"Aku peringatkan kau untuk tidak datang ke mari dan menemuiku lagi. Maafkan aku Tamara, tapi kini aku sudah menikah dan aku sangat menyayangi bahkan mencintai istriku," tegas Yafizan.
"Sayang? Cinta? Bagaimana mungkin kau mencintainya hanya dalam dua bulan ini?" cibir Tamara.
"Ya, aku mencintainya lebih cepat dari yang aku bayangkan. Aku memang berfikir ketika kau kembali maka aku akan segera meninggalkannya dan kembali bersamamu. Tapi faktanya aku bahkan tak ingin kehilangan dirinya," tegas Yafizan.
"Bagaimana mungkin kau melupakanku begitu saja, Baby? Melupakan cinta kita..."
"Bisa saja, kau pun demikian. Meninggalkanku tanpa menoleh kembali padaku. Tiga tahun. Bahkan kau tak pernah menghubungiku."
"Apa...kalian sudah melakukannya?" tanya Tamara tak percaya sekaligus ragu.
"Menurutmu? Apa aku harus menceritakan se-detail mungkin padamu? Apalagi yang akan dilakukan suami yang begitu berhasrat ketika ia sangat mencintai istrinya dan membuatnya bagai candu dalam hidup dan hatinya, dalam hari-harinya..." jawab Yafizan binar dengan parau namun tegas dalam setiap kata-katanya.
Tamara mendadak lunglai, ia terduduk lemas di sofa. Sungguh hatinya terasa sakit ketika ia melihat di dalam mata Yafizan menyimpan cinta yang begitu besar untuk Soully. Ia tahu jika 'manusia special' seperti Yafizan jika sudah dalam ikatan pernikahan lalu mereka menyatukan tubuh dan hasrat mereka maka ikatan hubungan mereka takkan bisa terpisahkan. Bahkan mereka akan saling setia dan mencintai lebih pasangannya. Dia memandangi foto besar yang terpajang di dinding serta foto-foto yang dipajang beraturan di atas meja kerjanya. Hatinya semakin sakit dan semakin mendendam.
"Aku harap...kita tak saling berhubungan lagi. Maafkan aku karena tak bisa menepati janji untuk selalu bersamamu," maaf Yafizan.
Tamara berdiri lalu menghampiri Yafizan, dengan berbisik ia bicara. "Kau...akan ku pastikan kembali padaku dan melupakan istri yang sangat kau cintai itu. Karena cintamu padaku lebih besar daripada cintanya. Aku, akan kembali lagi dan akan selalu menemani hari-harimu."
Yafizan berdiam diri dan hanya menatap punggung Tamara hingga kemudian pergi menghilang di balik pintu.
Tidak, takkan pernah Tamara. Sampai kapanpun aku akan selalu mencintai istriku. Walaupun rintangan mengusik hidup kami nanti.
Segera Yafizan mengambil ponsel di atas meja kerjanya. Dicobanya berulang kali menghubungi Soully, namun dirinya baru tersadar ketika suara getaran di dalam laci meja kerjanya itu semakin jelas terdengar. Ponsel Soully ada di dalam lacinya ketika Sisca memberikannya tadi.
Yafizan merutuki dirinya 'bodoh' lalu dilihatnya jejak makan siang yang belum dibereskan itu di atas meja kecil, dia melihat makanan yang belum sempat dihabiskan Soully.
Oh, ke mana kamu Sayang...tolong jangan seperti ini...
***
Soully duduk sendiri di halte bus setelah ia berusaha menahan dirinya untuk tidak menangis. Berulang kali ia menghela dan menarik nafas dalam dengan mata yang berkaca-kaca. Siang itu matahari menampakkan cahaya redup karena sudah tertutup awan hitam. Suara gemuruh pun mulai bersahutan di langit yang sudah mulai mendung.
Sesekali Yafizan melihat ke arah kaca jendela besarnya yang memperlihatkan langit dan pemandangan yang terlihat bagaikan maket kota dari bawah sana. Ia melihat kala itu sesekali nampak guratan-guratan cahaya petir yang menghisi langit. Dirinya begitu khawatir akan Soully yang pergi begitu saja. Harapannya semoga Soully hanya pergi dan pulang kembali ke apartement.
