Pagi menjelang siang itu dikejutkan dengan kedatangan Production Director baru yang akan bekerja di salah satu Rumah Produksi dan tentunya di bawah naungan Mr.Govind. Dengan balutan kacamata hitam dan pakaiannya yang styelist membuat pemakainya makin terlihat sempurna. Pria itu keluar dari mobil mewah yang mengantarnya lalu ia berjalan menyusuri pintu lobby dan tak luput dari pandangan kaum hawa yang melihatnya bagaikan super star.
Pria itu berjalan dengan gayanya yang cool dengan memasukkan kedua tangannya di saku-saku celananya. Sambil sesekali ia menundukkan kepala dengan ekspresi dingin seraya membalas orang-orang yang memberinya salam hormat.
"Siapa dia? Uuh, sekarang bertambah lagi satu pria tampan di gedung ini!" seru seseorang berbisik-bisik.
"Tapi tetap saja ketampanan bos Yafizan tak tertandingi," bisik yang lainnya.
"Siapapun, aku mau kalau salah satunya mau sama aku..hahaha..."
"Aku dengar dia Production Director yang baru di PH-nya Mr.Govind."
Pria itu yang diikuti oleh asisten pribadinya hanya tersenyum tipis saat orang-orang membicarakannya terutama kaum hawa. Ia melangkah menuju lift tanpa menoleh siapapun yang berharap ditatapnya. Ia menghilang di balik pintu lift yang tertutup.
***
Tok tok!
Suara ketukan pintu membuyarkan ketegangan yang menjalar di seluruh tubuh Soully. Dengan cepat ia beranjak berdiri menawarkan diri membukakan pintu.
"Baiklah, silahkan. Padahal aku rasa kau tak perlu seperti itu Soully. Dengan aku berteriak untuk masuk, yang di luar pasti akan masuk," ujar Mr.Govind.
"Tak apa Mr.Govind, aku juga tak ada kegiatan selain menemanimu ngobrol saat ini," sahut Soully tersenyum getir sambil berlalu untuk membuka pintu.
Dugg!
Daun pintu itu terbuka sebelum Soully membukakan pintunya dan dengan tak sabar pintu itu mengenai dahi dan hidung Soully. Sontak yang membuka pintu terkaget dan Soully langsung mengusap dahi dan hidungnya yang terasa nyeri hingga matanya berair menahan sakit.
"Oh, sorry. Are you oke?" maaf pria berkacamata hitam itu dengan dingin dan acuh.
Soully mengibas-ngibaskan tangan kanannya. "Tak apa, ini aku yang kurang hati-hati," ujarnya seraya tangan kirinya masih mengusap dahi dan hidungnya yang sakit, masih menunduk malu.
"Soully kau tak apa?" seru Mr.Govind beranjak dari duduknya merasa cemas. "Hai, Mr.Miller ternyata itu kau!" seru sapa Mr.Govind lalu menghampiri Miller dan mereka saling menyapa dengan berpelukan. Ya, pria itu adalah Miller.
"Soully kau tak apa?" tanya Mr.Govind lagi merasa cemas.
"Tak apa Mr.Govind," ucap Soully.
"Soully?" Miller mengkerutkan keningnya sebelum akhirnya ia sadar sepenuhnya jika perempuan yang tanpa sengaja dilukainya itu adalah sosok yang paling ingin ia temui.
Ia menelisik perempuan mungil berbaju blue mint dan sepatu kets putihnya yang kini sedang menunduk malu. Sungguh cantik walaupun tak menunjukkan wajahnya.
"Oh, sungguh maafkan aku, Sayang. Aku benar-benar minta maaf, aku...aku tak sengaja..." gugup Miller yang langsung memberikan perhatiannya dan mendekati Soully yang tanpa disadarinya juga ia berucap kata 'sayang' di balik kecemasannya.
"Tak apa-apa, Tuan. Ini salahku, aku minta maaf karena tak segera membukakan pintunya tadi," timpal Soully yang sambil membungkukkan setengah badannya meminta maaf.
"No, ini gara-gara aku yang begitu tak sabaran," kilah Miller. "Biarkan aku melihatnya, apanya yang sakit? Coba kulihat." Miller memberikan perhatian yang tanpa di buat-buat. Ia memang merasa bersalah.
Tiba-tiba darah segar mengalir dari hidung Soully. Soully langsung menutup hidungnya dan menjauhkan diri ketika Miller hendak melihat dahi Soully yang terluka.
