"Apa makanannya enak? Kau menghabiskan semuanya, Beb. Aku tahu ini memang makanan favoritmu," binar Tamara senang. Yafizan hanya tersenyum yang dipaksakan.
Bukan karena itu makanan favoritnya, namun karena rasa cemburu yang dibutakan pada akhirnya ia menghabiskan makanannya. Begitu pun sama halnya yang dialami Soully. Padahal ia tidak menyukai makanan sejenis Oishi dengan daging ikan mentah yang memang sudah terjamin keseterilannya. Dari suapan pertama kali yang Miller beri sebenarnya sudah merangsang rasa mual karena bagi Soully rasa daging ikan mentah itu tetap saja terasa bau amis walaupun sudah diberi bumbu dan topingan agar lebih berasa. Namun, ia bertahan menerima suapan demi suapan yang diberikan Miller dengan penuh sayang. Ditambah rasa mual makin terasa menyeruak ke atas di bagian ulu hatinya saat ia melihat menu makan yang Yafizan makan. Ya, sushi itu sama saja dengan yang Soully makan tadi, isian daging mentahnya makin membuat ia terasa mual dan tersekat di tenggorokan.
Yafizan meneguk minumannya sampai tandas. Rasa kesal masih menyelimuti kalbunya ditambah Soully hanya diam saja dan tak menolak perlakuan manis Miller terhadapnya.
Dengan senang hati Soully menerima suapan demi suapan dari sendok, ralat! sumpit besi yang Miller pakai juga untuk makan.
Cih, secara tidak langsung mereka saling merasakan sensasi bibir mereka.
"Thanks," ucap Yafizan kepada Tamara yang dipaksakan. Tentu saja Tamara kegirangan, merasa tindakannya berhasil mencairkan hati yang layaknya gunung es.
Dengan gembira Tamara refleks mencium pipi Yafizan dan kini, di kedua pipi mulus itu terdapat cap bibir dari noda lipstik merah Tamara.
Mata Soully melotot tak percaya. Sungguh saat ini ia ingin menjambak rambut Tamara dan takkan mempedulikan orang-orang yang masih bersisa di kantin.
"Hei, Nona dia suamiku! Apa kau waras? Setelah diusir namun, dengan polos kau mencium suamiku di depanku? Dan kau, dasar pria tak tahu diri, masih saja diam mendapatkan ciuman itu! Dasar kakek mesum, lihat kini kedua pipimu itu! Apa kau dengan bangga ingin menunjukkan kepada orang-orang kalau kau habis dicium oleh mantan kekasihmu yang cantik dan artis terkenal?" gerutu Soully dalam hati.
Yafizan tak bergeming padahal ia tahu apa yang diucapkan Soully. Dia merasa senang istrinya cemburu saat ini. Mungkin baginya skor 1-1, cukup mewakili perasaannya. Namun, ia tetap tidak suka karena Soully tak mengekspresikannya secara terang-terangan di hadapan yang lainnya. Dan...apa? Kakek mesum? Kenapa kata-kata itu seolah kata romantis yang ditujukan padanya. Dan perempuan cantik itu adalah istrinya yang memang melebihi cantiknya Tamara.
Kau yang paling cantik, Sayang...
"Baby, kenapa orang-orang di samping kita ini masih saja duduk di sini?" sindir Tamara terhadap Miller dan Soully yang belum beranjak dari tempat duduknya, berharap ia bisa berduaan saja dengan Yafizan.
"It's okay, Nona. Tenang saja kami akan segera pergi dari sini," sahut Miller. "Sayang, apa sebaiknya kita pergi dari sini sekarang?" tanya Miller membuyarkan pikiran jahat Soully.
"Aku...(ditatapnya ke arah Yafizan dan Tamara bergantian) Oke. Ayo! Sepertinya mereka ingin berduaan saja dan tak ingin di ganggu," ketus Soully menatap pasangan yang ada di depannya lalu beranjak berdiri.
Yafizan merasa kesal karena Soully mau di ajak pergi begitu saja. Ingin rasanya ia menggunakan kekuatan supernya untuk mengerjai sosok Miller yang baginya adalah seorang pengganggu.
Baru saja Soully hendak keluar dari tempat duduknya, ia sudah duduk kembali. Kepalanya tiba-tiba merasa pusing, dan mualnya mulai terasa kembali.
"Kenapa? Ada apa?" tanya Miller cemas saat mendapati Soully duduk kembali.
Sambil mengulurkan tangannya Soully berkata, "Tak apa, anda pergi duluan saja."
