Chereads / Dilema Cinta Pertama / Chapter 4 - Part 4

Chapter 4 - Part 4

Pagi ini mentari masih malu-malu untuk menampakkan sinarnya, sehingga fajar masih setia menghiasi sang cakrawala. Walaupun demikian, Rayna telah sibuk menyiapkan sarapan untuknya dan Raka, yang masih setia bermain dengan mimpi-mimpinya.

Meski sikap Raka terhadap Rayna selalu acuh dan tidak mau tahu, namun Rayna masih tetap setia untuk Berbakti terhadap suaminya, karena Rayna masih memegang teguh nasehat dari ayahnya saat itu.

Setelah usai memasak nasi goreng, kemudian Rayna memasak telur untuk pelengkap nasi goreng yang dibuatnya, setelah itu ia menaruhnya di atas meja makan.

Saat Rayna ingin membangunkan Raka yang masih tidur di kamarnya, Rayna sontak kaget karena Raka telah bangun dan keluar dari kamarnya dengan membawa handuk untuk pergi mandi. Rayna hanya diam dan tertunduk, namun berbeda dengan Raka, ia melemparkan tatapan yang begitu tajam terhadap Rayna, sehingga membuat Rayna tidak berani menatap mata yang penuh dengan tatapan kebencian.

"kamu perlu ingat! Kamu enggak usah masak, aku tidak akan sudi memakan masakanmu itu." Raka kemudian beranjak dari hadapan Rayna dan kemudian pergi ke kamar mandi.

Mendengar ucapan dari Raka, hatinya begitu sakit. Baru hari pertama satu rumah dengan Raka, batinnya sudah sangat tertekan dengan perilaku dari suaminya itu. Rayna hanya bisa diam tanpa tahu apa yang harus ia lakukan. Ia mencoba menyimpan segala kepedihan yang ia rasakan seorang diri, tanpa mau melibatkan orang-orang di sekitarnya, termasuk ayahnya.

Rayna kemudian berjalan menuju meja makan dan sarapan seorang diri. Dilihatnya suaminya yang sudah bersiap ingin pergi ke kantor dengan setelan jas yang sangat Rapi. Rayna ingin menyapa, namun dirinya takut. Kemudian Rayna mencoba memberanikan diri, untuk berbicara terhadap Raka yang sekarang tengah menyiapkan berkas-berkas yang ingin ia bawa.

"K ... Ka ... Kak Raka! Rayna nanti mau pergi ke kampus, soalnya hari ini adalah jadwal Rayna sidang skripsi, mungkin Rayna pulangnya habis dzuhur, Kak." Dengan sedikit gugup dan takut, Rayna berharap mendapatkan izin dari suaminya tersebut.

Raka hanya diam, tanpa ada jawaban sedikit pun. Ia hanya fokus terhadap berkas-berkas yang akan ia bawa ke kantornya. Setelah mempersiapkan berkas, Raka kemudian berjalan ke arah pintu untuk keluar dari Rumah, namun langkahnya terhenti dan ia menghadap ke arah Rayna, "Dengar, ya. Kemana pun kamu pergi, aku tidak akan melarang. Terserah kamu mau kemana dan pergi sama siapa. Itu bukan urusanku." Gilang kemudian beranjak pergi dan meninggalkan Rayna yang hanya terdiam di meja makan.

Rayna tak kuasa menahan bendungan air matanya, kemudian ia beranjak dari meja makan dan pergi menuju kamarnya dengan linangan air mata. Di dalam kamar Rayna hanya bisa menangis sembari meratapi hidupnya, "Ya Tuhan, apakah dirinya tidak memiliki perasaan sedikit pun? Sehingga membenciku seperti itu," ucap Rayna dengan sedu.

Di saat Rayna sedang menangis, tiba-tiba ia mendengar suara dering handphonenya. Ia kemudian menyeka air matanya dan kemudian mengambil benda pipih yang berada di atas nakas di samping tempat tidurnya itu.

Ia melihat di layar handphonenya satu panggilan dari kontak nama yang sangat familiar baginya, kemudian Rayna cepat-cepat mengubah ekspresi, agar orang tersebut tidak merasa bahwa dirinya sedang bersedih atau sehabis menangis. Karena Rayna tau, dirinya pasti akan dihujami dengan berbagai pertanyaan, jika orang tersebut mengetahui Rayna sedang bersedih hati.

"Assalamu'alaikum, Tar." Rayna mencoba mensterilkan nafasnya agar tidak menimbulkan kecurigaan.

"Wa'alaikumsalam. Gimana? Sudah siap untuk sidangnya?" tanya Tari di seberang sana.

"Siap dong. Doakan aku ya, Tar. Soalnya aku sedikit gugup."

"Iya, doaku selalu menyertaimu sahabatku. Nggak usah gugup, kamu pasti bisa. Ayo, Semangat," ucap tari memberikan semangat yang penuh terhadap sahabatnya itu.

"Terima kasih, Tar. Jangan lupa bonekanya, ya," ucap Rayna dengan secuil senyum dari bibirnya.

"Siap, Bos! Eh, Kak Raka datang, kan Ray?" tanya Tari.