Tiba-tiba hujan turun dengan lebat setelah suara gemuruh beberapa kali terdengar. Tanpa basa basi lagi hujan yang mengguyuri dunia membuat aktivitas orang-orang berhenti dan sibuk berlalarian untuk mencari tempat untuk berteduh. Soully masih terdiam dan duduk di tempatnya. Ia menghirup udara segar dan aroma khas bau tanah yang disirami air hujan tersebut dan membuatnya sedikit tenang. Tapi, lagi-lagi dirinya bersedih.
.
.
.
Soully beranjak dari tempat duduknya dan berdesakan melewati orang-orang yang berteduh di halte bus tersebut. Dirinya tak kuasa menahan bendungan air di sudut-sudut matanya yang kini sudah menganak sungai. Ia berlari dan membasahi dirinya sendiri dengan hujan. Sambil berjalan ia menangis tersedu-sedu karena sudah tak bisa menahan tangis. Dibarengi hujan yang semakin deras dan suara gemuruh yang bersahutan Soully menangis sejadinya.
Saat di atas trotoar jembatan dia duduk sambil memeluk kedua lututnya. Soully masih menangis dan semakin keras, dipukulnya dadanya berkali-kali hanya untuk meredakan tangisannya namun masih saja terasa sakit. Kini, dirinya tak tahu harus bersikap seperti apa dan bagaimana. Entah mengapa juga ia harus merasa sesakit ini. Padahal kejadiannya belum tentu seperti apa yang diucapkan Tamara tadi.
Kenapa dadanya terasa sesak dan sungguh penat? Benarkah suami yang selalu bilang sayang dan mencintainya itu berencana menceraikannya dan kembali pada cintanya yang pertama?
Sebuah mobil sport biru elektrik tiba-tiba berhenti tepat di depan Soully yang sedang menangis. Dia keluar dari mobilnya lalu memakai payung untuk dirinya dan memayungi Soully yang sedang terduduk di trotoar jembatan. Soully mendongakkan wajahnya ketika melihat seseorang sudah berdiri di hadapan dan memayunginya. Tangisnya semakin menjadi saat ia melihat orang itu.
"Kak Erick..." ucap Soully parau.
"Apa kabarmu, my Angel?" sapa Erick tersenyum dengan wajah datarnya, namun tatapan matanya tak bisa bohong jika ia begitu merindukan sosok yang kini berada di hadapannya.
Dengan gerakan cepat Soully segera berdiri lalu memeluk Erick dengan erat. Erick hanya terdiam dan tak lama ia membalas pelukan Soully karena sungguh tak bisa dipungkiri lagi jika dia sangat merindukannya.
Tangis Soully pecah dan semakin tersedu-sedu. Erick menepuk-nepuk pelan pundak Soully. Hingga beberapa saat tangisan Soully mereda. Di bawah payung diiringi guyuran hujan mereka tetap berdiri dan saling berpelukan. Erick tak mempedulikan bajunya yang menjadi basah karena Soully yang sudah kehujanan sebelumnya. Yang ia pedulikan adalah Soully. Dengan jiwa dokternya, justru ia merasa khawatir dan menjaga suhu tubuh Soully agar tetap hangat.
Di dalam mobil Erick terus memperhatikan Soully yang sudah tertidur lelap. Ia tak berani bertanya sedaritadi ketika Erick mengajak Soully untuk masuk ke dalam mobil dan membawanya pulang. Diperhatikannya wajah Soully yang pucat karena kehujanan walaupun Erick sudah memberikan jasnya untuk menyelimuti tubuh Soully. Tangannya mengusap perlahan pipi Soully yang dingin. Hatinya kini membuncah bahagia karena perempuan yang ia rindukan ada di hadapannya sekarang, walau ia pun tak tahu sampai kapan kebahagiaan yang dirasakannya kini bisa bertahan berapa lama.
Erick keluar dari mobil lalu dengan perlahan ia menggendong Soully ala bridal style masuk ke dalam rumahnya. Ia membaringkan Soully lalu membersihkan dirinya terlebih dahulu.
Setelah Erick mandi, ia membawa baju kering dan air hangat di wadah dengan handuk kecil untuk membersihkan tubuh Soully.
Soully terbangun sebelum Erick hendak melakukan kegiatannya.
"Kak Erick, kau..." Soully menyilangkan kedua tangan di dadanya.
"Maaf Soully, tenanglah aku tak bermaksud..." gugup Erick seolah kepergok hendak mencuri sesuatu. "Ini gantilah baju basahmu," imbuhnya.