Yafizan terus menatap Soully yang kini duduk di depannya lagi. Kekesalannya berubah menjadi perasaan cemas di kala ia melihat rona di wajah Soully berubah pucat.
"Kenapa kau masih di sini? Apa kau enggan beranjak meninggalkan kami?" hardik Tamara merasa risih. "Oh, apa jangan-jangan kau ingin menyaksikan pertunjukan kami?" Tamara mencekal leher Yafizan, lalu tanpa permisi mengarahkan wajah Yafizan mendekati wajahnya. Perlahan tapi pasti, bibir mereka tinggal beberapa centi lagi hampir mendekat.
Soully beranjak berdiri, rasanya melihat adegan yang akan ditampilkan di depannya membuat rasa mual itu semakin menjadi. Dan memang tanpa mual pun rasanya Soully ingin memuntahkan semua isi perutnya itu ke arah mereka berdua. Sungguh, suami tak tahu diri! Umpatnya terus menerus hingga ia kini tak bisa menahan rasa mual yang terus naik ke ulu hati dan hampir ke tenggorokan.
"Kau mau ke mana?" tanya Miller yang ternyata masih berada di kantin dan duduk di meja samping.
Soully menutup mulutnya seakan ia hampir muntah saat itu juga. Matanya mencari-mencari toilet atau wastafel terdekat. Dengan susah payah ia menahan agar tak menumpahkan isi perutnya di mana saja. Soully memutari langkahnya melewati meja di mana Yafizan dan Tamara duduk dan hampir melakukan adegan tak terpuji itu. Namun, tangannya dicekal erat oleh Tamara supaya Soully melihat adegan yang akan ia lakukan pada Yafizan.
"Kau mau ke mana? Apa kau takut? Baby, lihat istri tersayangmu ini ternyata ia tidak peduli sama sekali. Bagaimana mungkin ia pergi begitu saja membiarkan dirimu jatuh ke pelukanku lagi," cemooh Tamara.
Soully meronta supaya Tamara melepaskan tangannya. "To-long lep-passs..." Soully berucap dengan susah payah. "No-na tol-llongg lepp..." tumpahan isi perutnya seketika langsung mendarat pada tangan Tamara yang sedang mencekal tangan Soully.
Tamara langsung melepaskan tangannya, sontak ia langsung berdiri dan merasa jijik pasalnya muntahan itu mengenai tangannya yang terawat. Tamara berdecak sebal dan merutuki Soully, sementara Soully sudah kepalang tanggung ia menumpahkan semua makanan yang sempat di makannya tadi di lantai kantin. Beruntung saat itu karyawan yang sudah selesai memakan makan siangnya sudah pergi meninggalkan kantin satu persatu. Hingga di kantin itu hanya ada Yafizan, Miller, Soully dan Tamara.
Yafizan dan Miller sudah sigap mendekati Soully. Tatapan tak suka dari raut muka Yafizan karena Miller sudah lebih gesit menekan dan memijit ringan pundak Soully.
Ia mengepalkan tangannya lalu dengan gerakan cepat ia menggeser tubuh Miller menjauh dari Soully. "Sayang, kau tak apa?" akhirnya Yafizan berucap. Rasa panik terlihat jelas, ia takut terjadi sesuatu pada istrinya.
Soully menatap Yafizan seakan tak suka. Ke mana saja anda dari tadi, Tuan?
"Ayo, kubawa kau ke klinik!" ajaknya tanpa menunggu kata setuju dari Soully ia langsung membawanya dengan menggendongnya ala bridal style. Secepat kilat berteleportasi ia membawa tubuh Soully ke klinik kantor untuk pertolongan pertama terlebih dahulu.
"Tolong bersihkan yang ada di sini!" seru Miller melambaikan tangan pada Office Boy (OB) yang ketika itu hendak membereskan serta membersihkan kantin dari sisa-sisa kegiatan makan siang para karyawan untuk menjamin kebersihan ruang kantin tersebut kembali.
Petugas OB itu mengangguk dan menghampiri sesuai arahan tugas yang diberikan Miller. Miller hanya tersenyum getir melihat kejadian tadi. Dan tanpa disadarinya ia pun tanpa merasa jijik ketika melihat Soully muntah di hadapannya. Perasaan aneh itu muncul karena biasanya ia tak suka melihat hal-hal yang menjijikan.
Sedang Tamara masih sibuk membersihkan dirinya sendiri dengan marah-marah tak jelas serta merutuki Soully supaya bernasib sial seperti dirinya.
***
Di atap paling atas gedung kantor kini telah berdiri dua orang kepercayaan tuannya masing-masing. Keduanya menatap pemandangan kota yang terlihat dari ketinggian gedung itu.
