Tidak jauh dariku, Hugh menunggu dengan sabar sampai aku mengatasi keenggananku. Dia memasukkan tangannya ke saku celana khaki-nya yang disetrika rapi, tubuhnya yang bersandar di mobil Lexus-nya. "Aku tidak mengerti apa masalahnya. Kau melakukan hal ini setiap saat."
Itu tidak sepenuhnya benar, tapi kami tahu apa yang dia maksud. Mengabaikannya, aku malah berpura-pura mengabaikan sekelilingku, bukan berarti hal itu bisa memperbaiki suasana hatiku. Pinggiran kota selalu menurunkan moodku. Rumah-rumah yang mirip. Halaman yang sempurna. Terlalu banyak mobil SUV. Di suatu tempat ditengah malam, seekor anjing menolak untuk berhenti menyalak.
"Tapi aku tidak melakukan ini," kataku akhirnya. "Bahkan aku pun memiliki standar."
Hugh mendengus, mengekspresikan opininya terhadap standarku.
"Oke, kalau ini akan membuatmu lebih baik, jangan lihat ini dari sudut pandang kutukan. Anggap saja perbuatan amal."
"Perbuatan amal?"
"Iya."
Hugh menarik Pocket PC miliknya, terlihat cekatan dalam berbisnis, terlepas dari penampilannya uang tidak lazim. Bukannya aku terkejut. Hugh adalah seorang imp' profesional, master dalam hal mendapatkan manusia yang ingin menjual jiwa mereka, ahli dalam kontrak dan celah hukum yang bisa membuat pengacara manapun mengernyit karena iri.
Hugh juga temanku. Ini seperti memberi arti baru untuk paribahasa Dengan teman seperti ini....
"Dengarkan ini," lanjutnya. "Martin Miller. Pria, tentu saja. Kaukasus. Penganut Lutheran yang tidak taat. Bekerja di toko game di mall. Tinggal di basement disini ... dirumah orangtuanya."
" Oh, Tuhan."
"Sudah kubilang."
"Amal atau bukan, ini tampaknya begitu.... ekstrem. Berapa usianya?"
"Tiga puluh empat."
"Ew."
"Tepat sekali. Kalau kau sudah setua itu dan belum pernah melakukannya, kau mungkin akan mengambil tindakan yang putus asa juga." Hugh melirik jam tangannya. " Jadi, kau mau melakukannya atau tidak?"
Aku pasti menahan Hugh dari kencannya dengan wanita seksi yang berusia setengah usianya yang kumaksud, tentu saja, usia Hugh yang terlihat. Sebenarnya, dia hampir berumur satu abad.
Aku meletakkan tas tanganku dan meliriknya penuh peringatan. "Kau berutang padaku."
"Tentu saja, " Hugh mengakui. Ini bukan aksiku yang biasa, untunglah. Imp' itu biasanya melakukan outsourcing untuk hal-hal seperti ini, tapi malam ini dia terbentur masalah jadwal. Aku tidak bisa membayangkan siapa yang biasanya disuruh melakukan hal ini.
Aku mulai melangkah ke rumah, tapi Hugh menghentikan ku. "Georgina?"
"Yeah?"
"Ada.... satu hal lagi..."
Aku membalikkan badan, tidak menyukai nada suara Hugh. " Ya?"
"Dia, um... Punya permintaan khusus."
Aku mengangkat sebelah alis dan menunggu.
"Begini, yang, dia benar-benar menyukai hal-hal jahat. Kau mengerti, kan, dia membayangkan menjual jiwanya pada iblis... Dan karena itu dia harus menyerahkan keperjakaannya kepada... entahlah, iblis wanita atau semacamnya."
Aku bersumpah, bahkan anjing berhenti menggonggong mendengarnya. "Kau bercanda."
Hugh tidak merespons.
"Aku bukan....tidak. Tidak mungkin aku melakukannya..."
"Ayolah, Georgina. Tidak sulit. Sedikit ornamen. Asap dan cermin. Please? Lakukan ini untukku. " Hugh mulai membujuk dan merayu. Sulit ditolak. Seperti yang kukatakan, dia sangat berpengalaman.
