Dering sumbang alarm memekak telinga, bergetar diatas meja kecil setinggi enam puluh centi, pria putih berwajah manis yang terbaring diatas kasur penuh debu itu mau tidak mau membuka mata. Tangan kurusnya meraba-raba permukaan meja. Baru ketika jam weker sekarat itu tersentuh, suara mendengung cempreng menembus gendang telinga terdengar berasal dari pintu kamar sewa sempitnya.
"XIE LIAN!"
Suara serak dipenuhi emosi itu membuatnya terkejut sampai tubuh langsing pemuda reflek terbangun dari kasur tipis, terguling hingga kepalanya membentur kaki meja.
"Uh.."
Xie Lian melenguh, dia mengusap-usap kepala belakang merasakan pusing menjalar karena terbangun dari tidur nyenyak dengan begitu tiba-tiba.
Pintu diketuk membabi buta lalu sekali lagi, suara cempreng itu kembali terdengar bahkan semakin lantang.
"Xie Lian! Banguuun!"
Xie Lian mengeluh lalu bersusah payah berdiri, ia berjalan menuju pintu sambil mengusak rambut dengan mata merah. Begitu pintu dibuka, wajah wanita gendut berusia empat puluhan muncul, kening wanita itu penuh kerutan, di pelipisnya liuk vena menyembul.
"......"
Xie Lian tidak berkata apapun tapi wajahnya bingung, hingga tangan wanita itu tertadah di depan wajahnya, dirinya baru ingat sesuatu yang penting.
Ia lupa bayar uang sewa.
Tanpa pemuda itu bersuara, wanita pemilik kamar sewa tahu bahwa si miskin depannya tidak punya uang lalu dengan wajah hijau dan mata melotot. Wanita itu mengancam. "Jika kau tidak bayar juga, aku benar-benar akan mengeluarkan barang-barangmu."
Si miskin yang diancam berubah seputih kertas, ia memasang senyum seindah mungkin.
"Nyonya Mo, aku belum gajihan, kumohon beri aku waktu.."
"Cukup!" Nyonya Mo memotong. Kesabaran wanita gemuk itu habis tidak bersisa. Dengan wajah garang, pupil hitam wanita itu bergulir ke samping, melirik pria tiga puluhan berotot. Dia memerintah. "Kau keluarkan semua barang-barangnya!"
Xie Lian tidak bereaksi beberapa saat. Terkejut.
Tubuh Xie Lian membeku, pria berotot itu mendorongnya kasar dan menyelinap masuk. Xie Lian pucat dan memandang tidak percaya pria berotot yang kini melempar barang-barang hingga pakaiannya keluar pintu.
"Nyonya Mo anda!" Xie Lian menatap Nyonya Mo dengan air mata buaya. "Anda tega sekali, beri aku seminggu lagi, kumohon!"
Alih-alih simpatik, wanita itu justru membuang muka.
"Kau selalu mengatakan 'beri aku seminggu' 'beri aku tiga hari' 'beri aku waktu hingga besok' sejak tiga bulan lalu! Kau pikir aku tidak butuh makan hah?! Kau asal menumpang dirumahku tanpa membayar. Bersyukurlah karena aku tak memintamu membayar hutang!"
"Tapi aku tinggal dimana?" Xie Lian meraung.
"Bukan urusanku!"
Xie Lian bersimpuh, memeluk kaki nyonya Mo yang kini sudah mengunci pintu kamarnya sambil menangis. "Beri aku kesempatan Nyonya Mo! Beri aku waktu hingga besok!"
"Tidak bisa!" Nyonya Mo menendang kasar Xie Lian di kakinya.
"Kau tega melihat pemuda polos sepertiku menggembel dijalanan? Bila aku diperkosa bagaimana? Nyonya Mo, dengarkan aku!"
Belum selesai Xie Lian berbicara, nyonya Mo sudah berbalik dan pergi dengan wajah puas bersama ajudan pria berotot. Meninggalkan Xie Lian yang berwajah kusut. Ia memandang tumpukan barang-barangnya yang sebenarnya tidak banyak. Hanya pakaian dan beberapa buku kuliahnya. Sepasang mata hitam itu melihat benda persegi yang sudah berlubang di lantai.
Itu dompetnya.
Xie Lian meraih benda itu dan hanya bisa menelan pil pahit melihat isinya yang kosong. Bahkan uang receh untuk biaya bus pun tidak ada.
Bagaimana ini?!
Untuk beberapa lama Xie Lian masih membatu ditempatnya, dengan wajah kosong di samping tumpukan barang-barang tak berharga. Beberapa penyewa berbisik dan menatapnya dengan iba. Berpikir 'ah, orang ini tiba-tiba menjadi bodoh setelah diusir.'