"Apa kabarmu selama ini?" tanya Bimo.
"Tanpa aku beritahu kau sudah sangat jelas melihat bagaimana keadaanku, bukan? Akh, maksudku keadaan kami (dirinya dan Yafizan)," jawab Rona sinis.
"Yah...kau benar, kurasa kau menjalani hidupmu dengan baik," kata Bimo.
"Apa tujuanmu sebenarnya? Bukan! Tujuan tuanmu Miller pastinya. Apa yang kalian rencanakan?" celetuk Rona membuat Bimo menyeringai.
"Hai, Adik. Kau memang dari dulu tak pernah berbasa-basi," seru Bimo. "Kau, tentu saja mengetahuinya, bukan?" imbuhnya.
"Cih, dendam yang sudah menahun itu apa masih belum sembuh dan terus membara?" desis Rona.
"Ck, apa kau cemas dan takut jika tuanku Miller menyerang tuanmu? Sedang kurasa kau menghilangkan memorinya. Entahlah, aku tak tahu apa tujuanmu dengan melakukan hal konyol seperti itu. Tapi yang jelas saat ini tuanku Miller dalam suasana hati yang baik, dan...aku rasa ia akan melupakan sejenak masa lalunya," terang Bimo.
"Apa karena Soully?" tebak Rona tepat.
"Tsk, kau bahkan memanggil istri tuanmu dengan panggilan nama," Bimo terkekeh.
"Dia sudah seperti adik bagiku. Bahkan tuanku Yafizan menganggapku seperti saudaranya," sahut Rona. "Apapun tujuan kalian, kuharap bukan hal keburukan yang akan kalian tuai. Semoga rasa dendam di hati tuanmu itu juga bisa tersembuhkan. Ini sudah lebih dari seribu tahun. Silahkan saja bila tuanmu mengganggap Soully sebagai Mayra, tapi yang jelas dia bukan Mayra, bukan pula reinkarnasinya. Kupastikan itu seratus persen!" tegasnya dengan nada yang ditekankan.
"Dan, satu hal lagi, jangan pernah menyakiti Soully secuil pun. Jika sampai kalian menyakitinya maka kalian akan berhadapan denganku!" tambahnya memperingati.
"Wah, ada angin apa sehingga kau membela anak manusia itu? Kau tentu sudah tahu resiko apa yang akan dialami perempuan terpilih itu, bukan?" tukas Bimo. "Apa kau menyembunyikan sesuatu dari tuanmu? Tentu saja, kau bahkan menghilangkan sebagian memorinya," ucapnya lagi tanpa melihat Rona.
Rona beranjak pergi, ia tak ingin memperpanjang debatannya. Sebagai Panglima tertinggi, sudah pasti ia ingin mengoyak bahkan menghancurkan pria yang sedang memprovokasi dirinya saat ini. Tanpa bergeming kemudian dalam sekejap mata, Rona menghilang tanpa jejak tanpa suara langkahnya.
***
Flashback on
Seorang pemuda berbaju lengkap dengan atribut baja, bertunduk simpuh di hadapan Yang Mulia Raja. Dia mendapat gelar Panglima tertinggi di usianya yang masih sangat muda. Dia ditugaskan mengawal seorang Pangeran yang sedang frustasi di rundung kesedihan teramat dalam karena kematian adik tercintanya.
Seorang senior Panglima itu tiba-tiba mendekatkan diri, bersimpuh dan memberi hormat ke hadapan baginda Raja.
"Mohon ampun, Yang Mulia. Tugas yang anda berikan kepada Panglima tinggi biarkan saya yang menggantinya. Sebagai gantinya, biarkan Panglima tinggi mengawal putra anda, tuanku Yafizan, menemaninya selama diturunkan di bumi," ucapnya seraya menundukkan pandangannya memberi hormat.
Flashback Off
Aku senang karena kau disandingkan dengan tuan yang tepat. Dan perempuan itu, biarkanlah waktu dan takdir yang akan menjawab semua misterinya, yang terpenting saat ini aura positif dari dirinya membawa kita ke dalam hari-hari yang membahagiakan. Penuh cinta kasih untuk tuanmu dan tuanku, Miller...
***
"Kau mau ke mana? Istirahatlah, Sayang. Sudah aku bilang kan tadi seharusnya kau tak usah bekerja," sahut Yafizan setelah mendapati Soully yang hampir turun dari ranjang klinik yang berada di ujung koridor kantor.
"Aku tak apa-apa..." elak Soully seraya menurunkan kakinya berusaha untuk bangun.