Kepanikan terjadi saat itu. Miller yang didera rasa bersalah pun makin merasa bersalah. Dengan suara baritonnya ia memerintah Bimo sang asisten pribadinya untuk penanganan pertama. Mr.Govind memberikan kotak tissue untuk menahan pendarahan di hidung Soully sementara. Miller meraih sekotak tissue itu lalu dengan cepat ia menahan tengkuk leher Soully, mendekatkan tubuhnya untuk menjadi sandaran lalu menyumpal tissue itu ke hidung Soully.
Soully terbelalak dan sedikit merasa canggung. Bagaimana mungkin pria asing yang baru ditemuinya, seperhatian itu padanya?
Dia menatap lekat wajah Miller, dan mengingat-ingat sepertinya pernah bertemu. Miller mengajak Soully untuk duduk sambil tetap menahan sumpalan tissue di hidung Soully. Bimo sang asisten merasa ada perubahan yang signifikan dari tuannya itu yang selama ini bersikap dingin dan tak pernah mempedulikan orang lain karena dendam yang sudah menahun.
Apa karena perempuan itu tuanku Miller jadi bersikap lebih manusiawi? Apa adik yang ingin ditemuinya dengan berpenampilan luar biasa dan merasa gugup dari pagi adalah perempuan itu?
Bimo menatap lekat wajah Soully. Ya, dia terlihat seperti Mayra, adik tuannya yang tewas akibat pertempuran dua saudara di negerinya seribu tahun lalu. Tapi, dia bukan Mayra. Perempuan ini sungguh berbeda. Biasanya jika reinkarnasi terjadi, wajah ataupun segala hal yang ada dalam dirinya terdahulu pasti akan tetap melekat dalam dirinya yang terlahir sekarang. Namun Soully berbeda, dia bukan adik yang bereinkarnasi seperti yang diduga Miller.
Biarkan jika memang tuannya beranggapan seperti itu, setidaknya Miller bisa bersikap lebih manusiawi.
Pendarahan di hidung Soully mulai berhenti. Miller menarik nafas lega. Pasalnya ia sudah menyelidiki tentang Soully dari sumber informasi yang diberikan Bimo. Ia juga tahu tentang bagaimana Soully harus berhati-hati agar sesuatu tidak menyakiti kepalanya ataupun terbentur benda keras karena akan mengakibatkan pendarahan yang mengalir dari hidungnya. Baginya saat ini Soully adalah sesuatu yang harus ia jaga sepenuhnya agar tidak terluka.
"Aku akan mengoleskan salep ini di kening dan tulang hidungmu untuk mengurangi rasa nyeri dan memarnya," ucap Miller yang masih perhatian.
"Biar aku saja, Tuan," sanggah Soully.
"Biarkan aku yang melakukannya atau kau ingin ku pecat?" ancam Miller dan Soully hanya pasrah Miller mengobati lukanya.
Bagaimana bisa hanya karena ia menolak i'tikad baik seseorang dan ia dipecat padahal dirinya belum mengerjakan apapun?
"Mr.Miller kau berlebihan Ha..Ha..Ha." suara tawa nyaring Mr.Govind membahana di seluruh ruangan. "Soully, lagi pula kenapa kau sensitive sekali? Terakhir kali aku melihatmu kau juga mimisan. Bahkan kau sampai dirawat di rumah sakit dan tak berkerja lagi," imbuh Mr.Govind yang langsung membuat suasana mendingin karena serius.
Tatapan Miller menjadi tajam. Ia melihat sungguh rapuh perempuan yang ada di sampingnya kini. Ia berfikir keras kecelakaan apa yang membuatnya tidur panjang selama tiga tahun itu berakibat fatal untuk tubuhnya sehingga apapun yang menyakiti tubuhnya langsung merespon dengan tanda pendarahan?
"Aku tak apa Mr.Govind, maaf aku sudah merepotkan kalian," maaf Soully.
"Tak apa Soully, melihatmu terluka sungguh membuatku cemas," sahut Mr.Govind.
"Oh ya, anda siapa?" tanya Soully yang mengalihkan pandangannya kepada lelaki yang sedari tadi sibuk menolongnya. "Sepertinya aku pernah melihatmu, tapi di mana?" imbuh Soully mengingat.
"Betul, aku hampir lupa. Soully dia Mr.Miller yang akan menjadi atasanmu. Dia Production Director baru di PH kita dan kau bekerja menjadi asistennya," jelas Mr.Govind memperkenalkan.
"Hallo Mr.Miller, namaku Soully Angel. Panggil saja Soully. Maaf aku sudah merepotkanmu dengan kejadian ini. Kuharap anda dapat membimbingku dengan baik," sapa Soully beranjak dari duduknya dan memberi hormat memperkenalkan diri.
