Chereads / Vincent's Life Story / Chapter 3 - Bab 3

Chapter 3 - Bab 3

Miris! aku sendiri malah di halang-halangi oleh ayah ketika aku mau mendekat ke adik. Akhirnya aku menyaksikan itu dari arah kejauhan, aku menangis histeris sendirian.

Saat pemakaman adikku, aku malah di kurung sama ayah di kamar, tidak dikasih makan tidak di kasih minum, lampu kamarku juga gak di nyalakan karena kebetulan saklarnya berada di luar kamarku.

Aku hanya sesegukan sendirian, mengetuk/merengek ke pintu minta di bukaka'an pun aku tak memiliki keberanian. Karena sebelumnya ayahku mengancam, supaya aku gak mengetuk pintu selagi banyak tamu-tamu yang berbelasungkawa.

Aku gak tau tamu-tamu yang datang ada yang menanyakanku apa enggak, atau malah ayahku udah punya alasan sendiri?

Entahlah.

__

Setelah pemakaman adik selesai, serta sudah tidak ada lagi orang yang berbelasungkawa dirumah kami, sebuah perkara yang sampai saat ini teringat dalam ingatanku pun dimulai, ayahku masuk kedalam kamarku, aku langsung dipukuli, aku di tendang, di jambak dan segala kekerasan fisik lainnya aku rasakan.

Ya Tuhan, itu ... Sakit sekali, Kawan!

Aku tidak bisa berkata apapun, aku hanya merintih kesakitan dan menangis. Ayah mengomeliku dengan kalimat-kalimat yang sungguh menyayat hatiku, dia berkata bahwa aku anak iblis anak tidak berguna, anak pembawa sial, dan segala cemoohan selalu ku dengar saat tangan dan kaki beliau terus menghujam tubuh kecilku.

Lisanku diam seribu bahasa, hanya bisa berkata-kata didalam hatiku saja,

'Wahai ayah dan juga ibu ... Maafkan aku gak bisa menyelamatkan adik, Maafkan aku ibu ...'

Jujur saja aku menyesali, andai saja saat itu aku langsung lari mendorong adik, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini.

__

Beberapa hari kemudian, aku melihat ibuku seperti orang yang tidak waras, dia selalu menyebut-nyebut nama Viona dan berpolah seakan-akan dia sedang berbicara dengan adikku itu, mungkin bisa di katakan-- berhalusinasi.

Dia sedang duduk termenung di kursi menghadap ke jendela, sementara saat itu ayahku sedang pergi keluar gak tau kemana. Atau mungkin lagi kerja? Entahlah.

Akhirnya aku memberanikan diri mendekat ke ibuku itu, walau jantung ini berdebar tak menentu tetapi aku tau toleransi kekerasan yang siap ku terima nanti. Sesudah aku sampai didekatnya, akupun mengusap pundak ibu seraya memanggilnya lirih.

"Ibu ..."

Ibuku menoleh, aku sungguh kaget saat dia menoleh ke arahku, Degup jantung ini berdebar-debar hebat, karena walau dia ibu kandungku aku tidak pernah sedekat ini dengannya.

Tapi ... Tunggu!

Rupa-rupanya ada yang aneh saat ibuku menoleh ke arah ku, seraut wajah dia gak seperti biasanya saat memandangku, kini dia tersenyum dan malah tiba-tiba langsung memeluk tubuhku erat.

"Viona … Viona anakku sayang, akhirnya kamu pulang, Nak? Jangan pergi lagi ya, ibu tidak ingin kehilanganmu" Ibu ku mengusap lembut pundak dan kepalaku.

Apa! Aku ... dipanggil Viona?

Aku diam mematung, dan sedikitnya udah tahu tentang halusinasi, jadi aku mikirnya mungkin ibuku sedang berhalusinasi akibat depresi kehilangan adikku sehingga melihatku seperti melihat Viona. Karena kenyataan tidak bisa dipungkiri kalau wajahku ini benar-benar Mirip dengan Viona. Ya, itu semua karena kami adalah kembar identik.

Jujur, aku terhanyut dalam suasana kasih sayang yang belum pernah aku rasakan saat ibuku memeluk tubuhku. Aku meneteskan air mata, karena aku sungguh mengharapkan kasih sayang oleh ibu seperti ini, tetapi kenyataannya sangatlah pedih. Ibuku memelukku karena menganggapku sebagai Viona, bukan sebagai diriku sendiri.

"Kenapa rambut kamu pendek seperti ini, Nak? Ibu kan pernah bilang ke kamu, kamu jadi perempuan harus feminim. Jangan pernah memotong rambut kamu sampai sependek ini, Nak" ibuku mengusap-usap lembut rambutku.

Lidah ini sangat kaku mau berkata-kata untuk menyatakan bahwa aku bukanlah Viona.

"Ak-ku ... A-ku ..."

Hingga akhirnya kalimatku terpangkas oleh ayah yang tiba-tiba datang menghampiri kami, sambil mengatakan,

"Ayah yang tadi memotong rambut Viona, Bu. Maafkan Ayah ya sayang?" mengusap lembut rambut ibuku dan tersenyum kepadaku.

Apa!

Aku sangat kaget, Kenapa ayah berkata seperti itu? Ingin sekali aku menyeka kata-kata ayahku karena aku ini Vincent, Bukan Viona!

Selagi aku terdiam, Ibu dan ayahku sedang berbicara mengenai rambut Viona yang dikira di pangkas itu, padahal mah ... ini aku, bukan Viona! Setelah mereka berdua selesai membicarakanku, Ayah meraih tanganku lalu membawaku masuk kedalam ruang kamar.

Saat masuk kedalam ruang kamar pun, aku di lempar sampai aku menabrak lemari.

Braak!

"Aarggh" Sakit bukan main!

Seraut wajah Ayahku terlihat sangat menyeramkan, perlahan dia mendekat ke arahku, setelah sampai dia mengulurkan tangan--mencengkram kuat rahangku

"Hei, kau tau ibu kau seperti itu semua kesalahanmu! Jadi, jangan pernah kau mengatakan kau bukan Viona, paham!"

What! Apa maksudnya itu?

Aku diam, lalu ayahku mengulangi kata-katanya lagi, melotot semakin tajam.

"Paham atau enggak kau hah!"

Akhirnya aku mengangguk saja, karena mau bicara pun susah, gimana mau jawab? mulutku aja mengkrot-mengkrot karena rahangku di tekan kuat sama dia!

Air mataku sempat mau mengalir karena aku harus menerima kenyataan pahit ini untuk menjadi adikku.

__

Ya, Sejak saat itulah aku memulai hidupku menjadi seorang wanita yaitu sebagai adikku, Viona. Dan sejak saat itu pula orangtuaku langsung menjual tanah sekaligus rumah peninggalan kakek dan nenekku untuk pindah ke Ibu kota.

Inilah yang menjadi pertanyan yang tak kunjung usai aku pikirkan, apakah ibuku benar-benar depresi sehingga menganggapku sebagai Viona? atau memang sebenarnya dia sudah sadar tetapi dia tetap menginginkanku hidup sebagai Viona?

Entahlah