"dear ahmad apakah kau tau?
Hidup terus berjalan seperti jembantan yang panjang dimana kita semua harus melewati-nya, dalam perjalanan hidup, rintangan hadir menghalangi jalan hidup, tapi walau pun rintangan itu membuat kita luka tapi kita tetap berjalan walau pun harus tertatih-tatih sembari melangkah terus kedepan, sembari menjalani semua sisa kehidupan."
Musim berganti begitu saja tanpa pernah disadari, burung-burung berkicau saling bersau-sautan, menenangkan hati dalam rindangan nya pepohonan sembari membuka lembaran surat yang Hani kiramkan.
"aku hanya ingin sekali lagi bertemu dengan mu walau waktu yang diberikan sebentar saja, rasa-nya tak cukup hanya sekali saja. Aku berharap waktu itu segera tiba" sambungan kata dalam surat yang ia kirimkan.
Daun melambai, kicauwan burung begitu merdu, rumput-rumput bergoyang, angin menghembuskan semua itu.
Ia sandarkan tubuh di dipohon.
Sembari berkata pada diri sendiri "kapan waktu itu tiba"
alangkah senang hati melihat wajah-nya tersenyum manis kepada ahmad.
Jalanan tampak ramai seperti biasanya, padat, sesak dengan hilir mudik pejalan kaki.
Ia berjalan tanpa henti walau kaki mulai letih, sesampainya di kost ia bergegas mengistirahatkan diri sebelum memulai aktifitas di pagi hari.
Namun mata tak mau terpejam, rasa kantuk tak mau datang, gelisah sembari memeluk guling.
dan pada akhirnya ia harus terduduk di teras.
"hah... rembulan begitu terang cahaya-nya" sembari menyeruput segelas teh, akibat rasa kantuk tak mau datang ia merenungkan diri dimalam gelap dengan cahaya rembulan.
"kapan tiba waktu itu" gumam pada diri sendiri dengan napas keluh dihembuskan-nya.
"kau tak tidur" sapa teman-nya yang kamarnya bersebelahan dengan kamarnya.
"rasa kantuk tak mau datang" jawab ia sembari mempersilahkan teman-nya duduk.
"apakah ada yang kau pikirkan ?" tanya teman-nya sembari duduk dikursi yang telah disiapkan
"kau pikir begitu?". Teman-nya menganguk lalu berkata padanya, "mungkin saja".
Tak banyak cerita yang mereka bicarakan pada malam itu melainkan hanya menatap langit malam sembari ditemani suara jangkrik.
Alam semesta begitu cepat mengembang jarak yang dibuat begitu nyata jauhnya, namun ia putus asa karena jarak yang tak seberapa dibandingkan jarak antara alam semesta.
Semua itu diatur sedemikian rupa, seperti bulan dan matahari yang selalu tanpak dalam waktu yang berbeda.
Atau bagai gugusan galaksi yang tak terhitung jumlahnya, tempat yang ia tinggali tak lah sebesar butiran debu.
Pagi itu ia berjalan menujuh sekolah melewati jalan dengan nuansa pantai di pingirnya, air laut begitu tenang dengan ombak yang tak terlalu tinggi, walau pun angin masih berhembus kencang menerpa tubuh kecil-nya.
"dear ahmad aku tersenyum saat kau berpuisi tentangku, kau sungguh pandai merayu walau rayuan itu membuat ku sedikit geli namun aku tak menyangkal itu sebagai suatu ketulusan dari hatimu."
"anak-anak sampai disini dulu, selanjutnaya kalian silahkan beristirahat" sebuah kalimat yang cukup bisa membuat anak-anak berhamburan dari kelas, namun ia tak seperti teman-nya. Yang pergi kekantin atau pun berkumpul-kumpul membicarakan sesuatu.
Disini lah tempat biasanya ia menghabiskan waktu istirahat, dengan sebekal kotak nasi, walau dengan kesederhanan.
Namun cukup bisa mengisi perut, sembari membaca balasan surat yang ia terima dari seorang gadis nan jauh disana.