Perpustakaan itu besar dan megah, ratusan lemari buku tersusun rapi dengan bilik-bilik terpisah sesuai kategori. Itu tidak aneh, Universitas tempat ia bekerja ini termasuk sebagai kampus terbaik di China dengan predikat 4 bintang dalam ranking dunia. Hanya orang-orang dengan latar belakang tinggi yang bisa bersekolah disini.
Kampus Xie Lian bukan disini, kampus tempat ia kuliah sebelum cuti juga merupakan kampus terkenal. Namun bedanya, kampus ini swasta sedangkan kampusnya adalah milik pemerintah sehingga biaya kuliahnya tidak terlalu tinggi.
Karena kehebatannya, peraturan dalam perpustakaan ini pun ketat. Bukan hanya untuk pelajar tapi juga untuk para pustakawan. Bila ia mengacau sedikit saja, maka pemecatan konsekuensinya. Maka dari itu Xie Lian benar-benar berhati-hati.
Namun walau otaknya tidak bisa disebut cerdas. Xie Lian tidak salah lagi seorang yang terampil, ia lincah dan licin seperti belut. Segala pekerjaan selalu bisa dikerjakan dengan baik, tepat waktu dan sempurna. Melihat bakatnya, Xie Lian sering ditunjuk untuk menginventaris buku-buku perpustakaan yang jumlahnya ribuan oleh kepala perpustakaan.
Walau berat, namun dengan embel-embel gaji tambahan tidak mungkin tidak ia terima.
Matahari sudah tinggi, di luar panas menyengat hingga ke ujung kepala. Xie Lian duduk termenung di kursi taman Universitas sambil mengunyah roti keras dari lemari dapur Feng Xin. Roti itu sudah habis, namun perutnya masih bergejolak minta diisi. Mengingat dirinya tidak punya uang, Xie Lian hanya bisa mendesah menyerah lalu kembali ke perpustakaan.
Begitu ia kembali, ia memutuskan berjaga di resepsionis sambil membaca buku. Pekerjaan ini sebenarnya cukup sinkron untuknya. Xie Lian seorang mahasiswa sastra, ia senang membaca. Terutama buku-buku bergenre Historical, entah itu novel atau dokumenter sejarah nyata. Ia akan senang hati membacanya.
Perpustakaan ini lengkap, begitu banyak buku-buku yang ia sukai disini membuatnya merasa pekerjaan ini sama sekali tidak membosankan.
Baru saja ia hendak membalik halaman buku, suara bisik-bisik gadis terdengar mengusik telinganya. Xie Lian mendongak, pandangannya jatuh pada tiga orang mahasiswi di meja yang tidak jauh dari tempatnya. Pipi mereka merah hingga ke telinga.
Salah seorang dari mereka bersuara, "Lihat! Dia tampan sekali!"
"Benar! Aku sudah dengar tentangnya dari mahasiswa akutansi, aku pikir mereka hanya melebih-lebihkan! Tak kusangka itu sungguhan!"
"Mau coba menyapanya?"
"Jangan! Kita tak boleh mengganggunya. Aku dengar dia sangat dingin dan berhati keras, teman-teman satu jurusannya bahkan tidak pernah melihatnya tersenyum."
"Justru itu yang membuatnya mempesonaa!"
Xie Lian mengerutkan dahi, ia tidak cukup besar kepala untuk mengira dirinya objek yang dibicarakan para gadis itu. Namun mirisnya, itu memang bukan dia.
Salah satu pupil gadis itu bergulir kearah meja di sudut perpustakaan. Disana seorang pemuda nampak menopang pipi dengan tangannya, matanya terpejam. Sepasang earphone melekat di kedua telinganya.
Pemuda itu sangat tampan dengan rahang tegas dan kulit seputih salju namun tidak pucat. Rambutnya hitam berkilauan dengan poni menjuntai menutupi mata kanannya. Auranya misterius namun disisi lain juga nampak lembut. Benar-benar semurni giok. Ia mengenakan sweater semerah daun mapple dengan celana jeans diatas mata kaki dan sneakers putih. Ujung celananya terlipat sedikit menampilkan kulit seputih kertas, nampak konstras dengan warna celananya.
Xie Lian tahu pemuda itu namun tidak mengenalnya secara pribadi. Pemuda itu sering ke perpustakaan namun tidak pernah sekalipun ia melihat pemuda itu membaca buku. Selain tidur dan bermalas-malasan, Xie Lian tidak pernah melihat pemuda itu melakukan sesuatu yang berarti.
Karena bermalas-malasan dan tidur secara harfiah tidak melanggar peraturan perpustakaan. Xie Lian tidak berniat untuk menegur.
Sore itu dia di panggil ke ruang pustakawan. Masuk dengan wajah gugup namun kini keluar dengan berseri-seri. Gaji bulanannya sudah diberikan dan jumlahnya lebih besar dari bulan lalu. Baru saja ia hendak meraih tasnya untuk pulang. Matanya tak sengaja menangkap sosok pemuda berbaju merah itu masih disana.