Soully menatap Erick yang sudah dengan wajah merona. Bagi Erick mungkin melihat bagian tubuh Soully adalah hal biasa karena saat menjalani operasi Erick sudah melihat isi daripada bagian tubuh Soully. Dan selama ia koma pun, Erick yang selalu membersihkan dirinya dengan dibantu suster untuk mengganti baju pasiennya.
Bahkan ia pun sudah sering melihat bagian-bagian tubuh pasien-pasien yang ia tangani selama ini. Jadi baginya itu hal yang biasa.Tapi tidak bagi Soully, kini dia perempuan sadar dan tahu batasan. Tak ada pria lain yang bisa melihat isi tubuhnya selain suaminya.
"Cepat gantilah. Kau bisa masuk angin," ujar Erick. "Maafkan aku...karena telah menjadi kebiasaanku ketika kau koma aku..."
"Tak apa, aku mengerti," sahut Soully cepat memotong ucapan Erick. "Tapi aku sekarang sudah sadar, Kak," sambungnya lalu ia turun dari tempat tidur menuju kamar mandi.
Erick terdiam memandang punggung Soully yang lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Ada rasa kesal campur sesal karena kebiasaan itu masih melekat dalam dirinya. Bagaimana tidak selama tiga tahun Soully koma, hanya dia yang mengurus dan menjaganya.
Di dalam kamar mandi, Soully malah terdiam duduk di atas closet yang tertutup. Soully merasa kacau, fikirannya terus tertuju pada Yafizan.
***
"Kau sudah mencari tahu di mana Soully berada?" tanya Yafizan. Dan Rona hanya menggelengkan kepala.
Kali ini Rona merasa dirinya tidak berguna, beban rahasia yang dipikulnya serta ia tak bisa membujuk bahkan menahan Soully agar tidak pergi membuat diriinya semakin berkecamuk.
"Maafkan aku, Bos..." keluh Rona.
"Terus bantu aku mencarinya, jangan hanya meminta maaf," ucap Yafizan datar lalu dengan langkah gontai ia berjalan menuju lift untuk pulang diikuti Rona dari berlakang.
Rona mengemudikan mobilnya, sepanjang perjalanan hanya keheningan di antara mereka. Sesekali Rona melirik Yafizan yang hanya melihat pemandangan jalanan luar dari jendela kaca mobil dengan pandangan kosong.
Berkali-kali Yafizan mengumpat dirinya sendiri setelah ia melihat serta menggenggam erat ponsel Soully yang kini berada di tangannya. Sekarang, dengan ponsel milik Soully yang ada padanya bagaimana cara ia menemukan istri yang kini sangat dicemaskannya itu.
"Sayang...kau ada di mana? Kuharap kau ada di apartement ketika aku sampai nanti..." gumam Yafizan dalam hati.
***
Soully sudah mengganti pakaiannya ketika ia keluar dari kamar mandi. Dilihatnya Erick yang masih tinggal di situ.
"Aku akan pergi keluar sebentar. Kau mau makan apa?" tanya Erick.
"Apa saja," jawab Soully acuh.
Erick pamit pergi, dia tahu jika Soully merasa canggung padanya saat ini. Namun sebisa mungkin ia menata hatinya agar rasa yang dipendamnya saat ini tidak terlihat jelas oleh Soully.
Soully menghela nafas panjang. Ia merasa sikapnya memang sedikit keterlaluan pada Erick padahal jelas-jelas selama ini Erick lah orang yang berjasa besar akan kesembuhan Soully. Walaupun itu keajaiban dan kehendak dari sang Maha Kuasa, tapi jika bukan karena ketelatenan dan perjuangan Erick merawat serta menyembuhkan Soully, dirinya mungkin takkan hidup seperti sekarang.
Maafkan aku Kak Erick...
***
Yafizan sampai di apartementnya, dengan langkah cepat bahkan ia harus beteleportasi untuk segera sampai di dalam apatementnya ketika mobil yang dikemudikan Rona masih terjebak dalam kemacetan lalu lintas karena adanya sebuah mobil Container yang mogok sehingga menghalangi jalanan yang sebenarnya tak cukup ramai di jam petang sekarang ini. Namun ketika kecelakaan itu terjadi membuat kendaraan yang biasanya tak macet jadi mulai padat karena terhalang mobil Container tersebut. Padahal jarak kantor ke apartement kurang dari 1 jam.
Yafizan terus memanggil dan mencari keseluruh ruangan apartementnya berharap sosok yang dicari ada didalam, namun kosong.
Kau berada di mana sebenarnya...
***
Bersambung...