Chapter 49 - Bab 49

Suasana sesaat menjadi hening di ruang kerja yang cukup mewah itu. Dengan dekorasi melankolis khas gentleman yang bernuansa dark grey dan putih itu seolah menjadi ruangan kosong tanpa penghuni. Soully sudah duduk di meja kerjanya, memperhatikan dan mempelajari tugas-tugasnya sambil sesekali melihat layar ponselnya yang ber-wallpaper foto pernikahannya. Tadi, suaminya Yafizan memberikan ponsel itu karena tanpa alat komunikasi tersebut, ia takkan bisa menghubungi dirinya. Bahkan sekarang dengan sengaja ia menanamkan chip pelacak lokasi atau lebih tepatnya menyadap semua yang berkaitan di ponsel itu tanpa sepengetahuan istrinya. Possesif memang, tapi itulah yang terjadi.

Miller duduk terdiam di kursi kebesarannya, menatap Soully yang sedari tadi ketika kembali dari klinik hanya terdiam. Bimo yang merasakan ketegangan itu hanya ikut diam sambil sesekali melirikan matanya ke arah Miller dan juga Soully bergantian, lalu ia menggelengkan kepalanya dan kembali menatap layar digital yang ada di depannya.

Sesekali Soully masih meneteskan air mata yang sebenarnya tak ingin ia jatuhkan dan mendarat di pipi mulusnya. Namun lagi-lagi buliran bening itu tanpa permisi menetes jika ia mengingat perkataan Yafizan ketika di klinik tadi. Kata-kata menyentuh yang membuatnya merasa bersalah.

***

Tadi, ketika Yafizan memeluk erat Soully yang sedang menangis. Dirinya tak kuasa melihat wanitanya seperti itu. Sekuat hati berusaha menenangkan dan mengalahkan egonya. Karena dalam lubuk hati paling dalam, sebenarnya ia merasa cemburu. Cemburu ketika istri cantiknya hanya dipandang sepanjang hari oleh pria lain, cemburu karena istri cantiknya tersenyum lepas dan bahagia terhadap pria lain bahkan memaksakan sesuatu yang bisa membahayakan dirinya. Ia mengakui jika dirinya suami yang possesif dan egois, ia tak ingin wanitanya tersakiti atau tersentuh orang lain selain dirinya. Ia meminta maaf untuk ke sekian kalinya karena membuat Soully lagi-lagi menangis.

"Semua yang kulakukan semata-mata karena aku terlalu mencintai dirimu. Sangat dan selamanya akan seperti ini. Tak peduli apapun dan bagaimanapun, bahkan jika kau hanya memanfaatkanku atau menghabiskan segala apa yang kupunya, maka dengan senang hati aku akan menerimanya karena seperti itu menandakan kau mengakuiku sebagai orang yang bisa kau andalkan. Karena aku...suamimu."

***

Miller memejamkan matanya, menahan rasa sesak yang hampir membuncah dalam dadanya. Ia memang mendengarkan apa yang Yafizan dan Soully katakan di dalam klinik tadi ketika ia hendak melihat kondisi Soully. Dirinya tertahan di luar pintu yang tak tertutup rapat sehingga ucapan demi ucapan dari pasangan itu terdengar jelas di telinganya.

"Maafkan aku," ucapnya lirih hampir tak terdengar sehingga Soully yang setengah kaget karena Miller sudah berdiri tepat di depan mejanya, mendongakkan wajahnya ke arah pria yang sedang berdiri menatapnya. Segera mungkin ia menetralisir perasaan kacaunya.

"Hah? Apa yang kau ucapkan, Tuan? Maaf? Maaf untuk apa?" tanya Soully tak mengerti.

"Maaf, karena aku terlalu memaksamu menghabiskan makanan yang sebenarnya tak diterima oleh pencernaanmu," maaf Miller dengan nada bersalah tidak dibuat-buat. "Kenapa kau tak mengatakan jika kau tak menyukainya?" tanya Miller merasa bersalah.

"Emh...maaf. Tapi aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu. Tiba-tiba saja rasa mual itu naik dan terjadi begitu saja." wajah Soully memerah. "Aku kira akan baik-baik saja memakan makanan itu. Lagi pula aku tidak apa-apa, setelah mengeluarkan semuanya sekarang aku merasa lebih baik," ucapnya menenangkan.

