Yafizan terbangun dari tidurnya ketika tangannya tidak menggapai apa yang ingin dipeluknya. Dengan mata yang masih terpejam tangannya meraba tempat tidur di samping dirinya, namun kosong.
Matanya mencari-cari ke semua arah. Dipanggilnya nama istrinya sesekali namun tak ada satupun sahutan dari Soully ketika ia berkali-kali memanggilnya.
Yafizan mencari ke seluruh ruangan. Serangan panik mulai mendera dirinya. Fikirannya mulai kacau saat ia membayangkan hal-hal yang tak diinginkannya itu terjadi. Ya, dia takut Soully pergi darinya lagi bersama Erick seperti waktu itu. Trauma itu masih melekat diingatannya.
Diapun memanggil Rona, namun sama halnya ketika ia memanggil Soully, tak ada sahutan untuknya. Dia mencari ke kamarnya namun pula, kosong. Hingga ia menuju keluar balkon mengacak rambutnya frustasi. Pandangannya terdiam sesaat ketika ia melihat sosok yang dikenalnya duduk berdua di bangku taman dengan saling berpelukan.
Oh, apa yang dilakukan istri dan pengawalku dengan saling berpelukan seperti itu? Berani-beraninya dia menyentuhkan tangannya kepada milikku.
Yafizan mulai geram, ia mengepalkan kedua tangannya. Ia menyipitkan mata serta menggertakan gerahamnya, rasanya ingin ia segera turun ke bawah lalu menghajar pengawal setianya itu. Namun diurungkan segera niatnya itu. Kali ini ia mencoba untuk bisa menahan emosinya.
Beeepp...
Terdengar bunyi kode akses pintu yang terbuka. Kedua insan yang dinantikannya sedaritadi sudah tiba. Ruang tamu menjadi gelap padahal Soully ingat ketika ia keluar lampunya masih menyala. Rona menekan saklar untuk menyalakan lampu dan begitu terkejutnya mereka ketika melihat Yafizan sedang duduk di sofa dengan kedua tangan yang dikepal di atas pahanya. Dengan tatapan tajam ia melihat kedua orang itu.
"Paman, apa yang kau lakukan di situ? Mengagetkan saja," seru Soully hingga membuat Rona membelalakan matanya.
"Paman?" ujar Rona yang tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Ups, maksudku...Sa-yang. Ya, Sayang! Kenapa kau duduk bergelap-gelapan di sini?" gugup Soully yang diapun tak mengerti kenapa ia spontan memanggil suaminya dengan sebutan 'Paman' lagi. Soully menghampiri Yafizan yang masih tetap dengan sikap dinginnya.
"Bos, Soully, aku masuk dulu. Kalian juga beristirahatlah," pamit Rona.
Namun, baru selangkah Rona berjalan menuju kamarnya, dengan gerakan cepat Yafizan sudah menghadangnya, tentu saja membuat Rona terhenti dan terkejut ketika tiba-tiba bosnya berdiri tepat di depannya dengan menarik baju di dadanya. Tatapannya tajam seperti Singa yang sudah siap melahap mangsanya.
"Bos, ada apa?" gugup Rona.
Rona baru mengerti akan sikap bosnya ketika ia menyentuhkan tangannya pada tangan Yafizan yang sudah mencengkram baju di dadanya itu.
"Ini tidak seperti yang kau bayangkan, Bos," ucap Rona dalam hati karena ia tahu Yafizan bisa mendengar apa yang diucapkannya. Rona menggelengkan kepalanya menjelaskan jika yang terjadi tidak seperti apa yang dilihatnya.
Soully tidak mengerti apa yang dilakukan kedua orang itu. Dia melihat suaminya dengan tatapan marah. Segera ia melerai mereka, menarik suaminya untuk bicara di kamar. Namun Yafizan tak bergeming, ia menepiskan tangan Soully dengan kasar dan ia pun tak menyadarinya ketika Soully meringis kesakitan.
"Kau, memang pengawalku yang setia, kau seperti saudara bagiku dan aku percayakan semuanya padamu. Tapi jangan sampai kau memanfaatkan kepercayaan yang aku punya padamu. Dan satu hal lagi, bukan berarti kau dekat dengan istriku, maka kau dengan bebas seenaknya menyentuh apa yang menjadi milikku!" tegas Yafizan dengan nada penuh penekanan.
