarahan mulai menyerangku.

"Dia yang mulai!Dia mendatangiku dan..."

"Apa kau memukulnya?"

"Aku..."

"Apa benar?"

Aku mendesah. Jerome adalah iblis tertinggi dalam hierarki kejahatan di seattle, dan juga penyeliaku. Sudah menjadi tugasnya untuk mengatur kami semua, mamastikan kami melakukan tugas kami, dan menjaga kami tetap didalam batas. Bagaimanapun juga, seperti iblis pemalas lainnya, dia lebih suka kami memberikannya pekerjaan sesedikit mungkin. Kekesalannya hampir terlihat jelas melalui jaringan telepon.

"Aku memang memukulnya. Sebenarnya, tidak lebih dari kibasan tangan."

"Aku mengerti. Kibasan tangan. Dan apa kau mengancamnya juga?"

"Well, ya, sepertinya, kalau kau ingin memperdebatkan semangkuk, tapi Jerome, ayolah! Dia itu vampir. Aku tidak bisa menyentuhnya. Kau tahu itu."

Sang iblis tertinggi ragu, jelas-jelas mempertimbangkan apa akibatnya kalau aku terlibat perkelahian dengan Duane. Aku pasti sudah kalah dalam pertarungan hipnoterapis karena aku mendengar Jerome mendesah beberapa saat kemudian.

"Ya, Menurutku juga begitu. Tapi jangan memprovokasinya lagi. Aku sudah punya banyak pekerjaan sekarang ini tanpa kalian anak-anak yang melakukan pertengkaran kecil."

"Sejak kapan kau bekerja?" Benar-benar anak-anak.

"Selanat malan, Georgie. Jangan terlibat dengan Duane lagi."

Telepon terputus. Iblis memang tidak terlalu berbakat dalam hal mengobrol.

Aku menutup telepon, merasa sangat tersinggung. Aku tidak percaya Duane mengaduhkanku dan membuat seolah-olah aku yang bersalah. Bahkan lebih buruk, Jerome sepertinya mempercayai hal itu. Setidaknya di awal. Hal ini mungkin yang paling menyakitkan ku dikarenakan, terlepas dari kebiasaan succubus-ku yang pemalas, aku selalu menikmati diperlakukan dengan peran sebagai murid kesayangan oleh sang iblis tertinggi yang baik itu.

Mencari penghiburan, aku membawa es krim ke kamar tidurku, menukar pakaianku dengan baju tidur yang longgar. Aubrey, kucingku, berdiri dari tempatnya tidur di kaki tempat tidurku dan merenggangkan tubuhnya. Dengan tubuh berwarna putih seluruhnya kecuali tanda hitam dikeningnya, mata hijaunya menyipit menyambutku.

"Aku tidak bisa tidur." Kataku, melahap jual. "Aku harus membaca dulu."

Aku bergelung dengan pint es krim dan buku, mengingat lagi bagaimana akhirnya aku akan bertemu dengan pengarang favoritku pada acara tanda tangan besok. Tulisan Seth Mortensen selalu bicara padaku, membangunkan sesuatu didalam diriku yang bahkan tidak kuketahui sedang tertidur. Buku terbarunya, The Glaslow Pact, tidak bisa mengurangi rasa bersalahku atas apa yang terjadi pada Martin, tapi berhasil mengisi kekosongan yang menyakitkan dalam diriku. Aku kagum pada manusia itu, hidup untuk waktu yang begitu singkat, namun bisa menciptakan sesuatu yang begitu indah.

"Aku tidak pernah menciptakan apapun saat aku masih manusia," kataku pada Aubrey saat aku menyelesaikan lima halaman.

Kucing itu menggosokkan tubuhnya padaku, mendengkur dengan penuh simpati, dan aku masih cukup sadar untuk menjauhkan es krim sebelum terkapar kembali ketempat tidur dan tertidur.