"Aku benar-benar dalam kesulitan... kalau kau bisa membantuku...amalan sangat berarti untukku..."
Aku mengerang, tidak bisa menolak tampang menyedihkan diwajah Hugh yang lebar. "Kalau ada yang sampai tahu soal ini..."
" Bibirku terkunci." Hugh bahkan berani melakukan gerakan menyegel.
Membungkuk, pasrah, aku melepaskan tali sepatuku.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Hugh.
"Ini sepatu Bruno Mangli favoritku. Aku tidak ingin sepatuku ini ikut berubah saat aku berubah."
"Yeah, tapi... Kau bisa mengubah bentuknya lagi nanti."
"Tidak akan sama."
"Pasti sama. Kau bisa membuatnya seperti apapun yang kau mau. Konyol sekali."
"Dengar," aku bersikeras, "kau ingin berdiri disini memperdebatkan soal sepatu, atau kau ingin aku melakukan tugasku pada perjakamu?"
Hugh menutup mulutnya dan memberi isyarat ke arah rumah.
Aku melangkah dirumput, ujungnya yang tajam menggelitik kakiku yang telanjang. Teras yang menuju basement terbuka, seperti yang dijanjikan Hugh.
Aku membiarkan diriku memasuki rumah yang terlelap itu, berharap mereka tidak memiliki anjing, dengan muram bertanya-tanya bagaimana aku bisa mencapai titik serendah ini dalam keberadaan ku. Mulai terbiasa dengan kegelapan, mataku segera bisa melihat ruang keluarga kelas menengah yang nyaman: sofa, televisi, rak buku. Terdapat ruangan tempat tangga disisi kiri, dan sebuah lorong yang mengarah ke kanan.
Aku berputar turun di lorong, membiarkan penampilanku berubah saat berjalan. Sensasinya begitu familier, seperti bawaan diriku, sampai aku tidak perlu melihat penampilanku untuk tau apa yang terjadi.
Perawakanku yang kecil menjadi lebih tinggi, tubuhku yang langsing menjadi tetap langsing tapi lebih kuat. Kulitku berubah pucat seperti orang mati, sama sekali tidak meninggalkan bekas warna coklat pucat.
Rambutku, yang sepanjang punggung, tetap sama panjang hanya saja berubah menjadi hitam gelap, ikalnya yang cantik berubah lurus dan kasar. Payudaraku yang cukup mengesankan menurut standar bertambah besar, menyaingi tokoh wanita dalam buku komik yang tidak diragukan lagi menjadi teman pria ini selama perjalanannya tumbuh dewasa.
Sedangkan pakaianku... yah, hilang sudah celana panjang dan blus banana republicku yang manis. Sepatu bot kulit berwarna hitam setinggi paha menutupi kakiku, dipasangkan dengan atasan helter yang senada dan rok yang tidak akan pernah membuatku berani membungkuk saat mengenakannya. Sayap tajam, tanduk, dan sebuah cambuk melengkapi penampilanku.
"Oh, Tuhan," gumamku, tidak sengaja melihat pantulan diriku disebuah cermin kecil. Aku harap para iblis wanita serempet tidak akan pernah tahu soal ini. Mereka sangat berkelas.
Memalingkan wajah dari cermin yang tampak menghina, aku menatap ke lorong ke tempat tujuanku: sebuah pintu tertutup yang tertempel dengan tanda MEN AT WORK berwarna kuning.
Sepertinya aku bisa mendengar suara video game samar-samar dibaliknya, meski suara itu hilang sama sekali saat aku mengetuk pintu.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka, dan Aku berhadapan dengan pria setinggi seratus tujuh puluh sentimeter dengan bahu lebar, rambut pirang pucat dikepalainya yang mulai botak dibagikan atas. Perut yang besar dan berbulu menyembul keluar dari balik kaus home Simpson, dan dia memegang sekantong kripik kentang satu tangan.
Kantong itu terjatuh dilantai saat melihatku.
"Martin Miller?"
"I...iya," dia tergagap.
Aku melecut cambuk. "Kau siap bermain denganku?"