"Duduklah, tak perlu begitu. Seharusnya aku yang meminta maaf. Dan panggil saja aku Miller. Dan ini Bimo asisten pribadi yang setia menemaniku," ujar Miller memperkenalkan Bimo kepada Soully dan Mr.Govind. Terlihat Bimo membungkukkan setengah badannya memberi hormat.
***
Jam pulang kerja sudah tiba. Dengan semangat Yafizan segera membereskan pekerjaannya dan tak sabar untuk menemui istri tercintanya itu mengingat tadi ketika jam makan siang ia masih disibukkan dengan pertemuan penting dengan kolega bisnisnya di luar kantor.
Rona hanya menggelengkan kepala melihat tingkah bosnya yang sedang kasmaran itu. Biasanya dia takkan pulang secepat ini, namun hari ini Rona di perintah untuk me-reschedule pekerjaannya agar ia bisa pulang segera mungkin.
Waktu sedikit bersama istrinya jauh lebih berharga dibanding urusan pekerjaan numpuk yang takkan ada habisnya.
Soully sudah mempelajari pekerjaan yang harus dikuasainya. Hari ini Miller sengaja memberikan waktu untuk Soully agar bisa beradaptasi dengan pekerjaan yang akan dikerjakannya nanti. Miller selalu tersenyum ketika ia melihat Soully yang sedari tadi fokus mempelajari tugasnya. Tentu saja ada campur tangan Bimo yang turut membantu Soully.
Setelah memperkenalkan diri kepada seluruh jajaran para staff dan produksi, Miller pun memberikan pengumuman tentang proyek yang akan di produserinya kali ini adalah sebuah reality show dengan tema adventures and challenges. Berharap acara itu akan sukses karena tak bisa dipungkiri karir dan keahlian Miller sudah diakui di berbagai negara. Acara apapun yang ditanganinya akan selalu mendapat ratting teratas.
Berkali-kali Soully melirik waktu di jam besar yang menempel di dinding kantornya. Ada rasa cemas karena ini sudah waktu jam pulang tapi bosnya Miller belum mengintruksikannya untuk pulang. Bibirnya sedikit dikecutkan karena Soully merasa bosnya walaupun tampan tapi tidak berperikemanusiaan.
Salahnya sendiri datang hampir pukul 11.00 siang. Silahkan anda saja, Tuan. Pulanglah terlambat sendiri dan ikuti prosedur yang ada. Aku sudah datang sedaritadi lebih awal, maka sekarang jam kerjaku sudah selesai.
Soully bergumam sendiri dengan tatapan ketus ia terus menoleh ke arah Miller yang tetap fokus pada layar digital di tangannya.
"Sst, Tuan Bimo. Apa pekerjaan hari sudah selesai?" bisik Soully bertanya pada Bimo yang duduk tepat di sebelahnya.
"Sebaiknya anda tanyakan sendiri saja, Nona," jawab Bimo dengan datar tanpa menoleh sedikit pun kepada Soully.
Soully makin merasa jengah, bentuk kerucut dari bibirnya semakin terlihat jelas. Hingga akhirnya dengan berani ia mengajukkan pertanyaan langsung pada Miller seperti yang diusulkan Bimo.
"Ehm...Tuan Miller, apa pekerjaan hari ini sudah selesai? Aku rasa jam pulang kerja sudah lewat 15 menit yang lalu." Pertanyaan Soully sontak membuat Bimo yang mendengarnya tak percaya jika Soully akan seberani itu menerima tantangannya untuk bertanya langsung pada tuannya. Alih-alih supaya Soully diam karena tak ada seorang pun yang berani bertanya ketika Miller fokus bekerja termasuk dirinya. Karena Miller akan marah jika seseorang mengganggunya tanpa pandang bulu.
Miller menghentikan pekerjaannya lalu menaruh layar digital yang sedari tadi dipegangnnya di atas meja. Ia menghela nafas dalam yang artinya sudah diketahui oleh Bimo jika saat ini bahaya mengancam Soully dan dia takkan ikut campur bahkan hanya sekedar membantu.
"Maaf, Tuan. Tapi, bolehkah aku pulang sekarang jika tak ada lagi pekerjaan yang harus aku pelajari?" tanya Soully lagi.
Miller menatap Soully tajam. "Apa kau akan terus di sini jika aku melarangmu untuk tidak pulang?"
"Jika itu mengenai pekerjaan, aku akan melaksanakannya," jawab Soully. "Dengan...catatan hitungan overtime tentunya," imbuhnya sontak membuat Miller menyunggingkan senyuman di sudut bibirnya.