Seketika itu Rayna terdiam, ingin rasanya ia menangis, namun ia harus tegar dan kuat agar Tari tidak tahu persoalan rumah tangganya, "Hmmm, Kak Raka ada meeting khusus hari ini, Tar. Dia enggak bisa hadir, tapi enggak apa-apa, kan masih ada kamu," jawab Rayna berbohong terhadap sahabatnya tersebut.

"Owh, gitu. Ya sudah, aku tunggu kamu di kampus, ya. Semangat! Assalamualaikum," ucap Tari dengan memutuskan panggilan.

"Wa'alaikumsalam." Rayna kemudian meletakkan kembali benda pipih itu ke atas nakas di samping tempat tidurnya.

Ada perasaan bahagia yang Rayna rasakan saat ini. Kesedihan yang ia alami tadi sedikit terobati dengan semangat yang diberikan oleh sahabatnya itu. Ia sangat bersyukur, karena masih memiliki sahabat dan keluarga yang selalu mendukungnya dan selalu memberikan semangat terhadap dirinya.

Rayna kemudian beranjak dari tempat tidurnya dan bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Ia tepis segala kesedihan yang ada. Ia harus kuat dan semangat, ia tidak ingin karena masalah yang sepele tadi, dirinya tidak bisa meraih cita-cita yang selama ini ayahnya inginkan. Yaitu, melihat anaknya wisuda dan bahagia.

Di kantor, Raka begitu frustrasi memikirkan semuanya. Ia tidak bisa hidup seperti ini terus, serumah dengan orang yang sangat ia benci. Bisa-bisa dirinya stress berat nantinya. Namun, ia tidak tahu harus bagaimana. Jika dia mengusir Rayna, tentu orangtuanya akan marah besar terhadap dirinya. Lagi pula, Rumah tersebut bukan atas namanya saja, tetapi juga atas nama Rayna. Karena rumah itu adalah hadiah perkawinan mereka berdua dari orangtuanya.

Saat Raka sibuk dengan pikirannya. Tiba-tiba pintu ruangannya diketuk seseorang dari luar, menandakan ada seseorang yang ingin masuk dan menemuinya, "Masuk!" ucap Raka dengan suara khas seorang direktur.

"Pagi, Pak. Maaf, ada seorang wanita yang ingin berjumpa dengan Bapak," ucap Sari, sekretarisnya Raka.

"Baiklah. Suruh dia masuk," jawab Raka.

"Baik, Pak." Sari kemudian keluar dan menghampiri wanita yang ingin bertemu dengan bosnya tersebut.

Saat wanita itu masuk, Raka tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia kemudian melepaskan senyum terhadap wanita yang datang menemui dirinya itu. "Salsa." seketika kebahagiaan terpancar dari raut wajah Raka yang tampan itu.

"Halo, Bapak Raka, " ucap Salsa dengan seulas senyum yang begitu indah.

Raka tersenyum, kemudian menyuruh wanita tersebut duduk. Ia kemudian mendekati wanita tersebut dan mengacak-acak rambut wanita yang bernama Salsa itu dengan perasaan bahagia.

"Kak Raka!" bentak Salsa marah terhadap kakaknya tersebut. Salsa tidak menyangka, ternyata kebiasaan kakaknya tersebut tidak pernah berubah terhadap dirinya, selalu ingin mengajak-acak rambutnya.

Raka hanya tersenyum dan bahagia melihat adiknya memarahi dirinya, "Kamu kapan sampai di Indo? kenapa kamu tidak kabari kakak kalau kamu sudah pulang, kan kakak bisa jemput kamu," tanya Raka terhadap Salsa yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di Singapura.

"Salsa tidak ingin mengganggu kebahagiaan pengantin baru. Kan masih ada papa yang bisa jemput Salsa," ucap Salsa terhadap kakak kandungnya itu.

Mendengar perkataan dari adiknya tersebut, Raka seketika diam. Namun, ia segera merubah ekspresinya agar masalah keluarganya tidak diketahui oleh seorangpun. Kalau Salsa tahu, bisa saja nanti adiknya itu mengadu terhadap orang tuanya. Dan Raka tidak mau itu terjadi.

"Kamu sudah sarapan?" tanya Raka mengalihkan topik pembicaraan.

"Belum, Kak."

"Ya, sudah. Ayo kita sarapan bareng, Kakak yang traktir kamu," ucap Raka seraya merangkul pundak adiknya dan kemudian pergi mengajaknya sarapan.

Di kampus, Rayna sudah berhadapan dengan beberapa dosen pengujinya. Ia sangat gugup dan keringat dingin. Ia mencoba menepis segala kegugupannya itu, tapi tidak bisa. Namun, saat ia melihat seseorang yang datang dan memberikan semangat terhadap dirinya, kegugupannya mulai hilang sedikit demi sedikit. Rayna melempar senyum terhadap orang itu dan dibalas dengan senyuman pula.

"Ayo, Rayna. Kamu pasti bisa," ucap seseorang yang tengah memperhatikan Rayna dengan seksama. Rayna tersenyum mendengarnya, ia tidak menyangka, bahwa kakak seniornya itu bisa hadir di persidangannya hari ini.

.

.

.

TBC.

.

.

Jangan lupa saran dan dukungannya ya, kakak dan teman-teman semua.

.

Karena dukungan kalian adalah semangat yang begitu berharga bagi saya untuk melanjutkan cerita ini. Selamat membaca.