"Kenapa kau seperti itu? Kau tahu, sikapmu membuat diriku semakin merasa bersalah. Seharusnya kau menyalahkanku!" ucap Miller dengan nada yang semakin tinggi dan ditekankan. Membuat Soully mengerutkan dahi, tak mengerti. "Aku...aku hampir saja membunuhmu..." lirih Miller dan tertunduk lesu.

Mereka terdiam, sungguh Soully tak mengerti kenapa bosnya berbicara seperti itu. Karena ia sendiri merasa baik-baik saja.

***

"Harus berapa kali aku mohon padamu supaya kau mengerti? Kenapa kau terus menerus mengusik kehidupanku. Hubungan kita sudah berakhir setelah kau pergi meninggalkanku tiga tahun yang lalu," ucap Yafizan merasa frustasi. Kini Tamara sedang duduk tepat di hadapannya.

"Aku tak peduli," sanggah Tamara tak bergeming.

Yafizan menghela nafasnya dengan kasar, rasanya menjengkelkan berurusan dengan masa lalu yang seharusnya ia musnahkan sejak dulu. Salahnya, dulu yang terlalu mencintai padahal sebuah obsesi yang dikira dapat mewarnai hidupnya, ternyata cinta tulus yang dirasakannya saat ini ia dapat dari perempuan asing yang kini menjadi istrinya. Walaupun dengan tujuan awal hanya untuk memancing Tamara keluar dan kembali padanya.

"Hhhh...sudahlah, lebih baik kau keluar dari ruanganku sekarang. Dan sebaiknya hubungan kita hanya sebatas pekerjaan atau bisnis semata. Selebihnya, aku dan kau tak ada hubungan apa-apa lagi!" tegas Yafizan.

"Lantas, kenapa kau bersikap manis padaku waktu di kantin tadi, hah?" Tamara menggertakan gerahamnya serta mengepalkan jari tangannya erat.

"Maafkan aku. Aku hanya memanfaatkanmu," lirih Yafizan merasa bersalah.

"Apa karena istri menjijikanmu itu?" ucapan Tamara menjelekkan Soully membuat emosi Yafizan berada di level satu. Yafizan mendengus kesal sekuat mungkin  masih bisa ditahan.

"Cih, bahkan kau sama menjijikannya. Tapi manfaatkanlah diriku sepuas dirimu, Baby. Aku takkan bosan dan terus mendekatimu sampai kau menjadi milikku kembali! Dan foto itu, (Tamara menunjuk ke arah foto besar yang ada di ruangan Yafizan) akan kupastikan wanita yang ada di sampingmu itu adalah aku! Hanya aku!" Tamara pergi meninggalkan ruangan itu menghentakkan kakinya dengan kesal.

Sebelumnya, tangan lentiknya itu dengan sengaja menepis bingkai-bingkai foto kecil yang terpampang rapi di atas meja kerja Yafizan hingga terlungkup, beruntung tidak sampai jatuh. Karena jika sampai bingkai itu rusak atau pecah, maka tak segan lagi emosinya akan berada di level seratus. Bisa saja ia membakar Tamara hidup-hidup saat itu juga!

***

Setibanya di apartement Soully langsung masuk ke dalam kamarnya. Tanpa basa basi lagi ia mengambil handuk mandinya lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya yang terasa lengket dari aktivitasnya seharian.

Yafizan sedang duduk terdiam di atas tempat tidurnya. Dengan setia menunggu Soully keluar dari kamar mandi. Mungkin hampir satu jam Soully mandi, sehingga sebenarnya Yafizan cemas dibuatnya. Ia takut jika terjadi sesuatu pada Soully di dalam kamar mandi yang terkunci itu. Fikirannya kacau ke mana-mana sampai akhirnya suara gemericik air di dalamnya menandakan Soully sedang menjalankan ritual mandinya.

Dirinya merasa lega.

Soully keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan tubuh yang menggigil. Dia terlalu lama berendam di dalam bathtub kamar mandinya karena kelelahan, ia pun ketiduran.

Dalam suasana yang masih saling diam tapi dengan sigap Yafizan menutup kepala Soully dengan handuk yang lebih besar, ia menggerakkan tangannya bermaksud mengeringkan rambut Soully yang masih sangat basah itu. Digosok-gosokkan pada rambutnya.