"Kau sungguh keras kepala!" seru Yafizan yang membantu istrinya untuk turun. "Kenapa kau terlalu memaksakan dirimu?" gerutunya kesal.
"Aku baru bekerja dan harus menyelesaikan pekerjaanku," ucap Soully datar.
"Ya, tapi..." protes Yafizan belum selesai karena disahut Soully duluan.
"Aku baik-baik saja, oke. Dan jangan pedulikan aku!" Soully berjalan pelan meninggalkan Yafizan yang mendudukan dirinya di atas ranjang pasien. Baru saja ia melangkah, perkataan suaminya langsung membuatnya menghentikan langkahnya. Ucapannya membuat ia tak bergeming, menohok sampai ke dalam hatinya.
"Sebenarnya kau ingin bekerja karena tak enak dengan Mr.Govind atau kau ingin terus berdekatan dengan si Miller kurang ajar itu?" tanya Yafizan dengan nada yang di lambat-lambat. "Apa segitu inginnya kau berdekatan dengan pria itu? Bahkan kau mengganti gaya rambutmu hanya untuk menarik perhatiannya, kah? Kau tersenyum riang di depannya dengan lepas tanpa beban. Dan...dengan senang hati menerima suapan demi suapan darinya yang bahkan sebenarnya kau tidak suka dengan makanannya," ucapnya lagi perlahan menghela nafas dalam.
"Kau terlalu memaksakan diri dan hampir membahayakan dirimu sendiri. Apa sebegitu inginnya kau bekerja dengan alih-alih kebaikan Mr.Govind? Padahal kau tinggal menikmati semuanya tanpa harus bekerja. Kau tinggal duduk manis, perintah saja orang-orangku sesukamu, kau bisa menghabiskan uangku. Kau harus ingat kalau kau nyonya Yafizan Aldric! Kau istriku!" tegasnya dengan nada yang ditekankan dan bergetar menahan rasa sesak di dadanya.
Soully terdiam, ia berusaha menahan bendungan air matanya agar tak tumpah. Ya, dirinya memang Nyonya dari seorang Yafizan Aldric. Bagaimana mungkin dia tak mendapat segala fasilitas yang dipunyai oleh suaminya itu. Orang-orang pasti akan langsung menunduk hormat jika ia mengucapkan nama suaminya. Tapi bukan Soully namanya jika ia seperti itu. Walaupun kini ia masih kehilangan ingatannya, jiwa mandiri dan pekerja keras yang sudah merupakan bawaan kepribadiannya itu tak bisa hanya duduk manis, berleha-leha dan menerima begitu saja anugerah dan segala hal yang dimiliki suaminya. Ia hanya tak ingin menyusahkan suaminya itu, dengan penghasilan yang dimilikinya sendiri membuat ia ingin menggunakannya untuk kebaikan.
Dan hal yang paling penting, jikalau memang ia bisa menikmati semua fasilitas yang dimiliki Yafizan, apakah sah sah saja? Tentu saja, iya. Tapi apa yang akan dikatakan orang-orang jika pernikahan mereka saja tidak diumumkan secara resmi ke hadapan publik. Sedang mereka hanya mengetahui hubungan resminya dengan artis cantik dan super model internasional, Tamara.
Dengan masih berdiri membelakangi Yafizan, Soully berusaha berucap. "Orang orang...hanya tahu, kalau aku...hanyalah asisten pribadi kalian. Kau dan Tamara. Orang tidak tahu kalau..." ucapannya tertahan isakan, Soully tak bisa menahan lagi air matanya. Tubuhnya bergetar hebat karena buliran bening itu semakin deras mengalir membasahi pipinya. Sekuat hati ia meneruskan ucapannya. "Orang tidak tahu...kalau aku, istrimu..."
Tangis Soully pecah menggema di ruangan klinik itu. Ia berjongkok dan menutup wajahnya. Menangis sejadinya.
Ucapan Soully memang benar, konferensi pers waktu itu memang menyatakan dirinya adalah asisten dari majikan yang sebenarnya adalah suami sahnya. Walaupun Tamara yang menyatakannya, namun pernyataan itu tak bisa ia elak lagi. Bahkan, saat ini pun ia ingin berteriak jika Soully adalah istrinya. Istrinya. Istrinya!
Yafizan mendekati Soully, lalu ikut berjongkok agar menyeimbanginya, memeluknya erat dari sisi tubuhnya, merengkuhnya kuat hingga perasaan kacau balau itu terasa bagaikan sembilu menembus jantungnya.
Jangan menangis...jangan menangis...
***
Bersambung...