Setelah berbagai pertimbangan dengan otak bodohnya. Ia memutuskan tinggal sementara di apartemen Feng Xin. Ia dan Feng Xin sudah berteman sejak kecil, mereka berasal dari desa yang sama bahkan pernah bertetangga. Namun sejak Xie Lian berhasil lulus di Universitas yang diidamkan Feng Xin, sedangkan pemuda itu gagal. Ia mulai sedikit menjauhi Xie Lian. Namun sebenarnya hubungan keduanya tidak seburuk itu, setidaknya tidak sampai pada titik saling berkelahi hingga menyapa pun enggan.
Usai berjanji bahwa ia hanya akan menetap dalam waktu sebentar hingga ia mendapat tempat tinggal baru. Feng Xin akhirnya menerimanya dengan wajah penuh ketidaksenangan.
Tidak mau merepotkan, Xie lian rela tidur di sofa ruang tamu. Baginya ini tidak masalah, ia sudah terbiasa hidup melarat. Tempat tidurnya yang sebelumnya bahkan tidak bisa lebih baik dari sofa panjang milik Feng Xin. Setidaknya sofa ini empuk dan tidak berlubang seperti kasurnya.
Malam telah tiba, Feng Xin tidak berada di apartemen. Pemuda itu selalu memiliki kegiatan pada malam hari. Xie Lian tidak tahu detilnya namun ia yakin itu sama sekali tidak berhubungan dengan wanita.
Belum tidur, Xie Lian mengambil ponsel jadulnya. Ponsel itu kecil, dengan antena di bagian kanan atasnya, layarnya sudah memiliki dua hingga tiga retakan, tinta pada tombol-tombolnya pudar. Andai ia ingin menjual ponsel itu saat ini juga, Xie Lian ragu akan ada yang mau membelinya walau hanya seharga dua kilo pakan ternak.
Ia punya smartphone, namun itu satu tahun lalu. Benda itu sudah ia jual untuk membayar uang cuti akademik.
Xie Lian awalnya seorang yang berkecukupan, orangtuanya walaupun orang desa namun luar biasa kaya dengan usaha berhektar-hektar peternakan dan ladang teh berkualitas. Titik tolak takdir yang membuatnya jatuh dalam kondisi seperti ini adalah kecelakaan dan menewaskan kedua orangtuanya.
Xie Lian cenderung bodoh hingga tidak menyadari bahwa dirinya menandatangani surat penyerahan harta warisan usai hasutan tipu daya paman 'baik hati'nya. Dan beginilah akhirnya. Pamannya yang ia kira baik hati dan tidak sombong itu membuangnya begitu saja. Tanpa uang sepeserpun hingga pada titik ia harus membayar uang kuliahnya sendiri.
Karena kesulitan, Xie Lian memutuskan cuti dari kuliah magister-nya dan fokus bekerja mengumpulkan uang. Ia punya pekerjaan sekarang yaitu sebagai pustakawan di perpustakaan Universitas swasta terkenal di Guangzhou.
Gajinya tidak banyak, namun cukup untuk makannya sehari-hari dan menabung sedikit demi sedikit.
Begitu Xie Lian membuka matanya, matahari sudah terbit. Pemuda itu duduk dan merenggangkan sedikit tubuhnya kemudian bangkit untuk mandi.
Pintu kamar Feng Xin masih tertutup, dari celah bawah pintunya. Xie Lian tahu lampu di dalam masih mati dan pemilik kamar belum terjaga. Xie Lian sudah rapi dengan kemeja putih dan celana kain diatas mata kaki. Ia harus bekerja hari ini, namun ia akan merasa bersalah jika pergi tanpa meninggalkan apapun.
Berpikir sejenak, Xie Lian mendekati kulkas. Mungkin ia bisa memasak sarapan untuk Feng Xin sebagai ucapan terima kasih karena sudah diperbolehkan menumpang. Isi kulkas itu tidak banyak, hanya ada beberapa butir telur dan satu ikat sayuran.
Dengan senyuman di bibir, Xie Lian mulai memasak omelet untuk Feng Xin.
Begitu Feng Xin keluar dari kamarnya, Xie Lian sudah tidak ada di rumah. Mata hitam jernihnya terpaku pada sepiring omelet diatas meja makan. Di samping piring itu terdapat selembar kertas kecil bertulisan;
"Aku pergi bekerja, sebelum kuliah makanlah sarapanmu dulu. Aku akan pulang pukul empat sore hari."
Tertegun sejenak, Feng Xin memutuskan duduk. Namun begitu satu sendok omelet buatan Xie Lian masuk ke mulutnya, bibir Feng Xin berkedut, wajahnya berubah hijau. Ia tidak bisa tidak melirik meja dapur yang baru saja digunakan Xie Lian. Botol garam disana tinggal setengah, padahal ia jelas yakin bahwa ia baru saja mengisi ulang botol itu kemarin.
Feng Xin meletakan sendok dan meremas kertas memo.
Dia benar-benar ingin membunuhku!
Bersambung....