Soully hanya terdiam diperlakukan dengan penuh perhatian oleh suaminya, bagaimanapun kecanggungan dan rasa bersalah karena sikap merajuknya itu membuat mulutnya membungkam. Ia memperhatikan wajah Yafizan yang masih sangat datar dan belum berbicara padanya itu. Membuat Soully hampir menundukan pandangannya.

Lagi, buliran kristal bening menetes tak permisi ketika ia mengedipkan kedua matanya. Yafizan mendongakkan wajah Soully, bagai pencuri yang ketahuan Soully tidak bisa mengelak jika matanya mulai terasa panas sehingga mengalirkan tetesan dari lelehan kristal bening itu yang seolah mencair bagaikan hujan.

"Yang benar saja. Ketika kau melihat wajah tampanku ini, seharusnya kau tersenyum bahagia. Bukannya malah menangis..." Yafizan tersenyum sebaik mungkin berusaha Soully tidak merasa canggung lagi terhadapnya. "Kau tahu, hampir saja aku merusak pintu kamar mandi karena hampir satu jam kau tak kunjung keluar. Apa yang kaulakukan? Apa kau ketiduran?" ucapnya namun hanya dibalas Soully dengan anggukkan kepala dalam diamnya.

"Oh ya ampun...kenapa bisa ketiduran seperti itu? Apa pekerjaanmu melelahkan?"

Soully menggeleng. Ingin ia berkata jika ia merasa sangat bersalah pada suaminya itu. Hanya air mata yang terus mengalir deras yang bisa dilakukannya.

"Kenapa kau ini cengeng sekali..." Yafizan sambil mengusap lelehan kristal itu di wajah Soully.

"Sssstt...sudah sudah...jangan menangis. Maaf aku tak bermaksud membuatmu takut. Aku hanya mengkhawatirkanmu." Kini Yafizan merengkuh tubuh Soully yang masih sedikit menggigil, mendekapnya dan membenamkan kepala yang masih ditutupi handuk itu ke dalam dada bidangnya.

Sungguh terasa hangat.

"Seharusnya kau mengajakku kalau kau ingin tidur di sana, jadi aku bisa menemanimu," gumam Yafizan pelan namun masih bisa di dengar, otomatis dia mendapat pukulan di dadanya dan meringis kesakitan.

"Dasar mesum!" lirih Soully.

"Hei, apa yang kau fikirkan? Otakmu saja yang mesum. Apa...kau memang ingin aku 'melakukannya'?" goda Yafizan hingga akhirnya membuat Soully tersenyum.

Yafizan semakin mendekap erat istrinya yang tersenyum dan sudah berkaca-kaca itu. Dirinya belum mandi dan berganti pakaian, namun aroma parfum maskulin yang masih menempel di tubuhnya itu mampu menenangkan perasaan Soully yang hampir membuncah bahagia. Karena bukannya marah, Yafizan malah menjadi semakin perhatian padanya.

"Aku akan selalu mencintaimu, Sayang... my Soully my Angel," ucap Yafizan dalam hati seperti mantra yang tertanam dalam janjinya.

***

Cahaya temaram dari lampu remang-remang dalam kamarnya, Miller terus menatap layar ponselnya yang berkali-kali ia nyalakan bila layar itu menggelap. Foto gambar sketsa seorang gadis remaja yang sudah lama di carinya. Seorang gadis remaja yang sempat mencuri perhatiannya dulu.

Flashback on

Miller sedang duduk memantau orang-orang suruhannya. Masih di dalam mobil mewahnya yang berwarna hitam dengan kaca yang hitam pekat seolah orang lain tidak bisa melihat ke dalamnya. Saat itu ia merasa dirinya sangat haus, ketika ia meraba pinggir pintu mobilnya yang di dapat hanyalah botol air mineral yang kosong. Ia membuka pintu mobil. Saat menyadari tuannya membuka pintu hendak keluar, Bimo dengan sigap mempertanyakan apa yang akan tuannya lakukan.

"Aku akan membeli air minum dulu," ucapnya.

"Tuan, biar saya saja yang beli. Sebaiknya anda tunggu di sini," tukas Bimo.

"Tak apa, sekalian aku juga ingin mencari udara segar. Kautunggu dan tetap awasi orang-orang bodoh itu. Menangkap satu orang saja lama sekali," perintahnya keluar menutup pintu mobilnya.

"Baik, Tuan," sahut Bimo terlambat. "Semoga kau tak membuat masalah, Tuan," harapnya kemudian, karena entah apa yang sebenarnya Bimo cemaskan.

