Chereads / The meaning Of Love / Chapter 8 - bab 8

Chapter 8 - bab 8

Duduk dipasir pantai dengan beralaskan pasir pantai yang lembut.

Menatap senja yang kini perlahan tengelam dalam cakrawala, ia termenung entah apa yang ia renungi, ruang kosong dalam pikiran dengan mata menatap senja.

Hari berganti tanpa bisa dihentikan, jarum jam berputar terus berputar.

Sembari mengharap semua kebaikan disetiap langkah kaki, sandangkan tas berisi buku tulis dengan seragam begitu rapi, lalu ia tersenyum kepada orang-orang sembari sesekali menyapa walau tak kenal.

laut hari ini begitu tenang angin tak berhembus kencang, seruan demi seruan pejual kue keling, menjajakan dagangan biar habis terjual.

"dear ahmad, baru tiga hari kita tak bertemu, aku sudah merindukan dirimu, apakah kamu juga sepertiku?, kamu tau daun-daun disini jatuh begitu cepat, kepala ku selalu dijatuhi dedaunan sembari aku menulis sebuah surat untuk mu".

Hari ini awan mendung pertanda hujan akan turun, begitu gelap seperti malam, ia bergegas berlari namun ia kalah cepat dengan turun-nya hujan.

hujan turun begitu lebat menguyuri setiap tempat dikota ini, sungguh cuaca tak menentu dari panas kehujan.

Ia berteduh dibawah atap pertoko,an menunggu hujan redah, memeriksa tas berisi buku, kalau-kalau ada buku yang basah karna hujan.

Hujan berhenti dengan cepat ia berlari sembari merangkul tas di dada-nya, berlari terus berlari hingga sampai lah ia ditempat kost-nya.

Menyegarkan diri dengan mandi, mengisi perut dengan sebungkus mie, lalu tertidur seperti ular dalam kekenyangan karena perut sudah terisi.

"kau pikir dunia ini apa?

Apa kau tak ingin tinggal disini sembari menikamati semua dan bisa kau atur semau mu.

Coba bayangkan kau hanya perlu tertidur! Tertidur! Tertidur! Itu saja ahmad".

"tidak...!!!" terbangun dari tidur.

"aku tak mau.. ah ah ha..." ia begitu ketakutan wajah pucat pasih seperti tanpa darah, napas yang tak teratur, dengan mata terbelalak ia terbangun dalam mimpi yang amat menakutkan.

"AKU TAK MAU...!!!" teriaknya dengan tangan mengengam erat rambut.

"kau tampak tak bersemangat" kata teman-nya

"ya, tidurku terganggu".

"mimpi buruk?"

Dengan menganguk kepala-nya, lalu ia baringkan kepala-nya di meja sembari menunggu guru mata pelajaran datang.

Loceng berbunyi pertanda jam istirahat tiba, semua murid berhamburan keluar kelas mengistirahat kan sejenak pikiran.

Kesempatan ia ahmad manfaatkan untuk tidur sejenak, sembari menunggu jam pelajaran berikutnya.

lelapkan mata dalam tidur, serasa kantuk merajalela ia tertidur didalam kelas.

"ahmad, ahmad, ahmad." suara pelan memanggilnya, membangunkan ia dari tidur.

ia terbangun dari tidur dilihatnya semua teman sudah membuka buku catatan dengan guru sedang menulis dipapan tulis.

"terimakasih hani sudah membangunkan ku" kata ia pelan kepada hani.

"sama-sama". Lalu mereka belajar seperti biasa-nya, mencatat setiap tulisan dipapan tulis lalu mendengarkan setiap kalimat yang dilontarkan guru mata pelajaran.

"Dear ahmad, Waktu berlalu begitu cepat tanpa bisa dicegah.

Dalam pikiranku aku selalu membayangkan mu, walau sesak didada karena selalu menahan rindu.

Aku tau bahwa kita masih bisa bertatap muka, walau aku tak tau apakah tuhan masih memberi kesempatan itu".

Lagi-lagi sebuah surat dari nya, gadis cantik benama alfia yang tinggal jauh disana, tak henti ia kirimkan surat kepada ahmad.

"kau adalah satu-satunya, ahmad". Kalimat itu selalu terrgiang dipikiran-nya.

Rasa putus asa melanda diri-nya tak kala mengingat lagi apa yang dokter itu ucapkan, tak ada harapan untuk sembuh.

Mungkin seperti itulah yang terpikirkan olehnya.

"kamu termenung? Merenungkan apa?" tiba-tiba hani mengagetkan-nya dan bertanya pada-nya.

"kami tau, alam semesta terus mengembang, bisakah ia behenti sejenak?.

"mungkin bisa namun, aku tak tau siapa yang bisa menghentikan-nya?, jawab hani dengan senyum dibibir nya.

"ya, aku tau jawabanya", ahmad pun balik tersenyum pada-nya.

Dalam hening pasti tetap ada suara walau, kita tak bisa mendengarkan-nya karena telinga kita mempunyai batasan-nya.

Dalam hampa masih ada isi walau isi itu tak lah sebesar butiran pasir.

Dalam gelap masih ada cahaya walau, titik cahaya itu begitu kecil, hingga mata tak bisa melihatnya.

Terhenti oleh waktu, namun jarum jam masih terus berjalan.

Hanya ia merasakanya, waktu berjalan namun ia terhenti oleh waktu, mematung.

Walau nafas masih berhembus, dengan tubuh tak berubah.

Pernah ia berpikir, apa semua ini hanya terjadi padanya?, mungkin saja.

Namun langit biru tak lah biru selamanya, begitulah ungkapnya.

Namun siapa?

Ia tak tau, bahkan tak kan pernah tau.