Pipinya tertopang di permukaan meja, matanya terpejam. Separuh wajah tampannya tersentuh tumpahan cahaya senja dari jendela perpustakaan. Xie Lian mendekat, begitu mendengar suara dengkuran lembut ia sadar bahwa pemuda ini tengah tertidur.
Pantas saja dia tidak tahu bahwa perpustakaan akan tutup.
Xie Lian dengan canggung mendekat, tangannya terulur hendak menepuk bahunya namun segera terhenti di udara begitu pemuda itu bergerak. Beberapa detik kemudian, sepasang matanya terbuka, menampilkan pupil hitam dan jernih. Xie Lian tersenyum lembut, "syukurlah kau bangun? Perpustakaan akan tutup, maaf tapi kau harus segera pergi." Ia berbicara sesopan mungkin, takut ucapannya seakan mengusir pemuda itu. Walau nyatanya memang begitu.
Pemuda itu mendongak dan menatap wajah Xie Lian. Xie Lian memiringkan kepala sedangkan pemuda itu mengusap pelan wajahnya yang masih nampak setengah mengantuk.
"Maaf.." Ia berbicara dengan suara serak khas bangun tidur kemudian bangkit perlahan dari kursi. Pemuda itu menatap Xie Lian sebentar lalu bertanya, "Apa gege kesulitan membangunkanku?"
Dipanggil gege oleh orang asing membuat Xie Lian mendadak canggung, ia melambaikan tangan di udara. "Tidak..tidak, kamu sudah bangun sebelum aku benar-benar membangunkanmu."
Mendengar itu, pemuda itu tersenyum lembut. "Syukurlah," ucapnya lalu berjalan melewati Xie Lian dan pergi.
Xie Lian tertegun dan memandang sosok yang kini sudah menghilang di balik pintu. Ingatannya bergulir pada tiga mahasiswi yang siang tadi berkunjung di perpustakaan. Ia menepuk keningnya.
Bukankah mereka bilang pemuda jarang itu pernah tersenyum? Lalu itu.. Itu..tadi
×××××
Begitu ia kembali ke apartemen Feng Xin, ia menemukan selembar kertas memo di atas meja ruang tamu. Wajah Xie Lian berubah gelap begitu membaca memo tersebut;
"Aku akan pulang larut! Tidurlah lebih dulu dan jangan pernah menyentuh dapur lagi!"
Dalam hati Xie Lian, apa dia marah karena aku mengambil roti kadaluarsa di lemari dapur?
Xie Lian tidak langsung tidur, sebagai gantinya ia duduk di kursi teras, menghadap pemandangan kota Guangzhou di malam hari, disini ia bisa melihat cahaya berwarna pelangi dari Canton Tower¹. Xie Lian mengambil buku tebal dan mulai membaca.
Canton tower; destinasi wisata di kota Guangzhou. Tower berbentuk semispiral dengan cahaya pelangi di malam hari.
Walau ia sedang cuti dari kuliah magister-nya, hal ini tidak membuatnya berhenti belajar. Selagi ada waktu, ia pasti menyempatkan diri menambah wawasannya. Xie Lian memang bodoh dalam bertindak, namun soal ilmu pengetahuan itu beda kasus. Ia cerdas dan pintar, ia juga berhasil lulus program bachelor satu tahun lebih cepat dari mahasiswa pada umumnya.
Saat dirinya mengemasi buku-buku pelajaran dan berniat pergi tidur. Pintu terbuka dan menampilkan sosok Feng Xin. Pemuda itu nampak letih, terlihat jelas dari banyaknya guratan pada kening putihnya.
Xie Lian masuk dan Feng Xin menatapnya dengan alis terangkat, "Belum tidur?"
Xie Lian hanya mengangguk. Feng Xin mengeluarkan bungkusan berwarna putih dari balik punggungnya dan meletakkannya di atas meja. Xie Lian tidak bisa menahan diri untuk bertanya. "Apa itu?"
"Makanan.."
"Untuk siapa?"
"...Untukmu."
Xie Lian melebarkan mata hitam, seakan mengerti akan kebingungan Xie Lian, Feng Xin segera menimpali. "Jangan memaksakan diri memasak di dapur jika kau tidak bisa memasak. Kau pasti belum makan malam karena tidak punya uang. Maka dari itu aku membelikanmu sup tofu."
Segera setelahnya wajah Xie Lian berubah gelap. Ia tidak tahu harus tertawa atau menangis. Feng Xin bermaksud baik, namun nada bicaranya penuh dengan sindiran membuat hatinya tidak bisa tidak sakit mendengarnya.
Xie Lian berjalan mendekat, melihat ke dalam bungkusan dan menemukan mangkuk plastik transparan berisi sup tofu yang masih beruap. "Aku akan memakannya."
Bersambung..