Miller menyusuri lorong dan jalan-jalan kecil. Tampilannya tetap memukau kaum hawa yang melintas saat melihat dirinya walaupun memakai kacamata hitam serta jaket kulit dengan kaos dan celana hitam pendeknya yang casual. Bak seseorang yang hendak menghadiri acara pemakaman itu, mata kaum hawa tidak pernah salah menilai bagaimana melihat sesuatu yang menakjubkan penglihatannya. Sambil terus berjalan Miller hanya menampilkan wajah dingin tanpa ekspresi, sesekali ia hanya tersenyum sinis dengan rasa jijik saat melihat kaum hawa yang berusaha menggodanya.

Setelah lumayan cukup jauh ia berjalan, akhirnya langkahnya terhenti ketika kakinya memasuki mini market terdekat. Ia mengambil beberapa botol air mineral dan beberapa bungkus rokok, lalu membawanya ke kasir untuk dibayar. Sang kasir menyebutkan nominal yang harus ia bayar, namun dirinya saat ini tak kuasa ketika ia meraba saku jaket dan celananya karena ia tak membawa dompetnya. Ia terus meraba-raba seakan mencari.

"Sial, aku lupa membawa dompetku," umpatnya dalam hati.

"Jadi, bagaimana, Tuan?" tanya sang kasir yang memandang sinis namun penuh kagum dengan pria yang berada di hadapannya.

"Sorry, boleh aku pinjam ponselmu untuk memanggil asistenku ke mari. Dompetku ketinggalan," pinta Miller.

Sang kasir mengerutkan dahinya berfikir.

"Akan aku ganti pulsamu!" seru Miller sehingga membuat mata sang kasir berbinar. Ia lalu memberikan ponselnya dengan sukarela.

Namun, lagi-lagi ketika ia hendak menekan tombol untuk menghubungi Bimo, ia tak ingat nomornya. Miller merasa frustasi. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan hal kecil seperti itu? Bahkan Bimo pengawal setianya sejak dulu. Miller meremas ponsel sang kasir seolah ingin meremukkannya. Sang kasir memandang sedikit jengkel dan takut karena mengira Miller akan menipunya. Terlebih nominal yang harus dibayar cukup besar, karena bagi sang kasir nominal segitu cukup bernilai untuk menambah omset perusahaan di mana ia bekerja saat ini. Dan cukup merugikan bagi dirinya yang harus bayar ganti rugi jika ternyata Miller menipunya dengan berbagai modus.

"Maaf, Tuan mungkin kau bisa kembali lagi ke sini saat kau sudah mendapatkan dompetmu. Dan...maaf ponselnya..." ucap sang kasir dan Miller mengembalikan ponsel miliknya. Lalu ia pergi meninggalkan mini market dengan hasil yang nihil dan sia-sia.

"Penampilannya saja keren, penipu iya. Untung saja aku tidak terjerat dengan penampilannya. Penipu sekarang banyak gaya, aku harus berhati-hati lagi. Sayang sekali padahal pria itu tampan sekali," gerutu sang kasir merasa terselamatkan.

Miller semakin frustasi, ia sempat mendengar ucapan sang kasir. Hampir marah memang, namun ia merasa malu. Tak ingin ia menginjakkan kakinya kembali.

Bodoh!!

"Tambah ini satu," seorang gadis remaja menyodorkan sebotol air mineral menambah belanjaanya untuk dibayar di kasir. Dengan cepat ia berjalan keluar mini market setelah selesai. Lari kecilnya terhenti ketika ia melihat Miller terduduk lunglai di bangku taman, ia merasa begitu haus.

"Ini, ambillah!" gadis remaja itu menyodorkan botol air mineral ke arah Miller. Miller terperanggah melihat gadis remaja yang masih memakai seragam sekolahnya.

"Ambillah!" ucapnya sekali lagi yang tak mendapat respon dari Miler. Dengan cepat ia meraih tangan kanan Miller lalu memberikan botol minumannya pada tangan yang sudah ia angkat tadi untuk di genggam.

"Ini hanya sebotol saja, maaf tapi aku tak bisa membelikan lebih dari ini, dan rokok itu, maaf aku tak bisa membelikanmu. Aku takkan bisa membayar ongkos bus untuk pulang nanti. Lagi pula, rokok tidak baik untuk kesehatan," ucapnya polos, namun Miller masih tak bergeming.

