Sinar mentari mengintip malu-malu melalui celah jendela. Mengaburkan setiap bayangan yang mengelilinginya. Tirai-tirai seakan berteriak marah kepada perempuan mungil yang tidak kunjung membuka mata. Terlelap dalam mimpi yang penuh ilusi, seakan ia tak rela membuyarkannya.
Bi Mar yang sejak tadi berlalu lalang enggan untuk membangunkan Akira, meskipun pintu kamar itu terbuka lebar. Menyelimuti seisi ruangan dengan sinar mentari yang masuk melalui tingkap jendela yang sengaja dibuka.
Kornea mata coklat terang itu nampak sangat persis dengan milik Akira. Menatap sendu seakan ia dalam keadaan hati bersedih. Hingga sebuah suara tiba-tiba membuat ia terkejut. Itu adalah tepukan di bahunya dari Khansa. Seorang wanita anggung yang sejak tadi malam di tunggu-tunggu kehadirannya.
"Papah, kenapa duduk di sini? Khansa pikir hari ini Papah pulang," ujar Khansa dengan sedikit tidak bersahabat.
"Apa peduli kamu," sahut Kakek Hasbi tak peduli sambil memalingkan wajahnya malas. Ia terlalu malas untuk berdebat pagi ini.
Mulut mungil dengan sedikit berisi itu nampak menipis. Menahan kesal yang bergemuruh di hati. Khansa melenggang pergi sambil mendengus kesal, melihat betapa acuhnya Kakek Hasbi hari ini. Ia pikir setelah tadi malam datang, Kakek Hasbi tidak akan marah seperti ini. Tetapi, dugaannya salah.
Lagi-lagi Kakek Hasbi menahan rasa kesal akibat ulah putrinya sendiri. Sudah cukup lama ia memendam semua ini, namun semua hanya sia-sia. Tidak ada sikap Khansa yang bersahabat seperti dulu. Hanya ketus dan nampak tidak peduli. Kalau bukan permintaan Akira untuk menginap, ia tidak akan sudi tinggal di rumah ini barang semalam saja.
Sementara di kamar dengan penuh nuansa biru langit, nampak Akira mengerjapkan matanya sambil bergumam kesal. Ia memusuhi orang yang membuka jendelanya pagi ini. Bagaimana bisa sang pemilik kamar saja belum terbangun, tapi jendelanya sudah terbuka lebar-lebar hendak melahap Akira dengan sangat ganas.
Akira mulai merenggangkan tubuhnya. Lalu, beranjak ke arah kamar mandi. Sepertinya hari ini ia akan menghabiskan waktu banyak dengan kakeknya. Ngomong-ngomong soal kakek, ia baru teringat bahwa hari ini Kakek Hasbi menginap. Semoga saja Pak Tua itu masih ada di sini, sebab Akira ingin mengunjungi mansionnya. Sudah lama ia tidak ke sana.
Dengan gerakan cepat Akira mulai membersihkan tubuh, tak lupa ia mandi sekaligus berendam. Rasa sejuk mulai memanjakan tubuh Akira. Rasa nyaman menyusup tanpa permisi membuat perempuan mungil itu mendadak ingin melanjutkan tidurnya. Tetapi, ia masih sangat waras jika harus kehabisan napas akibat kecerobohannya.
Merasa lebih baik Akira mulai menuntaskan mandinya. Dan bergerak cepat menyusul Kakek Hasbi. Ia takut Pak Tua itu kabur tanpa permisi kepadanya. Dengan rambut tercepol asal serta kaus yang terlihat kebesaran, Akira mulai menuruni anak tangga di rumahnya satu per satu. Suara benturan antara sandal jepit dengan lantai membuta suara menjadi sangat nyaring.
"Bi Mar, Kakek di mana?" tanya Akira pada Bi Mar yang tengah sibuk menyapu halaman kecil.
Bi Mar menoleh sambil tersenyum ramah. "Tuan Besar ada di garasi, Non. Bibi kira Tuan Besar mau pulang bersama Nona."
"Kakek pulang? Kok enggak ngajak Akira," keluh Akira sambil berlari kecil menuju garasi rumahnya. Ia harus cepat sebelum Pak Tua itu pergi tanpa berpamitan padanya.
Dan benar saja sebuah mobil sedan hitam terparkir cantik di dekat pagar, di sebelahnya ada Kakek Hasbi yang sibuk memeriksa mobilnya. Akira baru tersadar bahwa kakeknya ini pecinta mobil.