Ia segera berlalu dan menarik tangan Soully. Rona terdiam melihat bosnya pergi dengan amarah yang ternyata bisa dikontrolnya. Rona berjalan lunglai menuju kamarnya.
Oh, kau sungguh posessif berlebihan, Bos. Siapa juga yang akan mengambil Soully darimu? Jelas-jelas kelak kau yang akan meninggalkannya dan ketika itu tiba aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Yang jelas saat ini saja fikiranku kacau dengan menanggung beban rahasia cerita masa lalumu.
Seketika Rona merasa sedih dan bersalah lagi. Ia menjatuhkan dirinya di tempat tidur. Apa yang harus ia lakukan ketika besok pagi menjelang tiba?
***
Di kamar, Yafizan menghempaskan tubuh Soully hingga tubuhya terpental. Segera ia menahannya dengan posisi di atas Soully. Dia menatap tajam wajah Soully lalu mencium bibirnya dengan menggebu, melumatnya tanpa ampun hampir-hampir Soully susah untuk bernafas.
"Ke-napa kau...seperti ini? Lepas!" Soully mendorong tubuh Yafizan dan melepaskan ciumannya.
"Memangnya kenapa? Aku suamimu, aku berhak melakukan apa saja kepada istriku," tegas Yafizan.
"Tapi tidak seperti ini! Kenapa sebenarnya kau ini?" seru Soully bangun dari tempat tidurnya. Dia sudah ketakutan dan gemetaran. Segera ia pergi menjauh namun dirinya tertahan karena dengan cepat Yafizan sudah menarik tangannya kembali.
Yafizan melihat wajah Soully yang pucat dan gemetaran. Matanya menunjukkan betapa takut dirinya saat ini. Hatinya yang keras menjadi luluh kembali dan menyadari segera jika perbuatannya saat ini adalah salah. Ia memeluk Soully dengan erat dan merasakan tubuh Soully bergetar karena menangis.
"Jangan menangis. Tidak, kumohon jangan menangis. Maafkan aku," mohon Yafizan menenangkan. "Maafkan aku terlalu cemburu saat melihatmu berpelukan dengan Rona," jelasnya.
Soully menjauhkan tubuhnya, tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Hanya karena cemburu Yafizan berubah se-possesif itu? Bahkan dengan orang yang paling dipercayainya.
"Betul, aku akan menjadi possesif bahkan lebih possesif jika itu mengenai dirimu. Tidak peduli siapapun yang berani menyentuhmu, aku takkan segan untuk melenyapkannya," ucap Yafizan penuh penekanan seolah tahu apa yang difikirkan oleh Soully. Ia menyeka air mata yang tiap kali menetes ketika Soully memandangnya dengan tidak percaya.
"Tolong, jangan buat aku bersikap seakan aku benar-benar akan menyakitimu. Cukup hanya kau tetap bersamaku dan tak ada seorang pun yang menyentuhmu," ucap Yafizan memeluk Soully lalu mencium puncak kepalanya.
***
Pagi ini Yafizan mengajak Soully ke kantornya untuk bertemu Mr.Govind perihal tawarannya untuk menjadikan Soully asisten. Rona merasa tindakan Yafizan terlalu gegabah, berkali-kali ia menegaskan agar bosnya itu mempertimbangkan keputusannya saat ini, namun saran dari Rona tidak di indahkannya.
Tujuannya yang jelas hanya ingin Soully ada dalam pengawasannya karena mereka pasti akan bertemu setiap saat di gedung yang sama.
"Kenapa tak kau jadikan saja Soully asistenmu? Waktu di konferensi pers saat itu bukankah kau sudah terlanjur bilang jika dia adalah asistenmu?" tutur Rona lagi namun tetap saja Yafizan mengabaikannya.
"Tamara yang bicara seperti itu!" hardik Yafizan sambil terus fokus pada layar laptopnya.
"Lalu, kenapa tak kau jadikan saja dia sebagai asistenmu?" tanya Rona lagi.