"Aku permisi dulu, Tuan," pamitnya karena dirasa Miller mengabaikannya.

Gadis remaja itu menaikkan kedua bahunya sambil berlalu. Miller tersadar, lalu menatap punggung gadis itu yang terlihat semakin menjauh. Gadis remaja dengan langkah riang berjalan menyusuri trotoar jalan menuju halte bus yang ada di seberangnya. Hembusan angin membuat rambut panjangnya yang diikat kuda itu terhempas berterbangan di sekeliling wajahnya, tangannya yang berusaha menyingkirkan anak-anak rambut di wajahnya membuat apa yang dilihat Miller terasa menyenangkan hingga ia tak sadar menyunggingkan senyuman indah dan ikhlas pertama kali dalam hidupnya setelah ia berada di bumi.

***

Bimo melihat ekspresi Miller di balik kaca spion depannya. Ia mengerutkan dahi melihat Miller yang sedang tersenyum sendiri sambil melihat ke arah tangan kanan yang ia angkat dan buka lebar jarinya berkali-kali lalu bergantian melihat botol air mineral di tangan kirinya. Senyuman itu berganti dengan tawanya yang kecil. Namun, kali ini bukan tawa dingin yang menyeramkam seperti biasanya, ini tertawa lepas dengan suasana hati yang baik.

Tuannya Miller membuncah bahagia. Setelah sekian lamanya...

Miller tertawa karena ia mengingat apa yang gadis remaja itu katakan dan lakukan kepadanya. Tadi, setelah ia pamit sebelum benar-benar menyebrang menuju halte bus, langkahnya kembali lalu membisikkan sesuatu dekat di telinganya.

"Lain kali, jika mau menipu berpenampilanlah seperti preman yang menakutkan. Kakak yang berpakaian seperti ke acara pemakaman ini malah terlihat sebagai malaikat penjerat hati para wanita. Maka, seharusnya jeratlah dengan baik," bisiknya pelan. "Lihat, bahkan mereka sekarang sepertinya ingin membunuhku saat ini juga!" bisiknya lagi pelan seraya mengalihkan pandangan Miller kepada wanita-wanita yang sedari tadi memperhatikannya. Miller pun mengikuti arah mata Soully menunjuk sekelompok wanita berwajah murka sedang memperhatikan mereka.

"Haruskah aku sengaja bergelayut manja padamu dan menunjukkan kalau kau milikku, Kak?" bisiknya kembali, membuat Miller merasa terkesiap. Awalnya ia merasa jengkel karena dirasa Soully sama saja dengan wanita genit lainnya yang tergila-gila padanya. Tatapannya menegang lalu ia memandang nanar wajah polos Soully di balik kacamata hitam yang membingkai kedua matanya. Wajah polos yang tersenyum itu, entah mengapa terasa begitu menenangkan hatinya. "Aku hanya bercanda. Lagi pula aku sadar diri. Kakak yang tampan juga pasti mapan ini tak mungkin bersama bocah ingusan sepertiku. Tapi, untuk sementara biarkan kita mengerjai mereka," kekehnya kemudian.

Soully merapatkan tubuh mungilnya dengan posisi tubuh condong memiring serta mulutnya yang sedang berbisik itu seolah ia sedang mencumbu serta memeluk Miller. Sengaja memanasi wanita-wanita yang sedang menatap tajam padanya.

"Kakak, kurasa mereka akan benar-benar membunuhku. Aku harus pergi sekarang. Jangan lupa diminum airnya. Bukankah kau merasa haus?"

Gadis remaja itupun pergi meninggalkannya dan membuat mata Miller tak berhenti memandangnya. Hingga sebuah bus benar-benar membawa tubuh mungil itu pergi menjauh dari pandangannya.

Sejenak Miller menunduk, mengedarkan seluruh penampilannya.

Pakaian acara pemakaman? Kekonyolan macam apa itu? Kakak? Entah kenapa panggilan itu seolah alunan manja yang menyenangkan...

Flashback off

Miller menyeringai menyunggingkan senyuman manis kala mengingat kejadian waktu itu. Kemudian ia menutup kedua matanya dengan melipat kedua tangan di dadanya. Kini, ia ingat gadis remaja yang sempat dicarinya selama ini.

Soully...

***

Bersambung...