"Kakek!" panggil Akira lantang. Ia tersenyum lebar sambil berlari kecil membuat kunciran rambutnya sedikit mengendur dan bergoyang pelan.
"Udah bangun ternyata Miss Kebo ini," canda Kakek Hasbi tertawa kecil melihat betapa segarnya wajah Akira hari ini.
Akira memegang lengan Kakek Hasbi sambil mengerucut lucu. "Kakek jahat mau ninggalin Akira."
"Salah siapa kamu tidur terus. Tadi rencananya kakek mau gendong kamu, tapi enggak jadi. Karena sekarang kamu udah berdiri di depan kakek."
"Iyalah. Kan Akira enggak mau tertinggal."
"Berangkat sekarang atau sarapan dulu. Tadi Bi Mar bilang sarapan udah siap."
Akira menggeleng pelan sambil tersenyum. "Sekarang aja, Kek."
Demi menuruti perimntaan Akira, Kakek Hasbi mulai menjalankan mobilnya. Tidak perlu berpamitan lagi, sebab ekor matanya tanpa sengaja menangkap Khansa tengah memperhatikan dirinya dan Akira dengan tatapan yang sulit di artikan.
***
Bukan seperti weekend biasanya, Alvaro nampak sangat rapi dengan pakaian santainya. Sangat berbeda dengan Kakek Wijaya yang sangat rapi dengan jas serta kemeja yang selalu melekat di tubuh sehatnya. Meskipun sudah berumur setengah abad, ternyata Kakek Wijaya merupakan sosok yang sangat kuat. Sederajat dengan kekuatan yang Daffa miliki.
"Harus banget ya Kek, Alva pergi keliling bisnis. Mirip reseller temen-temen di kelas Alva," keluh Alvaro kesal. Berkali-kali ia menolak ajakan Kakek Wijaya dan berkali-kali pula Kakek Wijaya menentang keras.
Seakan lelaki paruh baya itu menulikan pendengarannya. Hingga Alvaro sendiri merasa sangat pengang mendengar suara keluahannya sendiri yang diabaikan. Suasana masih sangat pagi, bahkan masih ada segelintir orang yang melakukan olahraga pagi di taman. Hal yang sangat laki-laki itu sukai, selain sehat ia bisa mengincar salah satu wanita cantik di sana.
"Kamu itu jajan pakai uang Kakek. Beli ini itu pakai uang Kakek. Giliran di suruh mengantar aja ngeluhnya sehari semalam." Suara berat itu nampak malas menanggapi perkataan Alvaro.
"Tapi, Kek. Sebagai cucu yang baik, Alva itu harus mengingatkan Pak Tua agar ingat dengan umurnya."
"Kakek belum renta, Alva. Sampai harus berdiam diri di rumah. Sementara kamu foya-foya di luar. Apa harus Kakek meninggal dulu biar kamu paham?"
Bagai tersambar petir di siang bolong, perkataan Kakek Wijaya sangatlah menakutkan, membuat Alvaro buru-buru menepikan mobilnya. Lalu, menatap wajah sang kakek yang nampak acuh dengan ucapannya sendiri. Seakan tidak terjadi apa-apa, Kakek Wijaya malah membalas tatapan Alvaro dengan alis yang terangkat satu.
"Kakek jangan bicara sembarangan, Alva enggak suka."
"Makanya jangan mengeluh. Kakek enggak pernah suka sama sifat kamu yang suka mengeluh itu. Belajar tegar, Alva. Kalau sikap kamu seperti ini, bagaimana bisa kamu menjadi kepala rumah tangga esok? Kakek mau kamu tidak seperti Fakhrie."
Lagi-lagi Kakek Wijaya menyinggung soal Fakhrie yang sedikit membuat Alvaro tidak nyaman. Walaupun papahnya seorang pemain wanita yang fatal, tetapi tidak pernah satu pun papahnya menikahi salah satu wanita itu. Karena yang Alvaro tahu Fakhrie sangat menyayangi mamahnya, Keyara Aryasatya.
Setelah kematian mamahnya, Alvaro memang sedikit nakal dan tidak teratur. Bahkan ia sempat bermain wanita di salah satu club malam. Namun, berkat Kakek Wijaya yang datang tanpa permisi, lalu menyerit dirinya hingga ke parkiran. Tentu saja hal itu membuat Alvaro naik pitam.