"Jika kau tak keberatan menggantikanmu, maka aku dengan senang hati," jawab Yafizan datar dan membuat Rona terdiam.
Bagaimanapun, Yafizan tetap menghargai kehadiran Rona sebagai pengawal sekaligus orang kepercayaannya yang selama ini menemaninya. Sebagai asisten tentu saja Yafizan lebih mempercayakannya kepada Rona, karena hanya Rona yang sudah mengetahui segala hal mengenai dirinya dan usaha-usaha yang dikelolanya mulai dari nol.
"Apa Soully sudah bertemu dengan Mr.Govind?" tanyanya sambil tetap fokus pada pekerjaannya.
"Tadi aku sudah mengantarnya dan Mr.Govind menyambutnya dengan antusias," jawab Rona. "Bos, apa...kau benar-benar yakin mengizinkan istrimu bekerja kembali?" Rona balik bertanya.
"Kenapa memangnya?" jawab Yafizan yang dibalas dengan pertanyaan.
"Entah kenapa aku merasa perasaanku tidak enak," ucap Rona datar.
Yafizan mengerutkan dahinya. Dia masih penasaran siapa orang yang menginginkan istrinya untuk menjadi asistennya di Rumah Produksi yang dikelola Mr.Govind? Sejujurnya...dia pun merasa tidak yakin. Hatinya begitu tak ingin jika istrinya bekerja dengan orang lain. Dia justru ingin jika Soully bak ratu yang hanya bisa memerintah orang saja, bukan di perintah orang! Sungguh, hatinya bergejolak.
***
"Soully, apa kabarmu? Apa sekarang kau sudah benar-benar sehat sekarang?" sapa Mr.Govind sembari mengangkat cangkir tehnya ke atas mengajak Soully untuk mencicipinya juga.
Mr.Govind menyesap teh panas itu lalu diturunkannya kembali cangkir teh tersebut di atas meja. Terlihat Soully pun melakukan hal yang sama. Perasaannya sangat tegang saat itu. Bagaimanapun sudah cukup lama saat ia absen tidak bekerja namun Mr.Govind dengan tangan terbuka memperlakukan Soully dengan baik. Jika itu di tempat lain mungkin saat ini Souly sudah benar-benar menjadi pengangguran sejati.
"Kau tentu sudah tahu tujuanmu datang ke mari. Aku fikir kau tidak menerima tawaran pekerjaan sebagai asisten," ujar Mr.Govind.
"Dengan senang hati saya menerima tawaran anda, Mr.Govind," sahut Soully senang.
"Oh, sungguh kau memang orang yang pas dan bisa diandalkan, Soully. Sejak aku pertama kali melihatmu, entah mengapa aku benar-benar melihat potensi yang positif dalam dirimu. Asal kau tahu saja, aku biasanya tidak mudah menerima apalagi percaya kepada orang lain untuk berkerja di perusahaanku ini. Tapi padamu, ini hal yang langka," ucap Mr.Govind membuat Soully tersipu.
"Kau...maksudku anda terlalu berlebihan Mr.Govind."
"No problem, kau tak usah bicara terlalu formal padaku. Tentu saja ini tidak berlebihan. Ini fakta. Dan dia juga biasanya sama denganku paling susah menerima orang. Tapi ketika melihat resume-mu, dia langsung memilihmu tanpa berfikir dua kali."
"Dia?
"Yes, he will be your boss. Kau bisa datang besok karena aku akan segera memberitahu kalau kau mau menjadi asistennya."
"Oke, kalau begitu besok pagi aku resmi menjadi bagian dari perusahaanmu, Mr.Govind. Tolong bimbingannya." Soully beranjak pamit membungkukkan setengah badannya memberi hormat.
"Thanks a lot, Soully. Really, kau penyelamatku. Karena kau proyek program reality show yang sudah ditunggu-tunggu akan segera tiba," girang Mr.Govind seraya mengulurkan tangannya mengajak Soully berjabat tangan. Soully membalas jabatan tangannya dan tersenyum.
Soully keluar dari ruangan Mr Govind. Kakinya melangkah senang.
***
Bersambung...