"Jika kau tak kuijinkan pulang hanya tetap di sini menemaniku, bagaimana?" tanya Miller lagi. "Dengan catatan hitungan overtime tentunya."
"Tidak. Kuarsa aku akan tetap pulang. Ada seseorang yang menunggu kehadiranku," jawab tegas Soully. "Dan kurasa tanpa diriku kau tak perlu merasa kesepian, ada tuan Bimo yang menemanimu," timpal Soully melirikkan pandangannya ke arah Bimo. "Lagi pula saya tak mengerti, jika anda sudah mempunyai asisten pribadi sendiri, kenapa masih membutuhkan asisten yang lain?" gerutunya pelan.
"Hahaha...baiklah, untuk hari ini pekerjaan kita sampai di sini. Kau beristirahatlah. Dan satu hal yang harus kau tahu, Bimo berbeda dengan asisten pribadi yang aku butuhkan di perusahaan ini. Dia pengawalku," ucap Miller lembut membuat mata Soully berbinar senang. "Bimo, kenapa kau tak memberitahuku jika ini sudah jam pulang kerja? Lain kali tolong ingatkan aku soal ini," sahut Miller memperingatkan Bimo dengan santun namun tersirat makna kejam dari setiap katanya.
"Kalau begitu, saya undur diri, Tuan," pamit Soully membungkukkan setengah badannya lalu pergi.
"Tunggu, panggil aku Miller saja. Dan kita sebaiknya pulang bersama," sahut Miller.
Mereka berjalan pulang bersama. Miller terus menyunggingkan senyuman manisnya karena dirasa Soully memberikan kebahagian tersendiri untuk dirinya. Bimo yang merasa keheranan karena melihat tingkah tuannya yang selalu tersenyum sendiri namun ia kini waspada karena tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya setelah Soully pergi nanti.
Sungguh di luar dugaan, niat hanya untuk mengultimatum, malah dirinya yang akan segera di ultimatum.
***
Sementara di tempat lain, Yafizan sedang menunggu dengan cemas kedatangan istri tercintanya. Bolak balik matanya memperhatikan setiap orang yang keluar dari pintu kantor gedungnya mengingat ini sudah lewat beberapa menit dari jam pulang kerja. Berkali-kali ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya mengingat dirinya pasrah tak bisa menghubungi Soully karena ponselnya masih berada di tangannya, ia lupa tidak memberikannya tadi.
Di seberang jalan terlihat Erick yang sedang menunggu Soully di dalam mobilnya pun tampak harap-harap cemas karena perempuan yang dinantikannya belum muncul di balik pintu keluar.
Soully masih dalam lift, perjalanan menuju lobby bawah untuk segera keluar terasa lama baginya. Pasalnya Yafizan bilang akan menjemputnya dan ia takut jika suaminya menunggunya lama.
Saat Soully keluar dari balik pintu kaca yang berputar dengan orang-orang yang berlalu lalang melewati pintu otomatis tersebut, dengan segera Yafizan keluar dari mobilnya, tak sabar ingin segera mendekap orang yang paling dirindukannya.
Pun saat itu Erick melihat Soully, dirinya juga langsung keluar dari dalam mobilnya di seberang sana untuk menghampiri Soully.
Adegan terlihat bagaimana Yafizan, Rona, Erick dan Soully berjalan bersamaan. Yafizan yang melambaikan tangannya sedikit, Rona yang dengan girang menyambut Soully, Erick yang dengan percaya diri, mereka terus melangkahkan kakinya mendekat kearah Soully.
Soully celingukan, bagaimana mungkin kedua lelaki itu nekad hanya untuk menyambutnya pulang?
Saat mereka tiba, dengan kompak mereka memanggil.
"Sayang!" Yafizan.
"My Angel!" Erick.
"Soully!" Rona.
Tiba-tiba langkah kaki mereka terhenti, sesaat Yafizan melirik ke arah Erick dengan perasaan benci. Hanya Erick dan Rona yang membulatkan matanya lebar tak percaya ketika tiba-tiba saja seorang lelaki muncul di belakang Soully dan menyahutnya sehingga Soully membalikkan tubuhnya untuk membalas apa yang disahutnya. Tak segan Soully mengenalkan Miller kepada mereka yang bersikap aneh.
"Hai, perkenalkan dia Miller. Atasanku." Soully memperkenalkan bosnya kepada mereka yang masih berharap apa yang mereka lihat itu tak terlihat. Sementara hanya Yafizan yang seperti orang bodoh tak mengenal siapa sosok laki-laki yang tengah berada di hadapannya kini.
"Hai, aku Miller. Senang bertemu dengan kalian lagi."
***
Bersambung...