Dan tanpa aba-aba ia meninju sudut bibir kakeknya. Seakan tahu yang ia lakukan itu salah, Alvaro bersujud sambil meminta maaf. Tidak seharusnya ia berperilaku kasar pada kakek. Karena kalau bukan kakeknya yang waktu itu menyeret Alvaro, mungkin sekarang laki-laki itu akan sama saja seperti papahnya. Suka bermain wanita tanpa memperdulikan perasaannya.
"Kek, satu hal yang Alva enggak suka, yaitu kematian. Alva enggak mau orang-orang yang Alva sayang selalu pergi meninggalkan Alva. Sebenarnya, apa salah Alva sampai mereka pergi tanpa pamit? Alva merasa Tuhan itu enggak adil, Kek." Setetes air mata jatuh di pipi Alvaro. Tanpa sadar ia telah menangisi kematian mamahnya. Padahal bertahun-tahun sudah, tetapi luka dan kenangan itu masih tergambar jelas di benaknya.
Kakek Wijaya menatap Alvaro iba. Dalam hati ia berteriak marah pada keadaan, tapi hanya Alvaro yang bisa membuat dirinya melupakan sedikit masalah. Maka dari itu, sebisa mungkin ia mendidik Alvaro dengan benar. Ia tidak ingin cucu kebanggaannya ini mengalami hal yang sama seperti apa yang telah papahnya lakukan.
"Keyara enggak pernah suka lihat kamu menangis, Alva. Tapi, kalau kamu nangis buat dia, Kakek juga enggak bisa melarangnya." Kakek Wijaya menepuk bahu Alvaro pelan sambil mengangguk singkat. Ia harus memberi kekuatan pada Alvaro.
Sebuah lengkungan menawan menyambut pandangan Kakek Wijaya. Alvaro memang bukanlah sesosok yang dapat diandalkan, tetapi laki-laki itu patut diberi apresiasi. Karena dengan kesedihannya, ia mampu bangkit dan menuju yang lebih baik lagi. Walaupun dalam hatinya menjerit tidak terima.
"Oh ya, kemarin hari pertama Alva sekolah, enggak ada satu orang pun mengenal Alva sebagai cucu dari pemilik sekolah itu. Pasti Kakek ya yang merencanakan semuanya?" tebak Alvaro membuat Kakek Wijaya mengusap tekuknya sambil tersenyum kecil.
"Katanya mau jadi murid biasa," balas Kakek Wijaya tidak mau kalah.
"Enggak masalah sih, Kek. Tapi, tetap aja di sekolah Alva di kelilingin perempuan. Padahal Alva merasa tidak nyaman dengan mereka yang terlalu agresif," ujar Daffa bergidik ngeri membayangkan betapa histerisnya satu sekolah saat itu sedang memperkenalkan diri kemarin.
Bahkan ada salah satu siswi yang nekat mendatangi kelasnya demi sebuah nama. Memang patut dihindari para perempuan seperti itu.
Wajah Kakek Wijaya berkerut bingung. "Setahu Kakek kamu diantar salah satu siswi, ya."
Kepala Daffa mengangguk kuat. "Dan hanya dia Kek yang enggak terpesona melihat wajah Alva ini. Padahal semua perempuan di sana teriak-teriak. Hanya dia, Kek. HANYA DIA," sahut Alvaro kesal.
Kakek Wijaya semakin bingung dengan tingkah cucunya. "Kamu kenapa?"
"Alva kesal sekaligus bahagia," jawab Alvaro tenang. Kali ini ia memamerkan senyum menawannya. Ia terlampau senang kala mengingat kejadian dirinya dengan Akira. Seperti anak SD baru mengenal cinta, Alvaro nampak tersenyum sendiri membuat Kakek Wijaya bertanya-tanya.
"Kayaknya baru kali Kakek kamu enggak marah-marah perihal pindah sekolah."
"Jelas. Karena Daffa suka sama salah satu siswi di sana. Bukan suka sih, tapi tertarik aja. Karena hanya dia Kek yang enggak peduli sama Alva"
"Bagus itu. Kamu jadi enggak narsis banget kalau ketemu perempuan lagi. Siapa tahu perempuan itu bakal cuek dan enggak peduli sama siswi yang kamu maksud."
"Misterius ya, Kek. Baru kali ini Alva sebegitu penasarannya sama perempuan."
Lama kelamaan Kakek Wijaya penasaran dengan siswi yang Alvaro maksud. "Emang siapa siswi itu sampai kamu merasa seperti orang gila?"
"Namanya Akira, Kek."